Rania mengangguk. Bukannya menjawab pertanyaan Verdi, ia malah membelokkan topik pembicaraan. “Mengenai kejadian waktu itu di areal parkir, aku yang salah.”
Verdi menaikkan alis mata. “Aku nggak percaya kamu ke sini untuk ngomongin lagi kejadian menyebalkan itu.”
“Memang nggak sih,” Rania menyibak rambut pirangnya yang tergerak di bawah bahu.
“Tapi aku rasa kasus kemarin, bagaimana pun juga, perlu diselesaikan.”
Verdi nampak berpikir sebelum mulai menjawab. “Bukannya kasus itu memang udah selesai?”
Rania tidak langsung menjawab. Verdi menyambung ucapannya. “Atau kasus serempetan itu kamu anggap belum selesai? Aku sih nggak keberatan koq kalau harus kembali mengajukan biaya perbaikan.”
“Nggak, bukan itu,” Rania cepat-cepat menjawab. “Maksudnya aku senang kasus itu dianggap selesai, Pak.”
"Aku nggak suka dipanggil begitu. Verdi saja."
"Aku juga. Panggil Rania saja, OK?"
Verdi mencibir kecil. Cibiran yang seperti berarti bahwa ia sependapat dengan Rania. Rania melirik pria itu sekilas. Sudah berumur, namun terasa segar. Mengenai ketampanan, untuk orang seusianya, Verdi memang pantas berada di level 9 dari rentang 1 hingga 10. Bagi Rania, pria dengan umur seperti itu memiliki daya tarik tersendiri. Mereka tidak nampak 'pecicilan' atau 'kegatalan' kalau bertemu wanita cantik. Mereka cenderung tenang dan pandai memainkan emosi.
Tapi, apa artinya wajah good looking kalau itu orang juteknya seperti apa yang ditunjukkannya?
“Welcome aboard. Selamat bergabung, Rania. Percaya deh, perusahaan ini bukan surga, bukan juga perusahaan idaman. Tapi lumayan untuk cari-cari pengalaman. Once you got it, get the hell out of here."
Rania mengerenyit kening. Tak menduga bahwa Verdi cukup nyinyir menilai perusahaannya sendiri. Keluar dari perusahaan setelah mendapatkan ilmu yang cukup? Ide apa itu? Tapi karena merasa bahwa topik itu agak sensitif untuk diulas ia memutuskan untuk tidak mengejar maksud ucapan Verdi. Ia hanya memperbaiki posisi duduknya.
“Seperti yang kamu minta, aku cuma mau menyampaikan kalau departemen kami sudah siap untuk diaudit."
“Audit?” Verdi gagal menyembunyikan kebingungannya.
Ditanya seperti itu, Rania justeru heran.
“Dua hari lalu kamu bilang begitu kan? Jadi kapan bisa kita mulai?”
Verdi menyandarkan punggung di kursi putarnya. “Bagaimana kalau Selasa depan?”
“Nggak kelamaan? Bagaimana kalau besok?”
Alis mata Verdi menaik. “Memangnya siap?”
“Siapa aja,” Rania menjawab tegas.
Verdi mengangguk-angguk. “Kamu sudah baca materi yang nanti diaudit?”
“Sudah,” Rania tetap menjawab tegas.
“Anda tahu ordernya ada empat kan? Dan itu mencakup ratusan tolok ukur atau KPI. Tau kan apa itu KP....”
"Key Performance Indicator. Tolok ukur."
Verdi mencibir kecil lagi. Senyum yang berarti sedikit mengagumi pengetahuan Rania yang ternyata tidak dangkal seperti sempat ia duga.
“Mm... ya empat,” Rania mulai nampak goyah sebelum menambahkan.
“Aku sudah mulai mempelajari kemarin,” katanya. Ia berdusta karena ia baru mulai melakukannya sejak hari pertama di sana. Dusta terpaksa dilakukan demi tekadnya menghadapi pria menjengkelkan ini.
Verdi menyeruput kopi dari cangkir di dekatnya. Rania bergidik melihat perubahan raut wajah Verdi yang kembali mendingin.
“Jadi maksudmu, berkas dari empat ordner sekaligus sudah dipelajari? Begitu?“
Rania mengangguk.
Sedetik kemudian, suasana yang mulai menghangat di antara mereka berdua berubah menjadi kembali tegang.
“Pinter bohong juga kamu!“
Rania tercekat. Verdi terus berbicara dengan intonasi meninggi.
