Jenazah Suamiku
Bab 2 : Meninggalkan Hutang
"Assalammualaikum," ucap seorang wanita paruh baya dengan gamis putih.
"W*--waalaikum--salam .... " jawabku dengan susah payah karena mataku kini tertuju kepada sosok pria berkacamata hitam mirip almarhum Bang W*wan, hanya saja dia berpenampilan lebih glamor dan tak sesederhana suamiku.
"Apa benar ... Kamu yang bernama Wulandari?" tanya wanita itu lagi.
Aku mengangguk dengan debaran keras di dada yang tak dapat untuk kuredam, tangan ini mendadak dingin. Wajahku menegang, aku bingung dan takut
"Hmm ... Anda-anda semua ini siapa? Ada keperluan apa datang ke sini?" Bang Wahyu angkat bicara juga sambil mengusap kumis tebalnya, dia menatap bergantian empat orang asing di hadapan kami. Dua orang wanita paruh baya, satu orang nenek tua dan satu orang pria bertubuh tegap yang wajahnya mirip suamiku.
"Kami ke sini hanya ingin melayat saja, sekalian membeberkan hutang almarhum Wawan .... " Wanita yang bergamis hitam dengan rambut yang disanggul ke atas yang menjawab pertanyaan Abangku.
"A--apa ... Hu--hutang?" Aku menelan ludah, kepala mendadak pening. Aku paling takut dengan hutang karena takkan sanggup membayarnya. Satu-satunya milik kami yang paling berharga peninggalan suamiku hanyalah rumah gubuk dengan tanah di sekitarnya yang kami tanami ubi juga aneka sayuran yang akan kami gunakan sebagai bahan makanan sehari-hari ini.
"Hahhh ... Dasar Wawan Si Gembel! Sudah miskin, penyakitan dan kini mati malah meninggalkan hutang!" Bang Wahyu tergelak sinis lalu melangkah pergi meninggalkan aku diantara orang-orang kaya ini.
Air mata ini jatuh tak tertahan dan kusapu dengan cepat. Bang Wawan berhutang apa dengan orang-orang ini? Hati sedikit kesal dengannya yang telah beristirahat tenang di halaman sana.
"Hmm ... Itu ... Yang di sana, apa makam almarhum Wawan?" tanya wanita tua berkaca mata.
"I--iya .... " jawabku lirih.
Sontak keempat orang itu melangkah mendekat ke arah makam suamiku. Aku menghela napas berat dan memutuskan untuk masuk ke dalam rumah untuk menemui Winka yang tadi kusuruh mandi sembari aku mengupas ubi untuk sarapan kami.
"Nak, kamu udah selesai mandi?" Kuhampiri buah cintaku bersama almarhum, yang kini sedang kesusahan menyisir rambut panjangnya itu.
"Udah, Bu. Ibu udah selesai ngupas ubinya? Ayo Winka bantuin!" Dia menggandeng tanganku keluar dari kamar kecil kami yang hanya berukuran 2mx2m itu.
"Ibu sudah selesai ngupas ubinya, ini kamu bantuin nyucinya saja ke belakang, Ibu mau ngidupin api dulu." Kugandeng Winka menuju dapur.
Dengan cepat, segera kusiapkan tunggu kayu api untuk merebus ubi ini, setelah itu Winka akan kusuruh tetap di sini, sedangkan aku akan menghadapi empat tamu yang katanya mau membeberkan hutang almarhum.
***
"Winka, kamu di sini saja, Ibu mau ke depan, ada tamu," ujarku kepadanya saat panci ubi sudah bertengger di atas tunggu.
"Iya, Bu." Winka mengangguk sambil tersenyum.
Kuusap kepalanya lalu melangkah meninggalkan dapur, kemudian menuju ruang depan. Aku sedikit terkejut saat mendapati empat orang kaya itu sudah duduk di ruang tamu sempit yang sudah terlihat penuh saat ditempati mereka.
"Maaf, Bu, Tante, dan Mas ... Rumah kami sempit," ujarku tak enak kepada mereka yang terlihat agak kesusahan duduk meleseh di lantai papa rumah gubukku.
"Nggak apa-apa kok, Wulan, rumah ini cukup nyaman dan bersih." Wanita bergamis putih itu tersenyum, sekilas wajahnya mirip suamiku. Aku jadi kangen dia, pria baik hati yang tak pernah bicara dengan nada tinggi kepadaku, dia begitu penyabar dan penyayang.
