Home / Romansa / Jenazah Suamiku / Bab 3 : Titipan

Share

Bab 3 : Titipan

Author: Naffa Aisha
last update Last Updated: 2022-02-22 15:23:38

Jenazah Suamiku

Bab 3 : Titipan

"Wulan, ini untuk kamu. Terima, ya." Wanita bergamis putih itu berbalik ke arahku dan memberikan sesuatu di tangan ini.

"Apa ini, Bu? Saya tak mau menambah hutang, sudah cukup hutang Bang Wawan yang sudah terpendam itu .... " jawabku dengan menatap amplop di tangan ini.

"Ini bukan pinjaman, anggap aja sebagai bentuk belasungkawa dari kami, buat jajan  Winka. Salam, ya, untuk dia." Wanita itu segera membalikkan badan dan melangkah cepat menuju mobilnya.

Aku tertegun, bagaimana dia bisa tahu nama putriku--Winka? Perasaan tadi aku tak ada menyebutkan namanya.

"Bu, siapa orang-orang tadi?" Suara Winka juga genggamannya di tangan ini segera membuatku tersadar, ternyata mobil mewah tadi juga sudah berlalu dari depan rumah.

"Ibu nggak kenal mereka, Nak. Ya sudah, aku kita masuk!" Kurangkul pundak putri kecilku itu, lalu menutup pintu.

Winka melangkah menuju dapur, sedangkan aku berbelok menuju kamar lalu menyelipkan amplop dari wanita tadi di antara lipatan baju.

***

Usai sarapan, Winka kusuruh belajar sebab hari ini hari minggu jadi ia tak ke Sekolah tapi tetap kuwajibkan untuk belajar di rumah. Apalagi besok sudah masuk waktunya ulangan, jadi ia memang harus belajar extra agar mendapatkan nilai bagus dan juara kelas. Iya, putriku ini termasuk siswa cerdas di sekolahnya, dari kelas 1 - kelas 3 ini dia selalu mendapatkan rangking satu dan membuat bangga aku dan Bang Wawan.

"Winka, belajar sendiri dulu, ya, Ibu mau ke kamar sebentar. Nanti Ibu temani belajar," ujarku kepadanya.

Winka mengangguk dan mulai membuka buku paket pembelajarannya. Aku melangkah menuju kamar.

Aku masuk ke kamar, sedikit penasaran akan uang duka di dalam amplop itu. Kira-kira isinya berapa ya?

Dengan tangan yang bergetar dan berdebar-debar, kuraih amplop itu dan membukanya perlahan. Ya Allah, isinya lembaran uang berwarna merah yang jumlahnya mungkin di atas sepuluh lembar.

Apa maksud wanita itu memberikan uang sebanyak ini, sedangkan mereka datang ke rumahku untuk menagih hutang almarhum. Lalu bagaimana bisa dia malah memberikan uang sebanyak ini? Semua itu sungguh membingungkan. Apa ini jebakan biar hutang suamiku semakin banyak lagi? Ya Allah, ujian apalagi ini? Sudah cukup ujian ini, Tuhan, jangan membuat akalku semakin pendek.

Satu, dua, tiga, ..., sepuluh, sebelas, ... Dua puluh. Jumlah uang di dalam amplop ini ada dua juta. Ini jumlah uang yang sangat banyak, seumur-umur aku belum pernah memegang uang sebanyak ini. Paling banyak lima ratus ribu saja uang yang pernah kupegang, jemari ini semakin gemetar saja saat menyimpan kembali uang itu ke dalam amplop.

Aku tertegun sejenak, sebagai wanita miskin yang tak pernah pegang uang banyak, jelas aku senang melihat uang sebanyak itu tapi ini bukan uangku. Jadi, aku takkan mengambilnya sepeser pun.

Setelah menyimpan uang itu, aku kembali ke dekat Winka yang terlihat sedang membaca buku pelajarannya.

***

Sejak hari ini, aku mulai menghitung hari karena seminggu lagi rombongan penagih hutang itu akan dapat kembali ke rumah.

Pagi ini Winka sudah berangkat ke Sekolah, aku masih duduk termenung di depan rumah, menatap ke arah tiang nisan dengan tulisan Muhammad Setiawan Bin Alm.H. Setiawan Effendi.

