Ini membuat Rania berpikir pragmatis. Ia butuh uang namun di saat yang sama tak boleh membiarkan uang menguasai dirinya. Itu idealis sekali. Namun tentu saja tak semudah membalik telapak tangan ketika tiba di ajang pembuktian. Apalagi ia saat ini berada di depan mesin ATM dan menemukan bahwa saldo menunjukkan angka yang tak lebih dari lima digit.
Benar-benar memalukan. Dirinya adalah seorang manajer tapi memiliki sisa dana amat minim. Ia bisa saja berkilah bahwa ia masih berbilang hari di posisi di atas sehingga belum menikmati madu pertama alias gaji perdana. Tapi apa yang dialami benar-benar memalukan. Mama rupanya terlambat mentransfer uang untuk kebutuhannya sehari-hari.
Ruang ATM dimana dirinya berada dalam keadaan sepi. Bahkan lokasi sisi gedung dimana ruang ATM berada pun dalam keadaan sepi. Hanya dirinya yang ada di sana. Ia melangkah pergi seraya memasukkan kartu ATM ke dalam dompet. Mendadak ia dikejutkan oleh kehadiran seorang pria yang mendadak menghentikan langkah dengan berdiri tepat di depan sehingga hampir saja Rania menabrak tubuh orang itu.
“Tunggu!” pria itu membentak.
Rania tersentak ketika orang itu mengeluarkan sesuatu dari balik jaket kulit yang dikenakan. Sebuah pisau.
“Jangan macam-macam manis. Kamu tau apa yang kumau kan?”
Rania mendegut ludah susah-payah. Wajahnya pucat.
“Tolong jangan sakitin saya.”
“Apa yang bikin aku gak boleh nyakitin kamu, hah?”
“Akuuuu…..aku…”
“Belum kawin?”
Faktor panik membuat Rania mengiyakan saja pertanyaan ‘bodoh’ tadi.
Pria itu berpostur tinggi. Rania mungkin hanya sebahunya. Ia hanya mengenakan masker yang menutup dari hidung hingga ke dagu. Namun dari sebagian wajah yakni rambutnya yang lurus hitam legam, kedua mata, ujung hidung, dan kening, ia bisa mengetahui bahwa pelakunya adalah seorang pemuda yang bisa jadi seumuran dengan dirinya. Tanpa banyak bersuara, ia merampas dompet yang masih di tangan Rania, memeriksa, menggeleng kepala.
“Buset, cekak banget lu!”
Ia lalu meraih kartu ATM yang tadi dipakai Rania dan menyerahkan lagi padanya.
“Ambil semua isinya.”
Rania tak tahu apakah hendak tertawa, menangis, atau takut. Ia baru saja mengecek dan sisa saldo tak akan membuat mesin beruang itu mengeluarkan selembarpun mata uang terkecilnya. Namun sadar bahwa tidak bijaksana jika ia berkilah demikian, ia menurut saja. Ia kembali ke dalam ruang, memasukkan kartu ATM, memasukka PIN, dan…… kali ini Rania terkaget.
Ia kaget karena si pria penodongnya mendadak tertawa sangat keras. Keras sekali sampai ia sempat terbatuk.
“A-aku…. Emang lagi gak a-ada du-duit….”
Orang itu tertawa lagi walau tak sekeras sebelumnya. “Aku gak nyangka. Korbanku miskin banget sampe perlu kutolong sendiri!”
“Sori, a-a-aku hanya p-punya kartu ATM ini.”
Sempat mereda, tawa orang itu meledak lagi. Kali ini jauh lebih keras dari yang pertama. Rania melihat dengan bingung atas peristiwa tak terduga ini. Adegan berikut tak pernah Rania duga sama sekali.
Si perampok – calon perampok yang menodongnya – tiba-tiba mengeluarkan dompetnya sendiri dan menyerahkan lima lembar lima puluhan ribu kepadanya.
“Buat lu.”
Rania terpana. “What??”
Pertanyaannya tak terjawab. Sang penolong, sang perampok, sang penodong, atau sang apapun dia, telah pergi meninggalkannya yang sibuk dengan ribuan tanda tanya.