Air mata tak dapat untuk kutahan, walau aku sudah mengikhlaskan dia, tapi tetap saja hati terasa pilu jika mengenang dia. Sesungguhnya aku memang belum sanggup kehilangan dia, aku sanggup hidup miskin bertahun-tahun tapi ... Rasanya aku tak sanggup bila hidup tanpa dia. Aku menangis dalam diam, tanpa suara, hanya air mata yang terus meluncur dengan derasnya.
"Wulan, kamu harus ikhlaskan almarhum ... Dia sudah tenang di sana .... " Wanita bergamis putih itu bergeser ke dekatku dan memelukku.
"Saya ikhlas, Bu," jawabku lirih.
"Saya bisa mengerti perasaan kamu, Wulan, menangislah ... Biar hatimu tenang .... " katanya lembut sambil mengusap bahuku
Aku semakin tak bisa menahan tangis ini, pecah juga tangisku. Wanita itu juga menangis, kami menangis bersama, walau dia terlihat mencoba menenangkanku.
"Ma, kok malah ikutan nangis sih? Bukannya kita mau menagih hutang ke sini, gimana sih?!" Pria berkacamata hitam itu angkat bicara, dia terlihat kesal.
"Oh iya, maaf. Wulan, tenanglah!" Wanita bergamis putih itu sedikit menjauh dariku, sambil menghapus air mata di wajahnya.
Aku menghela napas panjang dan menghapus air mata dengan ujung jilbabku.
"Katakanlah ... Ada hutang apa almarhum Bang Wawan dengan kalian?" tanyaku kemudian.
"Apa nggak nunggu nanti saja kita bicarakan hal ini, Wulan masih berduka." Terdengar wanita bergamis putih berbicara kepada tiga orang di dekatnya.
"Hmm ... Lebih cepat bagus, Ma, kita katakan sekarang saja!" Pria itu ngotot, nadanya terdengar tegas. Tidak, dia tak lagi mirip suamiku sekarang, suamiku nada bicaranya sangat lembut dan tak arrogant seperti dia.
"Sebaiknya kita pulang saja dulu dan kembali ke sini minggu depan, nunggu situasi aman dan Wulan siap mendengarnya. Kasihan dia, dia ... Baru saja ditinggalkan suaminya jadi jangan menambah beban masalah dulu." Wanita yang paling tua mengeluarkan pendapatnya sembari bangkit dari duduknya.
"Saya sependapatkan dengan Oma. Sebaiknya kita pulang saja dulu." Wanita bergamis hitam dan kacamata hitam ikutan berdiri sambil menggandeng tangan wanita tua yang dipanggil Oma itu.
Pria berkacamata hitam terlihat mendengus kesal, sayangnya aku tak bisa melihat sorot matanya saat ini, mungkin matanya memerah karena gagal menagih hutang.
"Kami akan kembali minggu depan dengan nominal hutang almarhum suamimu, dan jangan mencoba berdrama seperti sekarang lagi!" Pria itu berkata dengan nada ketus lalu membalik badan dan turun dari rumahku.
Keempat orang kaya itu turun dari rumahku dan aku hanya menatap kepergian mereka dari depan pintu. Hatiku masih diselimuti rasa penasaran akan hutang Bang Wawan, padahal setahuku suamiku itu tak banyak tingkah. Lalu bagaimana bisa dia berhutang dengan orang kaya itu?
Bersambung ....