Bang Wawan, dia sudah tenang beristirahat di sana, hanya aku saja yang masih tak tenang di sini. Memikirkan nasibku dan Winka tanpanya, juga hutang yang tak pernah kuketahui itu.

Bang, kamu berhutang apa dengan orang kaya itu? Lalu dengan apa aku harus membayarnya? Kuusap nisan almarhum suamiku itu, air mata kembali luruh tak tertahan. Bayangan almarhum menghembuskan napas terakhirnya kembali berputar di kepala ini. Aku ingat betul waktu itu, ia masih sempat menunaikan sholat subuh walau dalam keadaan berbaring.

"Wulan ... Sayang ... Abang rasa ... Saatnya akan segera tiba. Abang ... sangat bahagia ... Menjalani rumah tangga bersamamu. Maaf ... Abang takkan bisa membantumu mengurus putri kita lagi." Bang Wawan menyentuh ujung jemariku, tangannya sudah terasa dingin waktu itu.

"Abang jangan berkata demikian, kita akan mengurusi Winka sampai dia dewasa. Bukannya kata Abang ... Abang sendirilah yang akan menikahkannya nanti." Air mataku mulai luruh tak tertahan.

"Abang takkan mau menjadi bebanmu selamanya, Sayang. Abang ... Capek ... Abang nggak kuat lagi. Abang mau tidur saja." Bang Wawan hendak memejamkan matanya.

Perasaanku semakin tak tenang, aku selalu takut jika dia izin tidur karena takut ia tak bangun-bangun lagi. Sesungguhnya aku belum rela ditinggalkan olehnya, suami yang amat kucintai.

"Bang, jangan pergi!" ujarku sambil memeluknya.

"Terima kasih atas keikhlasanmu mengurus Abang selama ini, Wulan. Abang tak menyangka akan bisa hidup selama ini, semua karenamu juga Winka." Bang Wawan berkata lirih.

"Aku ikhlas merawatmu, Bang, tapi jangan pernah berpikir untuk meninggalkan aku dan Winka, Bang. Kami takkan bisa hidup tanpamu, kamu akan sembuh, Bang." Aku menggenggam tangan Bang Wawan yang semakin dingin, sedangkan dahinya terlihat berkeringat.

"Winka, Ayah titip Ibu. Kalian harus tetap baik-baik saja ... Walau tanpa Ayah." Bang Wawan membuka matanya dan menoleh ke arah putri kami yang duduk di sisi kirinya berbaring.

Bang Wawan terlihat memegangi dadanya, ia terlihat kesusahan bernapas. Wajahnya memerah seperti menahan rasa sakit, keringat semakin membanjiri dahinya.

"Bang, apanya yang sakit?" tanyaku dengan mengeratkan genggaman tangan ini.

Bang Wawan menggeleng, ia lalu tersenyum tipis.

" Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, w* asyhaduanna muhammadar rasuulullah". Bang Wawan berkata lirih, genggaman tangannya melemah.

"Bang!" teriakku panik.

"Ayah!" Winka pun menjerit kala melihat ayahnya sudah memejamkan mata dengan wajah tersenyum, ia terlihat seperti sedang tertidur.

Aku segera meletakkan kepala di dada suamiku untuk merasa detak jantungnya dan sudah tak terdengar apa pun lagi. Dia telah pergi ke Rahmatullah, meninggalkan aku dan Winka.

"Wulan, tak terasa, ya, sudah dua minggu kepergian suamimu. Tetap kirim doa untuk dia, dia sudah tenang di alam sana." Sebuah suara segera membuatku tersadar dari lamunan panjang tadi.

"Eh, Bu RT .... " ujarku saat menoleh ke arah suara.

"Wulan, ini ada titipan untukmu dan Winka." Bu RT mengulurkan dua kantong plastik hitam ke arahku. "Terimalah."

"Apa ini, Bu RT? Titipan dari siapa?" tanyaku kaget saat dua kantong itu telah berpindah ke tangan ini.

"Saya tak tahu, Wulan, tadi Pak RT yang nyuruh ngantar ini ke rumahmu. Terima saja, ini rezeki untukmu dan Winka." Bu RT tersenyum.