*
Ibunda Rania berulangtahun hari ini. Beruntung, hari penting ini jatuh di hari libur sehingga Rania bisa punya waktu cukup untuk terbang dari Jakarta dan menginap satu atau mungkin dua malam di sana. Dikatakan hari penting karena ini juga ulangtahun beliau ke 60. Di usianya yang makin menua dimana ayahnya telah lama almarhum, Rania selalu mengaguminya. Mama itu luar biasa. Penampilannya selalu terlihat tetap sehat, tetap enerjik, dan juga…. tetap ceriwis.
Terlahir sebagai pribadi dengan pribadi sanguine, Mama itu suka sekali bercerita. Semua cerita dari utara ke selatan dan barat ke timur, beliau kuasai dan bisa disampaikan dengan cara yang santun, santai, dan terkadang malah lucu. Mama bisa mengobrol mulai dari masalah politik, musik, kehidupan sosialita, pengetahuan, sampai lagu dangdut. Mama kemudian jadi teman mengobrol yang menyenangkan. Ia mudah karib dengan banyak sekali orang.
Berkebalikan dengan Mama, ayahnya almarhum justeru tipikal melankolik. Pendiam, serius, namun mencurahkan banyak waktu dan perhatian pada dua anaknya. Dirinya, dan adiknya, James, yang kini tinggal bersama Mama. Bagi Rania, kepergian Papa benar-benar terasa merobek dunia. Waktu-waktu kebersamaan bersamanya benar-benar tak ternilai. Papa punya kebiasaan menyimpan foto dan video. Dalam keterbatasan ekonomi, Papa malah sempat-sempatnya menyewa sebuah handycam karena kala itu harga perangkat semacam itu masih amat mahal. Semua semata ia lakukan untuk mendapatkan rekaman video yang ia tahu pasti akan sangat berguna di masa depan.
“Sayang, aku sekarang ngerti. Kamu sebetulnya tadi itu sedang dijebak oleh Renty. Dia dengan rekannya adalah orang yang nyusupin barang haram itu ke dalam tas kopermu.” Rania tak bisa berkata apa-apa. Mulutnya ternganga lebar dengan mata membelalak sembari menggeleng-geleng kepala. Mama Lidya tak kurang terkagetnya. “Saat dia sendirian, dia ngelakuin aksinya. Seperti yang kamu cerita saat dini hari itulah dia mem-finalisasi rencananya. Mungkin saat itulah dia dikirimi paket narkoba dari temannya yaitu ganja dan segala macam obat haram itu. Mungkin juga Renty adalah penggunanya. Tidak tertutup kemungkinan ke arah itu. Saat pagi harinya ketika kamu nggak di kamar, dia sisipkan itu di bagian tas koper. Mungkin dengan membuat robekan kecil di koper kamu yang memang hanya berbahan kain. Sayangnya, rencana itu gagal. Ada Tuhan yang jagain kamu. Kamu dibuat mengalami peristiwa buruk yang bikin tas koper kamu robek dan barang haram yang disisip di dalamnya terjatuh. Paket itu lantas kamu bua
“We gonna make it?”“Absolutely, Mister.” Rania mencondongkan wajahnya ke samping wajah Verdi. “Dan udah terbukti kamu masih tetap joss.”Verdi terbahak lagi. Apalagi kini Rania menatap dengan gerak alis dan tatapan laiknya seorang wanita yang nakal hendak mengajak bercinta. Benar-benar sudah tak ada lagi duka di wajah itu seperti ketika ia baru saja tiba.*Kebahagiaan kedua Rania alami ketika ia dan Verdi tiba di kendaraan mereka. Rupanya ada Mama di sana yang menunggui. Dan yang membuat Rania terkaget adalah bahwa Mama di sana dengan seorang bayi lucu dalam pelukannya.Cerita kemudian mengalir satu demi satu baik dari Mama maupun dari Verdi. Tentu saja porsi terbesar cerita ada pada Mama yang secara runut menceritakan keajaiban yang ia alami. Mungilnya sang bocah membuat Rania jatuh cinta seketika. Permintaan Mama untuk ia merawat bersama-sama diterima de