Jenazah SuamikuBab 3 : Titipan"Wulan, ini untuk kamu. Terima, ya." Wanita bergamis putih itu berbalik ke arahku dan memberikan sesuatu di tangan ini."Apa ini, Bu? Saya tak mau menambah hutang, sudah cukup hutang Bang Wawan yang sudah terpendam itu .... " jawabku dengan menatap amplop di tangan ini."Ini bukan pinjaman, anggap aja sebagai bentuk belasungkawa dari kami, buat jajan Winka. Salam, ya, untuk dia." Wanita itu segera membalikkan badan dan melangkah cepat menuju mobilnya.Aku tertegun, bagaimana dia bisa tahu nama putriku--Winka? Perasaan tadi aku tak ada menyebutkan namanya."Bu, siapa orang-orang tadi?" Suara Winka juga genggamannya di tangan ini segera membuatku tersadar, ternyata mobil mewah tadi juga sudah berlalu dari depan rumah."Ibu nggak kenal mereka, Nak. Ya sudah, aku kita masuk!" Kurangkul pundak
Jenazah SuamikuBab 4 : Acara TahlilanSegera kutenteng dua kantong besar bungkusan dari Bu RT masuk ke dalam rumah, sepertinya isinya ini sembako. Begitulah tebakanku.Benar saja, ternyata isinya ada beras, gula, minyak, telor, mie instans, susu, biskuit dan dikantong satunya ada daging sapi, ayam, udang juga aneka sayuran dan bumbu dapur. Ya Allah, malaikat mana yang menitipkan semua ini? Ini sangat banyak dan bisa dimakan warga satu kampung. Aku menggaruk kepala bingung, memutar otak akan kuapakan bahan makanan sebanyak ini? Mau disimpan juga, takkan bisa karena di rumahku ini tidak ada lemari pendingin atau yang disebut kulkas itu.Cukup lama aku berpikir, hingga muncul ide di kepala ini. Senyum tipis terukir di bibirku, mungkin inilah saatnya aku mengadakan acara tahlilan untuk almarhum Bang Wawan. Aku akan memasak semua ini, lalu memanggil tetangga sekitar untuk mengirimkan doa untuk almarhum. Bukannya aku tak pernah mendoakan almarhum, tapi s
Jenazah SuamikuBab 5 : Dijemput Tuan Rentenir"Ada apa, Winka?" tanyaku sambil merangkul pundaknya yang sedang berdiri di depan pintu rumah kami."Itu ada Ayah, Bu! Ternyata Ayah belum meninggal," jawabnya dengan wajah yang berbinar-binar, menunjuk ke arah pria berkacamata hitam yang sedang berdiri di dekat makam almarhum Bang Wawan.Ah, pria arrogant itu lagi, Si Penagih Hutang. Sepertinya, dia itu rentenir dan aku membencinya. Dia pasti menjebak almarhum untuk meminjam uang dengannya, dasar licik! Aku yakin suamiku orang baik dan tak mungkin punya hutang walau kami hidup dalam kemiskinan."Dia bukan Ayahmu, Nak, Ayahmu sudah meninggal. Dia orang lain dan kita tidak mengenalnya," ujarku kepada Winka yang sudah hendak berlari turun dari rumah, mungkin kalau aku tak segera menghampirinya, dia sudah berlari memeluk rentenir itu karena memang mirip Ayahnya walau hanya dari wajah saja. Sedangkan penampilan sangat jauh berbeda."Oh, bukan
Jenazah SuamikuBab 6 : Mabuk Kendaraan"Kita mau ke mana, Bu?" tanya Winka saat dia sudah kupakaikan jilbab dari gamis lebaran dua tahun lalu, yang dibelikan oleh almarhum Bang Wawan saat izin ke Kota untuk menemui temannya dulu."Kita akan pergi ke suatu tempat, Nak, dan Ibu akan kerja di sana. Tapi ... cuma hari ini aja kok, sore nanti kita akan diantar pulang. Nah ... Kamu udah cantik, tinggal Ibu lagi yang harus ganti pakaian." Aku tersenyum kepadanya."Apa kita akan pergi naik mobil pria mirip Ayah, Bu?" Raut wajah Winka terlihat senang sekali."Dia tak mirip Ayahmu, Ayah orang baik ... Sedangkan pria itu ... Dia orang jahat. Kita harus hati-hati, Nak!" jawabku sambil menarik baju dari dalam lemari plastik yang sudah sobek-sobek itu."Oh ... Dia orang jahat." Wajah Winka langsung berubah murung sambil melangkah keluar dari kamar.Aku menghela napas berat, dia masih sangat kecil dan takkan mengerti jika kujelaskan maksud pria itu
