“Lu kenapa harus tersinggung dibilang bocil sih?”
“Kan gue bukan anak kecil lagi.”
Nurul, rekan Rania, terkikik mendengar pengalaman tak terduga yang dialami rekannya. Baginya adalah satu berbanding seribu dimana orang yang kita omeli dan mengomeli ternyata secara tak terduga adalah orang yang harus ditemui setiap hari. Saat ia mendengar jawaban Rania, gadis itu tertawa makin keras.
Bosan menunggu Nurul berhenti tertawa, jutek alias kejudesan tingkat tinggi yang merupakan tabiat dadakan Rania, bangkit lagi.
“Tau gak, gue nelpon lu supaya dapet advis, saran, masukan atau apa keq yang cespleng. Lah, malah gue abis diledekin. Lu mau nolong apa nggak sih?”
“Sori, sori,” Nurul terdengar berusaha menghentikan tawa walau tidak bisa langsung seketika berhenti. “Tapi pengalaman lu bener-bener lucu buat gue.”
Mendengar bahwa Nurul masih akan tertawa lagi, Rania langsung membentak. “Awas, lu ketawain gue lagi, gue tutup ni telpon.”
“Jutek lu kapan ilang sih?”
“Pertanyaan gue sih soooooo simpel.”
“Simple?”
“Jadi kalo lu jadi gue, apa yang lu mau kerjain?” Rania memperbaiki posisi duduknya dengan tetap mendekap ponsel agar sedikit lekat di telinga. “Pertanyaan simpel kan?”
“O iya. Pertanyaan lu emang simpel. Yang nggak simpel itu jawabannya.”
Kali ini gantian Rania yang tertawa. Tawa kecil.
“Cintaaa, gue tu tau tabiat lu. Gue udah lama tau kalo lu tu….. “
“Apa?”
“…………..”
“Koq diem?”
“Gue tau kalo lu tu…. Sori, kalo gue bilang lu tuh suka sama cowok yang lebih tua.”
“Ya elah, kirain apaan. Emang apa salahnya dengan sikap begitu?” Rania sedikit meradang. “Yang penting bukan kakek-kakek kan?”
*
Pagi itu Rania melangkah mantap menuju sudut barat gedung dimana menurut info yang didapatnya di situlah terletak departemen yang dikepalai Verdi. Dan memang tidak sulit bagi Rania untuk menemukan tempat itu. Rasanya jantungnya berdegup lebih cepat ketika ia mengetuk pintu ruangan bertuliskan “Research & Development (R&D)Manager.”
“Masuk.”
Rania membuka pintu dan langsung bertatapan mata dengan orang yang ia cari. Ia terperangah.
OMG. It's him!
Mukanya memerah.
‘Nggak salah nih?’ tanyanya, membatin.
Di depannya, di balik meja kerjanya duduk orang itu, seorang pria dewasa akhir 40an tahun yang tengah menelpon. Wajah persegi dengan alis mata tebal, rambut sedikit ikal, dan kumis tipis serta penampilan necis yang proporsional dengan tubuhnya. Sangat… sangat … ah, Rania agak sulit menggambarkan. Berbaju hem lengan panjang bermotif kotak-kotak warna navy blue, pria di depan itu nampaknya lebih cocok menjadi artis sinetron dengan peran ayah yang bijak, daripada pegawai perusahaan.
Namun sikap terperangah Rania sebetulnya bukan karena wajah pria berumur namun tetap terlihat rupawan tadi. Tapi lebih karena Rania baru mengetahui bahwa orang itu adalah pemilik mobil sedan hitam yang pernah bertengkar dengan dirinya di pelataran parkir!
Rania menunduk. Untuk sesaat ia benar-benar tidak tahu mau berbuat apa. Ia hanya menurut ketika dalam keadaan berbicara di telpon, Verdi menyilahkannya duduk di kursi. Hebat sekali pengemudi sedan hitam itu, yang ternyata adalah manajer rekanan kerjanya. Ia pasti masih sangat mengenali Rania. Tapi sungguh luar biasa. Keterkejutan sama sekali tidak nampak di wajahnya.
Melihat sikap Verdi yang nampak tidak terperanjat melihat kehadirannya, Rania jadi ikut terbawa. Ia lantas mencoba bersikap tenang dengan duduk serileks mungkin. Rania memaksa diri untuk bersikap demikian santai sambil sesekali telinganya menangkap pembicaraan Verdi. Pria itu berbicara dalam bahasa Inggris yang cukup fasih. Kendati mengerti kata per kata, Rania tidak bisa memahami apa yang pria itu bicarakan dengan lawan bicaranya. Mungkin karena topik pembicaraan memang terlalu teknis.
