Share

OMG. It's Him!

            “Lu kenapa harus tersinggung dibilang bocil sih?”

            “Kan gue bukan anak kecil lagi.”

            Nurul, rekan Rania, terkikik mendengar pengalaman tak terduga yang dialami rekannya. Baginya adalah satu berbanding seribu dimana orang yang kita omeli dan mengomeli ternyata secara tak terduga adalah orang yang harus ditemui setiap hari. Saat ia mendengar jawaban Rania, gadis itu tertawa makin keras.

            Bosan menunggu Nurul berhenti tertawa, jutek alias kejudesan tingkat tinggi yang merupakan tabiat dadakan Rania, bangkit lagi.

            “Tau gak, gue nelpon lu supaya dapet advis, saran, masukan atau apa keq yang cespleng. Lah, malah gue abis diledekin. Lu mau nolong apa nggak sih?”

            “Sori, sori,” Nurul terdengar berusaha menghentikan tawa walau tidak bisa langsung seketika berhenti. “Tapi pengalaman lu bener-bener lucu buat gue.”

            Mendengar bahwa Nurul masih akan tertawa lagi, Rania langsung membentak. “Awas, lu ketawain gue lagi, gue tutup ni telpon.”

            “Jutek lu kapan ilang sih?”

            “Pertanyaan gue sih soooooo simpel.”

“Simple?”

“Jadi kalo lu jadi gue, apa yang lu mau kerjain?” Rania memperbaiki posisi duduknya dengan tetap mendekap ponsel agar sedikit lekat di telinga. “Pertanyaan simpel kan?”

            “O iya. Pertanyaan lu emang simpel. Yang nggak simpel itu jawabannya.”

            Kali ini gantian Rania yang tertawa. Tawa kecil.

            “Cintaaa, gue tu tau tabiat lu. Gue udah lama tau kalo lu tu….. “

“Apa?”

“…………..”

“Koq diem?”

“Gue tau kalo lu tu…. Sori, kalo gue bilang lu tuh suka sama cowok yang lebih tua.”

            “Ya elah, kirain apaan. Emang apa salahnya dengan sikap begitu?” Rania sedikit meradang. “Yang penting bukan kakek-kakek kan?”

           

*

Pagi itu Rania melangkah mantap menuju sudut barat gedung dimana menurut info yang didapatnya di situlah terletak departemen yang dikepalai Verdi. Dan memang tidak sulit bagi Rania untuk  menemukan tempat itu. Rasanya jantungnya berdegup lebih cepat ketika ia mengetuk pintu ruangan bertuliskan “Research & Development (R&D)Manager.”

            “Masuk.”

  Rania membuka pintu dan langsung bertatapan mata dengan orang yang ia cari. Ia terperangah.

OMG. It's him!

Mukanya memerah.

‘Nggak salah nih?’ tanyanya, membatin.

Di depannya, di balik meja kerjanya duduk orang itu, seorang pria dewasa akhir 40an tahun yang tengah menelpon. Wajah persegi dengan alis mata tebal, rambut sedikit ikal, dan kumis tipis serta penampilan necis yang proporsional dengan tubuhnya. Sangat… sangat … ah, Rania agak sulit menggambarkan. Berbaju hem lengan panjang bermotif kotak-kotak warna navy blue, pria di depan itu nampaknya lebih cocok menjadi artis sinetron dengan peran ayah yang bijak, daripada pegawai perusahaan.

Namun sikap terperangah Rania sebetulnya bukan karena wajah pria berumur namun tetap terlihat rupawan tadi. Tapi lebih karena Rania baru mengetahui bahwa orang itu adalah pemilik mobil sedan hitam yang pernah bertengkar dengan dirinya di pelataran parkir!

Rania menunduk. Untuk sesaat ia benar-benar tidak tahu mau berbuat apa. Ia hanya menurut ketika dalam keadaan berbicara di telpon, Verdi menyilahkannya duduk di kursi. Hebat sekali pengemudi sedan hitam itu, yang ternyata adalah manajer rekanan kerjanya. Ia pasti masih sangat mengenali Rania. Tapi sungguh luar biasa. Keterkejutan sama sekali tidak nampak di wajahnya.

Melihat sikap Verdi yang nampak tidak terperanjat melihat kehadirannya, Rania jadi ikut terbawa. Ia lantas mencoba bersikap tenang dengan duduk serileks mungkin. Rania memaksa diri untuk bersikap demikian santai sambil sesekali telinganya menangkap pembicaraan Verdi. Pria itu berbicara dalam bahasa Inggris yang cukup fasih. Kendati mengerti kata per kata, Rania tidak bisa memahami apa yang pria itu bicarakan dengan lawan bicaranya. Mungkin karena topik pembicaraan memang terlalu teknis.

Tata ruang kerja Verdi dengan segera menjadi sasaran perhatiannya. Cukup apik, demikian penilaian sekilasnya. Kendati ada beberapa contoh disain karton, kemasan plastik, dan label di sudut ruang, semua ternyata dapat ia tata rapih. Di meja kerjanya tidak terdapat tumpukan berkas-berkas atau kertas-kertas. Staples, pulpen, kalkulator berada rapi di tempatnya. Hanya secangkir kopi putih yang juga tertata manis di tatakannya.

Kesan Rania, pria ini tergolong perfeksionis. Sifat itu terkadang memiliki arti positif, tapi bagi mereka yang mengutamakan kecepatan dalam pekerjaan – seperti diri Rania – kedua sifat tadi bisa bertabrakan dalam hal-hal tertentu.

Tak lama pembicaraan telpon pun berakhir. Lebih tepatnya diselesaikan karena Verdi sendiri yang memintanya. Bisa jadi itu dilakukan karena ia segan telah membiarkan Rania terlalu lama menunggu.

“Maaf,” Verdi meletakkan gagang telpon. “Maaf aku kelamaan nelpon.”

‘Baru tahu lu?’ Rania menggerutu dalam hati.

Verdi menyandarkan punggung. Mereka bertatapan satu-dua detik sebelum Verdi berpura-pura menata white coffee dalam gelas di depannya. Segurat senyumnya menghias seketika. Senyum terpaksa.

"Nggak nyangka kalo kita ternyata satu kantor."

Verdi mengangguk-angguk sementara Rania masih belum bersuara..

“Jadi, kamu yang namanya Erania Laetitia Kinanti, Export Manager baru?”

“Junior manager,“ Rania mengoreksi.

“Whatever. Apapun itu kamu manajernya.“

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status