“Di perusahaan ini, jangan sekali-kali anggap enteng yang namanya proses auditing. Kami menerapkan standar negara asal. Karena itulah, kalo pas diaudit ternyata ditemukan major finding tiga buah saja, maka temuan itu akan jadi alasan yang cukup untuk membuat seluruh pabrik libur produksi sebulan penuh. Major finding semacam itu sudah terjadi dua kali pada cabang perusahaan di dua negara berbeda yang kemudian berakhir dengan penutupan sementara karena tindak lanjut yang parah. Karena itu aku akan mati-matian menjaga jangan sampai peristiwa yang sama terjadi di sini karena aku tidak siap melihat dua ribu karyawan terpangkas penghasilannya. Karena itulah Rania, please, persiapkan audit sebaik mungkin. Jangan asal saja. Mempelajari hingga empat ordner dalam tempo satu bahkan dua hari itu nggak mungkin, nonsense.“
Rania makin tercekat. Ia sadar dirinya terjebak oleh kecerobohan ucapannya sendiri. Verdi masih melanjutkan suara dinginnya.
“Dengar baik-baik, aku saat ini dipercaya jadi Lead Auditor. Untuk itu aku harus pastiin kalau audit nggak dilakukan main-main. Artinya baik auditor maupun auditee harus melakukan tugas dengan sungguh-sungguh. Lantas, bagaimana mungkin kamu yang baru hitungan hari di sini sudah menyatakan siap diaudit sedangkan bahan-bahannya belum dipelajari semua? Jangan berbohong dengan mengatakan semua dokumen di empat ordner sudah dipelajari semua. Apalagi kamu belum lama orientasi. Aku tuh bukan anak kecil yang mudah dibohongi.”
Mendengar rangkaian kalimat panjang, Rania terlecehkan. Tapi, Verdi memang benar. Ia tidak siap sama sekali. Apa yang tadi ia katakan sebetulnya tak lebih dari gertak sambal. Dan itu adalah gertak yang salah sasaran karena Verdi sangat memahami tugas yang ia akan lakukan. Rania kesal. Tapi sadar ia tidak memiliki amunisi yang cukup untuk membantah ucapan Verdi tadi.
Rania keluar dari ruang kerja Verdi dengan kekesalan bertumpuk.‘Kalau dia berpikir bahwa aku sebagai orang baru harus mengikuti kemauannya maka pria sombong itu salah besar,’ kata Rania membatin.Tak lama lagi Verdi akan menyadari bahwa ia berhadapan dengan orang paling keras yang ia pernah temui. -* Perusahaan tempat Verdi dan Rania bekerja menempati dua lantai di menara gedung yang disewa, tepatnya lantai 14 dan 16. Ketika harus menuju departemen di lantai berbeda, daripada menunggu lift, ia lebih suka naik atau turun menggunakan tangga darurat. Tak perduli walaupun tangga darurat itu pun sudah menjadi areal kumpul-kumpul tak resmi bagi beberapa orang yang belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan merokoknya. Saat itu ketika Verdi melangkah turun
Ini membuat Rania berpikir pragmatis. Ia butuh uang namun di saat yang sama tak boleh membiarkan uang menguasai dirinya. Itu idealis sekali. Namun tentu saja tak semudah membalik telapak tangan ketika tiba di ajang pembuktian. Apalagi ia saat ini berada di depan mesin ATM dan menemukan bahwa saldo menunjukkan angka yang tak lebih dari lima digit. Benar-benar memalukan. Dirinya adalah seorang manajer tapi memiliki sisa dana amat minim. Ia bisa saja berkilah bahwa ia masih berbilang hari di posisi di atas sehingga belum menikmati madu pertama alias gaji perdana. Tapi apa yang dialami benar-benar memalukan. Mama rupanya terlambat mentransfer uang untuk kebutuhannya sehari-hari. Ruang ATM dimana dirinya berada dalam keadaan sepi. Bahkan lokasi sisi
Almarhum Papa benar. Foto dan video itu membawa kenangan dan kejadian di masa lalu dan memberikan kenangan manis dan kuat bagi keluarga yang ditinggalkan. Semua itu terasa manis walau – bagi Rania khususnya – mendatangkan duka mendalam karena merasa begitu sedikit waktu kebersamaan yang terjadi. Namun, let gone be by gone. Itu prinsipnya. Serpihan kenangan masa lalu dalam bentuk gambar dan video itu ia jadikan petunjuk betapa Papa almarhum sangat mencintai keluarganya. Gambar dan video itu juga sekaligus jadi bukti betapa Papa begitu memanjakan Rania dan menjadikan puteri kecilnya adakalanya terlihat lebih diistimewakan daripada James, kendati ia adalah si bungsu.
