Share

Bab 7

"Huhu ... Saffa." Aku memeluk tubuh mungil putriku dengan sangat erat. 

Jantung ini seakan berhenti berdetak kala sepeda motor tadi melesat cepat menghadirkan angin yang menyapu wajahku. 

Bayangan akan kehilangan putri semata wayangku sudah terpampang jelas. Namun, Tuhan berkehandak lain membuat bayangan menyeramkan itu hilang berganti dengan rasa syukur yang tiada tara.

"Kamu, tuh kalau sama anak, tangannya jangan dilepasin. Untung saja aku bisa menarik dia, kalau tidak? Mati, tuh anak!" ujar Mbak Sum yang tadi menolong Saffa. 

Wanita yang dikenal paling bengal di pabrik itu berujar kesal padaku. Bagiamana tidak, dia harus jatuh terjengkang ke belakang seraya memeluk tubuh Saffa demi menghindari sepeda motor tadi.

Aku tidak menjawab apa-apa. Masih duduk di tanah seraya terus memeluk putriku menciumi pucuk kepalanya berulang kali. 

"Terima kasih, ya sudah menolong cucu saya," ujar Mama terdengar suaranya. 

Orang-orang berkerumun melihat diri ini yang menangis bersimpuh masih enggan melepaskan tubuh mungil putriku. Saffa pun diam saja. Dia tidak sama sekali berontak ingin melepaskan diri. Apa yang terjadi barusan, mungkin membuat jiwanya terguncang. Saffa ketakutan dan kaget karena orang-orang berteriak dan tubuhnya yang ditarik kencang. 

Beberapa saat diam dan menangis di depan pabrik, Mama menyuruhku bangun dan membawa Saffa ke mobil. Aku pun menurut dan mengendong putri kecilku. 

Namun, tidak dengan Mama. Wanita cantik yang telah melahirkanku itu masih di depan pabrik seraya berbincang dengan Mbak Sum. Hingga bisa aku lihat dari sini, Mama memberikan sejumlah uang kepada Mbak Sum. 

"Mama, Cafa haus." 

"Oh, Saffa mau minum? Ini, Nak. Minum, Sayang." Aku mengambil satu botol air mineral, membuka tutupnya lalu memberikan kepada Saffa. 

Saat mata ini kembali melihat ke sana, ternyata Mama sudah tidak ada. Hanya ada Mbak Sum yang sedang mengobrol sambil memegang uang seratus ribuan di tangannya. 

"Gimana, Saffa?" 

Oh, ternyata Mama sudah kembali. Ia masuk, kemudian duduk di belakang kemudi. 

"Masih syok, kayaknya, Mah. Maafin, Mama, Sayang," ujarku untuk kesekian kalinya. 

"Yasudah, sekarang kita langsung pergi saja, ya? Huh, rasanya jantung Mama seperti akan copot, Al." 

Jangankan Mama, aku pun sangat amat kaget. Rasanya seperti mimpi melihat kejadian yang menegangkan di depan mata. 

Tidak siap jika aku harus kehilangan Saffa. Jangankan untuk kehilangan, melihat dia sakit pun aku sangat menderita. 

"Mah, barusan Mama ngasih uang buat Mbak Sum?" 

"Iya, Al. Hanya untuk ucapan terima kasih. Kalau bukan karena dia, tidak tahu, deh nasib Saffa seperti apa."

"Banyak? Kelihatannya Mbak Sum seneng banget, tadi," ucapku lagi. 

"Emm ... ada kali, ya sejuta. Gak ngitung, Mamah. Asal ambil aja tadi dari tas dan langsung nyamperin kamu dan Saffa."

Aku manggut-manggut. Nanti akan aku pikirkan jawaban apa yang harus aku berikan jika besok Mbak Sum menanyakan tentang Mama. Akan sangat tidak masuk akal jika seorang Alina wanita miskin memiliki ibu yang kaya raya. 

Ya, memang pada kenyataannya seperti itu. Tapi, belum saatnya aku mengakui yang sebenarnya. Masih ada beberapa hari untuk aku menjadi buruh pabrik di sana. 

"Aduh, Al. Tangan Mama gemetaran, nih. Kita menepi dulu, ya?" ujar Mama membuatku khawatir. 

"Mama, sakit?" 

"Tidak, Al. Cuma agak gemetaran saja. Mungkin karena syok mengingat kembali kejadian Saffa tadi."

Mama menepikan mobil, lalu mengambil ponsel dari tasnya. Sedangkan Saffa, ternyata putriku itu sudah terlelap dalam dekapan. 

Ah, jantungku kembali berdenyut ketika mengingatnya lagi. Benar kata Mama, kejadian tadi benar-benar membuatku syok berkali-kali. 