"Apa ini dari Pak RT atau dibeli dari uang kas desa lagi? Saya tak enak, Bu RT, kalian sudah banyak membantu. Maaf ... Saya tak bisa lagi menerima semua ini .... " Aku menatapnya sedih dan benar-benar tak enak hati atas budi mereka ini.

"Bukan dari Pak RT, Wulan, ini dititipkan seseorang kepada suami saya dah disuruh buat disampaikan kepada kamu. Terimalah, anggap saja ini rezeki dari Allah. Saya permisi dulu."  Bu RT membalikkan badan dan melangkah cepat meninggalkanku yang masih tertegun di dekat makam almarhum Bang Wawan.

Bersambung .....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
nsnsjskskkd
goodnovel comment avatar
Claresta Ayu
apakah yg titip itu orang² yang nagih hutang kemarin
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Adakah salah satu dr saudara wawan yg bantu wulan?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jenazah Suamiku   Extra Part 2

    Jenazah SuamikuExtra Part 2"Ini martabak setannya udah jadi, buruan dicicipin. Aku mau mandi dulu, setelah itu kita ke rumah sakit." Restu menghampiri Wulan sambil membawa sepiring martabak hasil buatannya."Kok bentuknya aneh gini sih, Mas?" Wulan yang sedang meringis sambil mengusap perutnya langsung mencebik."Dicicipi, jangan cuma dilihatin aja! Pasti enak itu rasanya," jawab Restu sambil menoleh sekilas lalu masuk ke dalam kamar mandi.Dengan wajah yang cemberut, Wulan mengambil sepotong martabak yang bentuknya amat jelek itu lalu menggigitnya sedikit."Hmm ... Enak juga, pedesnya mantap." Wulan menyunggingkan senyum sambil mengambil satu martabak lagi dan melahabnya dengan nikmat.Rasa nyeri di perut juga pinggangnya hilang sudah, yang ada hanya rasa kenyang juga puas akan tujuh potong martabak yang sudah berpindah ke dalam perutnya. Karena saking nikmatnya, Wulan sampai mencicipi jarinya satu persatu."Sayang, masih ad

  • Jenazah Suamiku   Extra Part 1

    Jenazah SuamikuExtra Part 1Yudhi kembali ke rumahnya dengan perasaan yang tak menentu. Di satu sisi ia sangat senang bisa menghabiskan waktu seminggu untuk berbulan madu bersama Stefanny--wanita yang sudah kumpul kebo beberapa bulan dengannya itu sebelum akhirnya ia putuskan untuk menikahinya secara siri setelah testpack garis dua yang menandakan hubungan mereka selama ini telah menghasilkan seorang janin. Sedangkan di satu sisi, ancaman dari Shela sungguh membuatnya risih, ia tak mau kehilangan istri yang sudah memberinya dua anak yang tampan juga cantik.Saat tiba di depan pagar rumah, Yudhi langsung menghentikan mobilnya. Di sana terlihat sebuah koper yang membuatnya penasaran akan milik siapa.Yudhi langsung turun dan membunyikan bel, lalu mengintip ke dalam lewat celah pagar.Satpam rumahnya terlihat acuh dan sibuk dengan ponsel saja."Pak Dadang, bukain pagarnya!" ujar Yudhi dengan setengah berteriak sam

  • Jenazah Suamiku   Bab 63 (Tamat)

    Jenazah SuamikuBab 63 (Tamat)Restu menjemput Winka ke Kota zzz, ia ingin meyakinkan kalau anak kecil mirip Winka yang ada di rumahnya bersama mereka selama ini adalah palsu.Ketika tiba di rumah sakit tempat Winka dirawat, Restu hanya mendapati Yudhi saja di sana. Stefanny sudah ia antar ke hotel dulu agar situasi tetap aman."Ayah." Winka tersenyum senang kala membuka matanya pagi ini, sebab ayah yang ia rindu ada di depan mata."Kita akan pulang, Nak. Ayah senang kamu kembali." Restu mengusap pucuk kepala putri sambungnya itu."Winka lebih senang lagi. Gimana kabar Ibu? Dede bayi kembar udah lahir belum?" tanya Winka polos."Belum, Nak, Dede bayinya nunggu kakaknya pulang dulu baru deh lahir." Restu tersenyum, ia semakin yakin kalau yang depannya sekarang adalah Winka yang asli."Winka kangen Ibu, Oma Hera, Oma Rani juga Eyang. Winka kangen rumah .... " Winka menahan air matanya."Semua juga kangen kamu, Nak. Kita ak

