Jenazah Suamiku
Bab 4 : Acara Tahlilan
Segera kutenteng dua kantong besar bungkusan dari Bu RT masuk ke dalam rumah, sepertinya isinya ini sembako. Begitulah tebakanku.
Benar saja, ternyata isinya ada beras, gula, minyak, telor, mie instans, susu, biskuit dan dikantong satunya ada daging sapi, ayam, udang juga aneka sayuran dan bumbu dapur. Ya Allah, malaikat mana yang menitipkan semua ini? Ini sangat banyak dan bisa dimakan warga satu kampung. Aku menggaruk kepala bingung, memutar otak akan kuapakan bahan makanan sebanyak ini? Mau disimpan juga, takkan bisa karena di rumahku ini tidak ada lemari pendingin atau yang disebut kulkas itu.
Cukup lama aku berpikir, hingga muncul ide di kepala ini. Senyum tipis terukir di bibirku, mungkin inilah saatnya aku mengadakan acara tahlilan untuk almarhum Bang Wawan. Aku akan memasak semua ini, lalu memanggil tetangga sekitar untuk mengirimkan doa untuk almarhum. Bukannya aku tak pernah mendoakan almarhum, tapi semakin banyak yang mengirimkan doa maka semakin baik lagi.
Siapa pun orang yang telah bersedekah ini, aku doakan semoga rezekinya semakin dilimpahkan Allah SWT. Oke, aku harus segera memasak semua ini, lalu mengundang para tetangga untuk ke sini.
Bang Wawan, sejak dari kamu dimakamkan di depan rumah, aku memang belum pernah mengadakan acara tahlilan untukmu walau kini kamu sudah 14 hari tertidur di alam keabadian itu. Semua karena ketiadaan, maafkan aku ... Suamiku.
Kuhela napas panjang dan menyeka air mata yang selalu ingin berderai tanpa komando. Ini bukan saatnya bersedih, aku harus bisa memasak semua bahan makanan ini dengan cepat juga enak tentunya.
***
Pukul 15.10, semua masakanku telah selesai. Aku menarik napas lega dan menyeka keringat dengan hati yang puas. Kini saatnya ke musola untuk memanggil para warga yang baru selesai sholat ashar untuk ke rumah.
Dengan langkah cepat, aku menuju musola dan mengutarakan hajadku kepada Pak Ustaz yang mengimami sholat ashar sore ini. Dia menyambut baik keinginanku, dan menyampaikan kepada empat orang warga lainnya yang ada di sana.
Aku begitu terharu, akhirnya bisa juga mengadakan acara tahlilan untuk almarhum, walau lewat rezeki yang tak kuketahui siapa pemberinya.
Acara berlangsung khidmat, walau air mata ini tak hentinya berjatuhan, antara sedih, lega juga terharu karena aku tak pernah membayangkan bisa mengadakan acara kecil-kecilan ini. Semoga almarhum semakin tenang di alam sana, dan di tempatkan di surga Allah. Amin.
"Wulan, kamu sendiri yang memasak semua ini?" tanya Bu RT yang datang bersama Bu Mala dan Bu Tina, tetangga samping rumah. Mereka kini sedang mencicipi makanan yang kusajikan setelah acara tahlilan selesai.
"Iya, Bu, bahan makanannya dari yang Bu RT bawakan tadi pagi. Sampaikan ucapan terima kasih saya kepada orang itu, Bu RT. Berkat barang-barang yang ia berikan, akhirnya saya bisa mengadakan acara tahlilan ini. Saya senang sekali, almarhum Bang Wawan pastinya juga senang." Aku menggigit bibir, berusaha agar tak menangis.
"Hatimu sungguh mulia, Wulan, padahal orang itu hanya ingin berbagi bahan makanan untukmu dan Winka tapi kamu malah menyedekahnya lagi lewat acara tahlilan ini." Bu RT terlihat menyeka pojok matanya.
"Alhamdulillah, Bu RT, niatan saya bisa terlaksana walau lewat rezeki dari orang itu. Bilang Pak RT, suruh sampaikan ucapan terima kasih saya yang sedalam-dalamnya." Aku berusaha tersenyum.
Bu RT mengangguk.
"Ayo dimakan Ibu-Ibu, Winka ayo makan, Nak!" Aku tersenyum kepada tiga wanita paruh baya di dekatku itu juga Winka--putriku yang sedang makan dengan lahap karena kami memang jarang bisa makan enak begini, bahkan mungkin tidak pernah.