Tata ruang kerja Verdi dengan segera menjadi sasaran perhatiannya. Cukup apik, demikian penilaian sekilasnya. Kendati ada beberapa contoh disain karton, kemasan plastik, dan label di sudut ruang, semua ternyata dapat ia tata rapih. Di meja kerjanya tidak terdapat tumpukan berkas-berkas atau kertas-kertas. Staples, pulpen, kalkulator berada rapi di tempatnya. Hanya secangkir kopi putih yang juga tertata manis di tatakannya.
Kesan Rania, pria ini tergolong perfeksionis. Sifat itu terkadang memiliki arti positif, tapi bagi mereka yang mengutamakan kecepatan dalam pekerjaan – seperti diri Rania – kedua sifat tadi bisa bertabrakan dalam hal-hal tertentu.
Tak lama pembicaraan telpon pun berakhir. Lebih tepatnya diselesaikan karena Verdi sendiri yang memintanya. Bisa jadi itu dilakukan karena ia segan telah membiarkan Rania terlalu lama menunggu.
“Maaf,” Verdi meletakkan gagang telpon. “Maaf aku kelamaan nelpon.”
‘Baru tahu lu?’ Rania menggerutu dalam hati.
Verdi menyandarkan punggung. Mereka bertatapan satu-dua detik sebelum Verdi berpura-pura menata white coffee dalam gelas di depannya. Segurat senyumnya menghias seketika. Senyum terpaksa.
"Nggak nyangka kalo kita ternyata satu kantor."
Verdi mengangguk-angguk sementara Rania masih belum bersuara..
“Jadi, kamu yang namanya Erania Laetitia Kinanti, Export Manager baru?”
“Junior manager,“ Rania mengoreksi.
“Whatever. Apapun itu kamu manajernya.“
Rania mengangguk. Bukannya menjawab pertanyaan Verdi, ia malah membelokkan topik pembicaraan. “Mengenai kejadian waktu itu di areal parkir, aku yang salah.”Verdi menaikkan alis mata. “Aku nggak percaya kamu ke sini untuk ngomongin lagi kejadian menyebalkan itu.”“Memang nggak sih,” Rania menyibak rambut pirangnya yang tergerak di bawah bahu.“Tapi aku rasa kasus kemarin, bagaimana pun juga, perlu diselesaikan.”Verdi nampak berpikir sebelum mulai menjawab. “Bukannya kasus itu memang udah selesai?”Rania tidak langsung menjawab. Verdi menyambung ucapannya. “Atau kasus serempetan itu kamu anggap belum selesai? Aku sih nggak keberatan koq kalau harus kembali mengajukan biaya perbaikan.”“Nggak, bukan itu,” Rania cepat-cepat menjawab. “Maksudnya aku senang kasus itu dianggap selesai, Pak.”"Aku nggak suka dipanggil begitu. Verdi
Rania keluar dari ruang kerja Verdi dengan kekesalan bertumpuk.‘Kalau dia berpikir bahwa aku sebagai orang baru harus mengikuti kemauannya maka pria sombong itu salah besar,’ kata Rania membatin.Tak lama lagi Verdi akan menyadari bahwa ia berhadapan dengan orang paling keras yang ia pernah temui. -* Perusahaan tempat Verdi dan Rania bekerja menempati dua lantai di menara gedung yang disewa, tepatnya lantai 14 dan 16. Ketika harus menuju departemen di lantai berbeda, daripada menunggu lift, ia lebih suka naik atau turun menggunakan tangga darurat. Tak perduli walaupun tangga darurat itu pun sudah menjadi areal kumpul-kumpul tak resmi bagi beberapa orang yang belum bisa melepaskan diri dari ketergantungan merokoknya. Saat itu ketika Verdi melangkah turun
Ini membuat Rania berpikir pragmatis. Ia butuh uang namun di saat yang sama tak boleh membiarkan uang menguasai dirinya. Itu idealis sekali. Namun tentu saja tak semudah membalik telapak tangan ketika tiba di ajang pembuktian. Apalagi ia saat ini berada di depan mesin ATM dan menemukan bahwa saldo menunjukkan angka yang tak lebih dari lima digit. Benar-benar memalukan. Dirinya adalah seorang manajer tapi memiliki sisa dana amat minim. Ia bisa saja berkilah bahwa ia masih berbilang hari di posisi di atas sehingga belum menikmati madu pertama alias gaji perdana. Tapi apa yang dialami benar-benar memalukan. Mama rupanya terlambat mentransfer uang untuk kebutuhannya sehari-hari. Ruang ATM dimana dirinya berada dalam keadaan sepi. Bahkan lokasi sisi
Almarhum Papa benar. Foto dan video itu membawa kenangan dan kejadian di masa lalu dan memberikan kenangan manis dan kuat bagi keluarga yang ditinggalkan. Semua itu terasa manis walau – bagi Rania khususnya – mendatangkan duka mendalam karena merasa begitu sedikit waktu kebersamaan yang terjadi. Namun, let gone be by gone. Itu prinsipnya. Serpihan kenangan masa lalu dalam bentuk gambar dan video itu ia jadikan petunjuk betapa Papa almarhum sangat mencintai keluarganya. Gambar dan video itu juga sekaligus jadi bukti betapa Papa begitu memanjakan Rania dan menjadikan puteri kecilnya adakalanya terlihat lebih diistimewakan daripada James, kendati ia adalah si bungsu.