Saat Mama sedang menelepon supir, mataku menangkap sesuatu di depan sana. Tepat di depan sebuah restoran, aku melihat ada mobil Mas Haikal terparkir paling belakang. Tiba-tiba saja sebuah ide muncul untuk memberikan pembalasan atas apa yang dia lakukan pada Saffa tadi. 

"Mah, lihat, deh mobil itu."

Mama mengikuti ke mana arah telunjukku. 

"Terus?"

"Itu mobil Mas Haikal. Aku ingin melakukan sesuatu pada mobil itu, tanpa aku menyentuhnya."

"Jangan gegabah, jangan berbuat kriminal," tutur Mama memberi peringatan. 

"Tidak akan, Mah. Kan sudah Alina bilang, tidak akan menyentuhnya. Alina hanya ingin bermain-main saja."

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Mama menatapku serius. 

Aku mengeluarkan ponsel, mencari nomor jasa mobil derek melalui internet. Beberapa saat mencarinya, aku mendapatkan nomor itu. Aku pun langsung menghubunginya dan menyuruh mereka untuk segera datang menderek mobil Mas Haikal yang aku akui sebagai mobil milikku.

Ah, sepertinya ini akan sangat menyenangkan. Tidak sabar rasanya ingin melihat ekspresi wajah mereka ketika mobilnya dibawa. 

Sekitar lima belas menit menunggu, aku melihat ada mobil derek yang berhenti di sekitar tempatku berada sekarang. Langsung aku turun dari mobil setelah menitipkan Saffa kepada Mama terlebih dahulu. 

"Pak." Aku menghampiri supir mobil. 

"Ibu, yang menelepon kami?" tanyanya. 

"Iya, Pak. Itu mobilnya." Aku menunjuk mobil milik Mas Haikal. 

Supir mobil derek itu langsung melakukan apa yang aku instruksikan. Menderek mobil Mas Haikal keluar dari parkiran restoran di mana mantan suamiku dan istrinya berada. 

Saat mobil sudah berada di jalan raya, aku buru-buru masuk ke dalam mobil Mama. Bersiap menikmati hiburan yang sebentar lagi akan dimulai.

"Al, ini gak bener, Nak. Nanti kamu kena pasal karena menderek mobil dengan tanpa izin pemiliknya. Kalau Haikal nuntut kamu gimana?" ujar Mama mulai panik. 

"Tenang, Mah. Mas Haikal mana tahu yang begituan. Lima tahun hidup bersama, cukup untukku mengenal dia sampai ke dalam isi otaknya."

Perlahan, mobil derek kembali melaju membawa kendaraan roda empat milik mantan suamiku. Dan pada saat itu juga, ternyata Mas Haikal dan Amira keluar dari dalam restoran. 

Mereka kaget luar biasa melihat kendaraan miliknya dibawa begitu saja. 

"Hey, hentikan! Kenapa membawa mobilku?!" teriak Mas Haikal seraya berlari mengejar mobilnya. 

"Mah, jalan, Mah." Aku menyuruh Mama melajukan mobil untuk mengikuti Mas Haikal. 

"Astaga, ini anak udah tahu tangan Mamanya gemetaran malah disuruh nyetir lagi," tutur Mama menggerutu. 

Aku mengambil putriku kembali agar Mama bisa mengendarai mobil. 

"Pelan-pelan saja," kataku. 

Sedangkan di sana, seorang pria dan wanita terus berlari mengejar kendaraan mereka sembari berteriak. 

"Hey, berengsek, kembalikan mobilku!!" Mas Haikal melambaikan tangan berharap si supir mobil mau berhenti. 

Di belakangnya, sang istri ikut berteriak menghentikan suaminya yang meninggalkan dia demi menyusul kendaraan mereka.

"Mas, tungguin aku!" ujar Amira kepayahan mengikuti langkah cepat suaminya. 

Punggung Mas Haikal sudah basah oleh keringat. Begitu pun dengan Amira yang kini berlari dengan kaki telanjang. Menenteng sepasang sandal miliknya, juga tas selempang yang terombang-ambing tidak beraturan. 

Orang-orang yang berada di sekitar jalan raya hanya bisa melihat dua orang itu tanpa ingin membantunya. Mungkin mereka pikir, suami istri itu melakukan parkir liar hingga mobilnya dibawa paksa. 

"Mas, aku cape! Aku gak kuat, Mas!!" 

"Kamu, tuh segitu saja sudah capek! Buruan lari nanti kita kehilangan jejak!!"

"Ah, kamu saja yang kejar sampai dapat, Mas! Kalau tidak, tidak akan aku izinkan masuk ke dalam rumah!!" 

"Aahh berengsek!!" jerit Mas Haikal frustrasi.

Bersambung

Komen (19)
goodnovel comment avatar
giofany lie
Klo bersambung kapan ada lg T_T tercandu2 sm novelnya
goodnovel comment avatar
Rinaray Uyahmandaun
permainan yg hibat
goodnovel comment avatar
Sonia Cent
seruuu bangetttt
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status