***
Kalau tak salah hitung, hari ini sudah masuk 40 hari mendiang Bang Wawan. Sungguh tak terasa, waktu begitu cepat bergulir dan aku masih berharap semua ini hanya mimpi juga masih berharap untuk bisa terbangun lalu mendapati suamiku masih ada di sampingku.
Aku tak masalah walau dia hanya bisa terbaring di tempat tidur dan tak bisa memberikan nafkah yang layak kepada kami, asalkan dia tetap ada di dunia ini. Sesungguhnya hamba ikhlas, Tuhan. Hanya saja, aku merasa masih belum puas merawatnya.
"Assalammualaikum. Permisi .... " Terdengar suara dari depan pintu.
Aku yang saat ini sedang berada di dapur, mengupas ubi untuk kubuat kripik yang akan kutitipkan di warung-warung, berpikir sejenak akan siapakan tamu di depan sana.
"Winka, Nak, ... Coba lihat siapa siapa yang datang itu!" ujarku kepada Winka yang sedang membantuku mengupas ubi.
"Iya, Bu. Siapa, ya, kira-kira? Kita 'kan jarang kedatangan tamu," ocehnya sambil melangkah menuju pintu.
Aku hanya mengangkat bahu dan menatap putriku dari belakang, sedikit penasaran juga akan siapa yang datang itu. Jangan-jangan ... Para penagih hutang yang waktu itu? Waktu seminggu itu memang sudah lama berlalu, dan aku berharap mereka melupakan hal itu. Tapi, sepertinya tidak mungkin.
Ya Tuhan, bagaimana ini? Dengan apa aku harus membayar hutang almarhum Bang Wawan? Apa aku harus mengancam mereka menggunakan pisau ini, seperti yang kulakukan kepada Bang Wahyu waktu itu?
"Ibu, cepat ke sini!!! Ayah hidup lagi, itu dia ada berdiri di dekat makam!!!" Terdengar teriakan Winka dari arah pintu.
Aku segera melepaskan pekerjaanku, ada apa ini? Apa maksud Winka ... Ayahnya hidup lagi itu? Aku segera berlari menuju pintu.
Bersambung ....
Jenazah SuamikuExtra Part 2"Ini martabak setannya udah jadi, buruan dicicipin. Aku mau mandi dulu, setelah itu kita ke rumah sakit." Restu menghampiri Wulan sambil membawa sepiring martabak hasil buatannya."Kok bentuknya aneh gini sih, Mas?" Wulan yang sedang meringis sambil mengusap perutnya langsung mencebik."Dicicipi, jangan cuma dilihatin aja! Pasti enak itu rasanya," jawab Restu sambil menoleh sekilas lalu masuk ke dalam kamar mandi.Dengan wajah yang cemberut, Wulan mengambil sepotong martabak yang bentuknya amat jelek itu lalu menggigitnya sedikit."Hmm ... Enak juga, pedesnya mantap." Wulan menyunggingkan senyum sambil mengambil satu martabak lagi dan melahabnya dengan nikmat.Rasa nyeri di perut juga pinggangnya hilang sudah, yang ada hanya rasa kenyang juga puas akan tujuh potong martabak yang sudah berpindah ke dalam perutnya. Karena saking nikmatnya, Wulan sampai mencicipi jarinya satu persatu."Sayang, masih ad
Jenazah SuamikuExtra Part 1Yudhi kembali ke rumahnya dengan perasaan yang tak menentu. Di satu sisi ia sangat senang bisa menghabiskan waktu seminggu untuk berbulan madu bersama Stefanny--wanita yang sudah kumpul kebo beberapa bulan dengannya itu sebelum akhirnya ia putuskan untuk menikahinya secara siri setelah testpack garis dua yang menandakan hubungan mereka selama ini telah menghasilkan seorang janin. Sedangkan di satu sisi, ancaman dari Shela sungguh membuatnya risih, ia tak mau kehilangan istri yang sudah memberinya dua anak yang tampan juga cantik.Saat tiba di depan pagar rumah, Yudhi langsung menghentikan mobilnya. Di sana terlihat sebuah koper yang membuatnya penasaran akan milik siapa.Yudhi langsung turun dan membunyikan bel, lalu mengintip ke dalam lewat celah pagar.Satpam rumahnya terlihat acuh dan sibuk dengan ponsel saja."Pak Dadang, bukain pagarnya!" ujar Yudhi dengan setengah berteriak sam