“Rapatnya dipercepat. And you know what? Dipercepatnya ke jam dua belas.”“Ha? Koq bisa sih ngadain meeting saat jam istirahat?”“Yah, suka nggak suka begitulah tabiat GM kita.” Vonny menarik kursi dan kemudian duduk di atasnya.“Rania di rapat nanti ikut bicara kan?”Rania teringat sesuatu. “Mmm, aku emang diminta untuk bikin presentasi mengenai departemen ini. Bahan presentasinya udah siap sih. Mudah-mudahan nanti nggak ditanya macam-macam. Apalagi yang di luar konteks.”“Kalo yang biasanya kritis di rapat gituan sih biasanya Pak Verdi."Tulang Rania mendadak terasa linu-linu. Mendung seolah menaungi raut wajahnya. Sayangnya perubahan itu tak disadari Vonny. Vonny malah kini melirik nakal ke arahnya.“Sampai hari ketiga ini, udah ketemu dia apa belom?”“Sudah.”“Well? Tanggapan Rania
Pintu teater XXI studio 1 yang akan dimasuki Nurul dan Ditya masih akan dibuka sebentar lagi. Sambil menikmati potongan chocolate bar terakhir yang tadi dibeli di supermarket dalam mall yang sama, Ditya sibuk menguping pembicaraan kekasihnya yang tengah asyik mengobrol dengan seseorang yang ia tahu pastilah Rania. “Iya, iya, he’eh……. Iya, iyaaa……. Iiiiyaaa, oke, oke, iyaaaa…..” Ditya baru menyadari bahwa dalam beberapa menit terakhir sepertinya hanya kata ‘iya’ atau ‘he’eh’ atau ‘oke’ itu saja yang keluar dari mulut Nurul. Bagi Ditya yang sudah tiga tahun mengencani gadis berkerudung namun cenderung ‘jil-boob’ di sebelahnya ini, ia mengerti bahwa itu ma
Suara Verdi kembali terdengar. Walau tidak terdengar ketus seperti biasa dan terucap perlahan tapi Rania masih merasa bahwa pria itu lagi-lagi mengusik dirinya."So what? Lagipula aku nggak telat karena boss besar belum dateng."Jawaban Verdi terlontar tak kalah perlahannya. "Aturan main di sini beda. Biarpun boss besar belum dateng tapi kalo jamnya udah lewat kamu tetap dianggap telat. Ada yang nyatet lho, dan itu...""Kalau memang aku telat, itu bermasalah buatmu?" akibat merasa mulai terintimidasi, Rania kini benar-benar tak bisa membendung kekesalannya. Ia sudah nekad kalau pun harus diomeli ia siap."Nggak, Ran. Nggak. Itu bermasalah buat di-ri-mu. Sebentar lagi akan ada orang yang nyinyir dengan keterlambatanmu dan itu bisa mempengaruhi penilaian atas kamu. Ingat, kamu tuh masih di probation period.""Aku memang masih di masa percobaan dan rawan dipecat kalau prestasiku
Tak lama, Sanjay Rajha memasuki ruangan rapat. Suasana ramai makin mereda saat melihat kehadiran sang GM. Rapat pun langsung dimulai. Sebuah rapat yang agenda utamanya adalah pembahasan kemungkinan tambahan investasi untuk perluasan kapasitas pabrik, mega order dari Thailand, dikuti dengan presentasi singkat beberapa manajer tentang situasi terkini.Dalam rapat yang baru pertama Rania ikuti ini, ia lebih banyak mendengar dan memperhatikan pendapat dan argumen rekan-rekannya sesama manajer. Pada kesempatan itu secara sekilas ia dapat melihat kualitas rekan-rekannya sesama manajer. Pemikirannya bahwa setiap manajer, terlebih yang bekerja di sebuah perusahaan multi nasional asing, harus super profesional dan canggih nampaknya terpatahkan. Rania tidak percaya akan apa yang ia lihat dan dengar selama berlangsungnya rapat satu setengah jam ini. Rapat yang seharusnya mengambil keputusan strategis untuk kepentingan perusahaan, menurut Rania malah tanpa disadari menjadi