  • Jenazah Suamiku   Bab 62 : Bertemu

    Jenazah SuamikuBab 62 : Bertemu"Yudhi, Winka kenapa? Kamu ketemu dia di mana?" tanya Restu yang segera tersadar dan meredam kemarahannya kepada sang asisten."Aku ketemu Winka di jalan, Res. Maaf, tadi ... mobilku tak sengaja menyerempet dia saat menyeberang tiba-tiba," jelas Yudhi."Terus ... Winka nggak apa-apa 'kan?" Restu beranjak dari kursi kerjanya, ia semakin cemas dengan keadaan Winka."Nggak apa-apa, cuma geger otak ringan kata Dokter. Nginap di RS malam ini aja, besok pagi udah boleh pulang. Jadi, rencananya besok aku akan bawa Winka pulang ke Kota kita," ujar Yudhi."Hmm ... aku akan ke sana, menjemput Winka. Aku ke bandara sekarang," ujar Restu tanpa berpikir lagi."Res, biar aku yang bawa pulang Winka. Kamu dan Wulan tunggu di rumah saja. Winka akan baik-baik saja bersamaku," ujar Yudhi dengan menelan ludah, ia menyangka kalau Restu akan mau menyusul ke sini."Hey, Winka itu putriku dan aku takkan bisa cuma tingg

  • Jenazah Suamiku   Bab 61 : Runyam

    Jenazah SuamikuBab 61 : Runyam"Maaf, Pak, ada yang ingin bertemu." Pak Andre--asisten sementara pengganti Yudhi, mendorong pintu ruangan Restu setelah mengetuknya berkali-kali tapi tapi tak mendapat respon."Siapa? Saya sedang sibuk dan tak sempat bertemu dengan siapa pun. Ambil laporan itu dan segera perbaiki, dan harus selesai hari ini juga!" Restu berkata dengan nada tinggi, emosinya sedang tak terkontrol sejak keabsenan Yudhi dari kantor."Ma--maaf, Pak, i--itu ... ada istrinya ... Pak Yudhi ... yang ingin bertemu Pak Restu," ujar pria paruh baya itu, lalu berjongkok untuk memungut beberapa berkas yang berserakan di lantai.Restu mengerutkan dahi, ia mulai menduga-duga ada hal yang tidak beres yang terjadi kepada asisten yang merangkap temannya itu."Hmm ... suruh masuk deh, sama siapa dia?" Restu membuang napas kasar."Sama dua anaknya, Pak. Baik, saya akan suruh dia masuk. Permisi." Pak Andre menjawab sambil mengangguk sopan l

  • Jenazah Suamiku   Bab 60 : Kacau

    Jenazah SuamikuBab 60 : KacauHari terus berlalu, Winka yang terpaksa harus menjadi sosok Dewi--anak perempuan Yulia yang ia perlakukan seperti boneka itu, semakin tak tahan saja. Ia tak mau terusan seperti ini, sedangkan wanita bernama Anne yang ia harapkan bisa menolongnya itu malah cuek saja dan mengaku tak mengenalnya."Dewi, kamu duduk di sini dan jangan ke mana-mana! Ayo, nonton televisi! Ini film anak-anak terbaru dan kamu harus nonton." Yulia menunjuk layar televisi.Winka mengangguk dan kembali pasang tampang manis, walau dalam hati terus menangis ingin pulang."Mami mau ke Salon dulu, kamu tidak boleh bergerak dari sini sebelum Mami pulang. Kamu mengerti?!" Yulia mengusap kepala Winka."Iya, Mami, Dewi paham." Winka mulai memanggil dirinya dengan sebutan Dewi juga, agar Yulia senang dan ia tak mendapatkan kemarahan lagi seperti tempo hari. Ia mulai memahami sifat wanita yang ia panggil Mami itu dan berusaha terlihat sebagai anak p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status