Jenazah SuamikuBab 63 (Tamat)Restu menjemput Winka ke Kota zzz, ia ingin meyakinkan kalau anak kecil mirip Winka yang ada di rumahnya bersama mereka selama ini adalah palsu.Ketika tiba di rumah sakit tempat Winka dirawat, Restu hanya mendapati Yudhi saja di sana. Stefanny sudah ia antar ke hotel dulu agar situasi tetap aman."Ayah." Winka tersenyum senang kala membuka matanya pagi ini, sebab ayah yang ia rindu ada di depan mata."Kita akan pulang, Nak. Ayah senang kamu kembali." Restu mengusap pucuk kepala putri sambungnya itu."Winka lebih senang lagi. Gimana kabar Ibu? Dede bayi kembar udah lahir belum?" tanya Winka polos."Belum, Nak, Dede bayinya nunggu kakaknya pulang dulu baru deh lahir." Restu tersenyum, ia semakin yakin kalau yang depannya sekarang adalah Winka yang asli."Winka kangen Ibu, Oma Hera, Oma Rani juga Eyang. Winka kangen rumah .... " Winka menahan air matanya."Semua juga kangen kamu, Nak. Kita ak
Jenazah SuamikuBab 62 : Bertemu"Yudhi, Winka kenapa? Kamu ketemu dia di mana?" tanya Restu yang segera tersadar dan meredam kemarahannya kepada sang asisten."Aku ketemu Winka di jalan, Res. Maaf, tadi ... mobilku tak sengaja menyerempet dia saat menyeberang tiba-tiba," jelas Yudhi."Terus ... Winka nggak apa-apa 'kan?" Restu beranjak dari kursi kerjanya, ia semakin cemas dengan keadaan Winka."Nggak apa-apa, cuma geger otak ringan kata Dokter. Nginap di RS malam ini aja, besok pagi udah boleh pulang. Jadi, rencananya besok aku akan bawa Winka pulang ke Kota kita," ujar Yudhi."Hmm ... aku akan ke sana, menjemput Winka. Aku ke bandara sekarang," ujar Restu tanpa berpikir lagi."Res, biar aku yang bawa pulang Winka. Kamu dan Wulan tunggu di rumah saja. Winka akan baik-baik saja bersamaku," ujar Yudhi dengan menelan ludah, ia menyangka kalau Restu akan mau menyusul ke sini."Hey, Winka itu putriku dan aku takkan bisa cuma tingg
Jenazah SuamikuBab 61 : Runyam"Maaf, Pak, ada yang ingin bertemu." Pak Andre--asisten sementara pengganti Yudhi, mendorong pintu ruangan Restu setelah mengetuknya berkali-kali tapi tapi tak mendapat respon."Siapa? Saya sedang sibuk dan tak sempat bertemu dengan siapa pun. Ambil laporan itu dan segera perbaiki, dan harus selesai hari ini juga!" Restu berkata dengan nada tinggi, emosinya sedang tak terkontrol sejak keabsenan Yudhi dari kantor."Ma--maaf, Pak, i--itu ... ada istrinya ... Pak Yudhi ... yang ingin bertemu Pak Restu," ujar pria paruh baya itu, lalu berjongkok untuk memungut beberapa berkas yang berserakan di lantai.Restu mengerutkan dahi, ia mulai menduga-duga ada hal yang tidak beres yang terjadi kepada asisten yang merangkap temannya itu."Hmm ... suruh masuk deh, sama siapa dia?" Restu membuang napas kasar."Sama dua anaknya, Pak. Baik, saya akan suruh dia masuk. Permisi." Pak Andre menjawab sambil mengangguk sopan l
Jenazah SuamikuBab 60 : KacauHari terus berlalu, Winka yang terpaksa harus menjadi sosok Dewi--anak perempuan Yulia yang ia perlakukan seperti boneka itu, semakin tak tahan saja. Ia tak mau terusan seperti ini, sedangkan wanita bernama Anne yang ia harapkan bisa menolongnya itu malah cuek saja dan mengaku tak mengenalnya."Dewi, kamu duduk di sini dan jangan ke mana-mana! Ayo, nonton televisi! Ini film anak-anak terbaru dan kamu harus nonton." Yulia menunjuk layar televisi.Winka mengangguk dan kembali pasang tampang manis, walau dalam hati terus menangis ingin pulang."Mami mau ke Salon dulu, kamu tidak boleh bergerak dari sini sebelum Mami pulang. Kamu mengerti?!" Yulia mengusap kepala Winka."Iya, Mami, Dewi paham." Winka mulai memanggil dirinya dengan sebutan Dewi juga, agar Yulia senang dan ia tak mendapatkan kemarahan lagi seperti tempo hari. Ia mulai memahami sifat wanita yang ia panggil Mami itu dan berusaha terlihat sebagai anak p