“Rapatnya dipercepat. And you know what? Dipercepatnya ke jam dua belas.”“Ha? Koq bisa sih ngadain meeting saat jam istirahat?”“Yah, suka nggak suka begitulah tabiat GM kita.” Vonny menarik kursi dan kemudian duduk di atasnya.“Rania di rapat nanti ikut bicara kan?”Rania teringat sesuatu. “Mmm, aku emang diminta untuk bikin presentasi mengenai departemen ini. Bahan presentasinya udah siap sih. Mudah-mudahan nanti nggak ditanya macam-macam. Apalagi yang di luar konteks.”“Kalo yang biasanya kritis di rapat gituan sih biasanya Pak Verdi."Tulang Rania mendadak terasa linu-linu. Mendung seolah menaungi raut wajahnya. Sayangnya perubahan itu tak disadari Vonny. Vonny malah kini melirik nakal ke arahnya.“Sampai hari ketiga ini, udah ketemu dia apa belom?”“Sudah.”“Well? Tanggapan Rania
Pintu teater XXI studio 1 yang akan dimasuki Nurul dan Ditya masih akan dibuka sebentar lagi. Sambil menikmati potongan chocolate bar terakhir yang tadi dibeli di supermarket dalam mall yang sama, Ditya sibuk menguping pembicaraan kekasihnya yang tengah asyik mengobrol dengan seseorang yang ia tahu pastilah Rania. “Iya, iya, he’eh……. Iya, iyaaa……. Iiiiyaaa, oke, oke, iyaaaa…..” Ditya baru menyadari bahwa dalam beberapa menit terakhir sepertinya hanya kata ‘iya’ atau ‘he’eh’ atau ‘oke’ itu saja yang keluar dari mulut Nurul. Bagi Ditya yang sudah tiga tahun mengencani gadis berkerudung namun cenderung ‘jil-boob’ di sebelahnya ini, ia mengerti bahwa itu ma
Suara Verdi kembali terdengar. Walau tidak terdengar ketus seperti biasa dan terucap perlahan tapi Rania masih merasa bahwa pria itu lagi-lagi mengusik dirinya."So what? Lagipula aku nggak telat karena boss besar belum dateng."Jawaban Verdi terlontar tak kalah perlahannya. "Aturan main di sini beda. Biarpun boss besar belum dateng tapi kalo jamnya udah lewat kamu tetap dianggap telat. Ada yang nyatet lho, dan itu...""Kalau memang aku telat, itu bermasalah buatmu?" akibat merasa mulai terintimidasi, Rania kini benar-benar tak bisa membendung kekesalannya. Ia sudah nekad kalau pun harus diomeli ia siap."Nggak, Ran. Nggak. Itu bermasalah buat di-ri-mu. Sebentar lagi akan ada orang yang nyinyir dengan keterlambatanmu dan itu bisa mempengaruhi penilaian atas kamu. Ingat, kamu tuh masih di probation period.""Aku memang masih di masa percobaan dan rawan dipecat kalau prestasiku
Tak lama, Sanjay Rajha memasuki ruangan rapat. Suasana ramai makin mereda saat melihat kehadiran sang GM. Rapat pun langsung dimulai. Sebuah rapat yang agenda utamanya adalah pembahasan kemungkinan tambahan investasi untuk perluasan kapasitas pabrik, mega order dari Thailand, dikuti dengan presentasi singkat beberapa manajer tentang situasi terkini.Dalam rapat yang baru pertama Rania ikuti ini, ia lebih banyak mendengar dan memperhatikan pendapat dan argumen rekan-rekannya sesama manajer. Pada kesempatan itu secara sekilas ia dapat melihat kualitas rekan-rekannya sesama manajer. Pemikirannya bahwa setiap manajer, terlebih yang bekerja di sebuah perusahaan multi nasional asing, harus super profesional dan canggih nampaknya terpatahkan. Rania tidak percaya akan apa yang ia lihat dan dengar selama berlangsungnya rapat satu setengah jam ini. Rapat yang seharusnya mengambil keputusan strategis untuk kepentingan perusahaan, menurut Rania malah tanpa disadari menjadi
“Jadi keluhan kalian pada umumnya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan?”Bagai dikomando, Poltak bersama semua rekan satu departemen yang posisi duduknya mengitari Rania, mengiyakan.“Kalian musti ngomong baik-baik dengan Pak Edwin dan juga Personalia. Sudah?” Rania menyuap spagheti yang membelit garpunya.Kali ini giliran si pendiam, Fira, yang berbicara.“Percuma, bu. Enggak Pak Edwin atau Manajer Personalia, semua cuma mau ngambil keputusan yang mengamankan posisinya sendiri. Pak Edwin nggak pernah jadi jembatan yang menyalurkan aspirasi karyawan ke pihak manajemen. Sebaliknya keputusan dari top management semuanya diakomodir biarpun peraturan nggak aspiratif. Rasa-rasanya karyawan dari semua departemen sudah pernah mengeluhkan berbagai hal. Boro-boro ditindaklanjuti, kalo sampai keluhan kami dijawab saja, baik lewat email atau bicara langsung, itu sudah bagus.”