Hanya ada bahagia tak terperi. Saat Surabaya sudah makin tenggelam dalam malam bahagia seolah bertumpukan satu per satu menimpa hidup Rania. Dimulai dari ketika ia disambut oleh senyum Verdi di pintu keluar bandara.Ah, beda dengan hampir tiga tahun lalu di pelataran parkir perkantoran di Jakarta ketika cinta menggebu membuat Verdi berani memeluk dirinya berlama-lama di tengah keramaian, situasi itu tak terjadi lagi saat ini. Namun tentu saja itu bukan masalah besar bagi Rania. Cinta Verdi atas dirinya tak perlu diragukan lagi karena toh tak semua orang wajib mewujudkan dan melampiaskan rasa itu dengan cara ekspresif.Verdi memeluk. Sebentar. Namun sangat hangat. Dan betapa Rania merindukan pelukan pria terhebat yang ia bisa miliki itu. Pengalaman mengerikan yang dirancang seorang perempuan jahat bernama Renty gagal terwujud. Dan ia yakin itu terjadi karena doanya yang tulus yang menyertai perjalanan.“Kenapa nangi
Penjelasan itu terasa cukup bagi Rania. Ia mengambil tasnya kembali dan memutuskan tidak perlu bertanya lagi. Jam dinding di salah satu sisi ruangan menunjukkan waktu bahwa ia harus sesegera mungkin menuju ruang tunggu pesawat. Para petugas X-Ray tadi menunjukan sikap hormat ketika Rania bergegas pergi.Sepuluh menit kemudian ketika pesawat yang ditumpangi sudah take off, Rania masih terus memikirkan pengalaman aneh yang terjadi. Ketika ia melihat seorang anak kecil pada bangku di depannya membuka bungkus kemasan biskuit berwarna biru tua, seketika ia teringat sesuatu. Ia teringat pada bungkus berukuran sama dan warna yang sama yang ia buang di tempat sampah bandara. Bungkusan yang menurut pengemudi taksi daring yang ia naiki terjatuh dari koper akibat ada bagian koper yang robek karena terbentur bagasi mobil. Bulu kuduk Rania meremang.Tidak perlu menjadi seorang jenius dengan sederet gelar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia nyaris
Urusan check in sudah selesai. Dengan alasan bahwa koper yang dibawa Rania adalah koper kecil yang akan dibawa masuk dalam bagasi kabin pesawat, Rania melangkah ke arah ruang tunggu pesawat. Namun saat melewati security-check, ia kaget karena detektor X-Ray berbunyi. Ia melihat sekitar. Tak ada penumpang pesawat lain. Artinya detektor berbunyi saat melakukan scanning atas koper miliknya.‘Maaf, ibu boleh minggir sebentar?”Ajakan seorang ibu petugas bandara tadi membuat Rania sedikit gugup. Para penumpang lain mulai berdatangan ketika Rania menurut.“Maaf, boleh kopornya dibuka?”Rania merutuk dalam hati atas gangguan kecil yang dialami. Namun ia menenangkan diri sendiri karena menurutnya ini bukan pengalaman pertama ia diminta seperti itu. Itu sebabnya dengan tersenyum ia mengikuti permintaan petugas itu dan membuka koper setelah mengisikan nomor kode koper.Dibantu seorang pe
“O gitu? Kamu puasa Senin – Kamis?”“Begitulah?”“Buat apa? Buat supaya sukses bisnis?”“Bukan.”“Buat dapet jodoh?”“Gak lah.”“Terus? Tujuannya apa?”“Buat ngurusin badan.”Wajah innocent alias tak berdosa yang ditunjukan oleh James sukses membuat Terry tertawa. Walau tawa kecil bagi James ini langkah bagus. Hati Terry yang gembira merupakan pintu masuk untuk diskusi yang sebentar lagi dilakukan akan berjalan kondusif dan hangat. Ia masuk ke dalam gerai, mengambil kopi, biskuit, kue, serta menyelesaikan pembayaran dan menemui Terry kembali di tempatnya semula.“Nih, silahkan nikmati,” katanya sembari mulai meletakkan roti dalam bungkusan plastik beserta kopi dalam kemasan botol plastik mungil ke depan Terry.Saat belum lagi menaruh semua, mendadak dari kanton