Jenazah SuamikuBab 7 : Rumah Nyonya"Mbak Wulan, ayo masuk!" Sebuah suara segera membuatku tersadar."Eh, Pak Jaja .... " ujarku saat melihat Pak Jaja dan seorang wanita berseragam sama dengan pria paruh baya itu."Mbak Wulan, kenalkan ini istri saya ... Namanya Yani. Dia ini kepala Asisten Rumah Tangga di rumah ini." Pak Jaja menunjuk wanita di sebelahnya yang ternyata adalah istrinya."Selamat datang, Mbak Wulan." Wanita bernama Yani itu tersenyum ramah kepadaku. "Ayo, masuk ke dalam!""Hmm ... Pak Jaja ... Winka--putri saya mana, ya?" tanyaku dengan mengedarkan pandangan ke sekeliling."Dik Winka ada di dalam. Ayo, kita masuk, Mbak Wulan!" Yani--istrinya Pak Jaja yang menjawab, ia langsung menggandeng tanganku dan melangkah menuju rumah megah di hadapan kami.Aku mengangguk dan menurut saja, dengan mengedarkan pandangan ke sekitar. Katanya di rumah ini mau ada acara, tapi kok sepi-sepi aja."Assalammualaikum," ucapku
Jenazah SuamikuBab 8 : Jalan Kaki"Mbak Wulan, acaranya akan dimulai pukul 15.30. Ini pakaian ganti dari Nyonya, kita akan berangkat pukul 15.15, setelah sholat ashar." Yani masuk ke dalam kamar istirahatku bersama Winka."Jadi, acaranya bukan di rumah ini, Bu Yani? Lalu kapan saya disuruh kerjanya? Kok malah disuruh rebahan di kamar saja? Terus ... Kok disuruh ganti pakaian segala? Apa ini pakaian khas pelayan rumah ini?" Aku yang baru saja terkejut dari tidur segera melontarkan pertanyaan bertubi kepada wanita bertubuh ideal itu, walau usianya tak lagi muda."Hmm ... Bisa jadi ... Kurang lebih ... Demikianlah .... " Bu Yani menjawab dengan menahan senyum.Ah, semua orang di rumah ini semakin aneh saja. Masa jawabnya begitu, hadeehh."Saya permisi dulu, Mbak Wulan!" Yani--Si Kepala Asisten Rumah Tangga melangkah menuju pintu.Aku membuang napas kasar dan menatap Winka yang masih tertidur. Duh, untung aja ada selimut tebal, kalau ngg
Jenazah SuamikuBab 9 : Acara Selesai"Udah puas belum jalan kakinya? Ayo naik!"Tiba-tiba terdengar suara pria kejam itu di sampingku. Aku menghentikan langkah sambil menyeka keringat di dahi, kesal dan sakit hati beradu jadi satu tapi pastinya aku takkan berani marah kepadanya. Kukepalkan tangan dengan kesal sambil meliriknya."Mau naik atau saya tinggal?!" katanya sambil mengulurkan helm ke arahku.Aku menarik napas panjang dan menatapnya yang kini duduk di atas motor gede berwarna hitam. Nah, 'kan ... Hitam lagi. Apa nggak ada yang warna merah, pink, hijau, biru, coba?"Pertanyaan terakhir, mau naik atau tidak?!" katanya lagi.Tanpa sempat berpikir lagi, segera kutarik helm dari tangannya lalu memasangnya ke kepala. Kuhembuskan napas kasar, lalu naik ke boncengan belakang pria kejam, kasar, arrogant, gila, kurang waras, dan segala umpatan deh untuk dia.Motor mulai melaju dengan kecepatan sedang, aku sengaja duduk aga
Jenazah SuamikuBab 10 : Pembicaraan Dua Orang"Wulan, malam ini kamu dan Winka menginap di sini, ya? Besok pagi baru diantar Pak Jaja dan Restu pulang." Nyonya Hera menghampiriku."Aduh ... Nyonya ... Gimana, ya?" Aku jadi bimbang."Nurut saja, besok diantar pulang kok. Ayo!" Nyonya Hera menggandeng tanganku."Tapi ... Nyonya .... " Perasaanku jadi tak enak saja."Nggak usah tapi-tapian, malam ini nginap di sini dulu." Nyonya Hera mengantarku ke kamar istirahat tadi."Baiklah, Nyonya. Hmm ... Nyonya ... Sebenarnya ... Almarhum Bang Wawan ada hutang apa sih sama keluarga Nyonya? Hmm ... Maksud saya ... Hutangnya itu berapa banyak?" tanyaku sambil menarik tangan Nyonya Hera untuk duduk di atas tempat tidur."Hmm ... Masalah hutang itu .... ""Ibu udah datang .... "Belum sempat Nyonya Hera menjawab, Winka sudah berlari masuk ke dalam kamar dan memelukku."Nak, Ibu lagi bicara sama Nyonya Hera. Kamu udah wudh