Share

Karena Dendam Suamiku Direbut
Karena Dendam Suamiku Direbut
Penulis: Anggrek Bulan

Firasat

"Bu, Nita pulang dulu ya. Besok 'kan Mas Budi katanya sudah balik dari luar kota. Hari ini aku mau bersihin rumah dan belanja dulu, stock makanan di kulkas mungkin sudah habis," pamitku pada Ibu petang itu.

"Ini 'kan sudah mau magrib, besok pagi saja habis subuhan. Paling si Budi juga sampai di rumah sore, pulang kerja. Di rumahmu 'kan juga ada Lisa, suruh saja dia bersihin rumah," ucap Ibu khawatir.

Jarak rumah ibu dan rumahku memang lumayan jauh sih, sekitar satu setengah jam perjalanan, dan itu pun harus melewati areal persawahan juga kebun-kebun kosong, karena rumah ibuku ada desa dan aku berada di kotanya.

"Lisa itu nggak pernah mau ngerjain kerjaan rumah, Bu. Selesai kuliah biasanya juga langsung masuk kamar!" jawabku.

"Masak dia nggak mau sama sekali bantuin kerjaanmu?" tanya Ibu lagi yang terlihat jengkel.

"Nggak pernah, Bu. Kerjanya ya kalau di rumah main handphone saja, Bu. Tapi ya mau gimana lagi, namanya juga anak muda," ucapku sambil memakai helm dan segera menaiki motor.

"Ya tetap wajib dibilangi, Nit. Dia itu wanita, nantinya bakal nikah juga, kalau malas gitu, gimana nanti pas tinggal sama mertuanya? Lagian dia itu 'kan cuma numpang."

"Iya...sih, Bu. Tapi 'kan aku nggak enak sama Mbak Linda, jika kemudian Lisa ngadu, Bu. Sudah ya aku pulang dulu, doain nggak ada apa-apa di jalan, hehehe," pamitku lagi sambil mencium punggung tangan ibu.

"Iya, hati-hati loh, Nit, jangan ngebut-ngebut. Kalau ke sini itu pakai mobil, jangan pakai motor terus." 

Ibu memang selalu cerewet, tapi sebenarnya itu semua adalah demi kebaikanku, putri semata wayangnya.

"Siap, Bu...nanti pasti pakai mobil, ini soalnya masih seneng-senengnya pakai motor baru, nih. Ibu hati-hati juga ya, ibu di rumah. Assalamualaikum."

"Iya...waalaikumsalam."

Aku pun segera melajukan motor dengan kecepatan sedang. Biasanya aku memang tak berani melewati jalanan ini di malam hari, saat sendirian begini. Namun, entah mengapa hari berbeda, rasanya aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah.

Mas Budi sudah dua minggu ini keluar kota, suamiku itu bekerja sebagai seorang mandor proyek, dan memang dia selalu berpindah-pindah. Dan aku sudah satu mingguan ini, tinggal di rumah ibu, karena ibu sedang kambuh asam uratnya.

Sekitar satu setengah jam lebih, aku pun sampai di kompleks perumahan tempat tinggalku. Saat memasuki belokan gangku, kulihat ada banyak warga berkumpul, dan sepertinya itu, ada di sekitar rumahku.

"Ada apa ini, Bu Hasan? Kok banyak warga di depan rumah saya?" tanyaku pada Bu Rt, yang rumahnya, persis di samping rumahku.

Aku memang sengaja tak langsung memasukkan motorku ke teras, karena bisa kulihat banyak warga di sana. Jadi, aku berhenti saja di pinggir jalan, depan rumah Bu Hasan.

"Eh...Mbak Nita sudah datang, yuk masuk dulu ke rumahku, Mbak." Bu Hasan pun membawaku masuk ke teras rumahnya, dan aku pun menurut saja, beberapa ibu-ibu kompleks mengikuti kami.

"Ada apa sih, Bu sebenarnya? Lisa nggak kenapa-kenapa 'kan, Bu?"

Pikiranku langsung saja tertuju pada Lisa, sepupu yang selama seminggu ini kutinggal di rumah sendiri. Semoga tak terjadi apa-apa padanya, kalau tidak, Mbak Linda akan menghabisiku.

"Nih...Mbak Nita minum dulu, airnya." Bu Hasan mengangsurkan air putih dalam gelas kepadaku, dan tentu saja hal itu membuatku makin panik.

"Mbak Nita handphonenya kemana sih? Sudah dari satu jam yang lalu, diteleponin nggak diangkat?" ujar Mbak Sela yang rumahnya di depan rumahku.

"Mana ada panggilan sih, Mbak? Orang dari tadi ku kantongin nggak ada getar sama sekali kok." Kuambil handphone yang ada di saku celana, ternyata ada empat puluh panggilan tak terjawab dan juga beberapa chat.

"Ini memangnya ada apa sih, Mbak? Bu? Ayo cepat bilang, ada apa?" Desakku yang memang rasanya sudah tak sabar.

"Para warga sejak satu jam yang lalu, sedang mengintai Mas Budi dan Lisa, Mbak!" ucap Bu Hasan.

"Mas Budi dan Lisa? Memangnya ada apa kok diintai, Bu?" 

"Ya si Lisa dan suamimu itu, lagi 'kikuk-kikuk', Mbak!" ucap Mbak Sela spontan.

"Nggak...nggak mungkin itu, Mbak Sel. Mas Budi itu masih berada di luar kota, tadi sore saja baru bilang sama aku. Mungkin besok sore atau malam, baru sampai sini. Nih...baca sendiri," ucapku menyangkal berita buruk itu, sembari menunjukkan chat dengan Mas Budi di handphone.

Mereka pun membaca dan mengangguk, kemudian saling berbisik. Mana mungkin, Mas Budi berselingkuh dengan Lisa, saling menyapa saja jarang kok. Suamiku itu pendiam, dan Lisa tipe cuek, di rumah pun, mereka tak pernah bercanda.

"Tuh...sudah baca 'kan? Mungkin saja yang di dalam rumahku itu, pacarnya si Lisa. Anak muda sekarang 'kan kalau pacaran suka kebablasan," ucapku sembari berusaha tersenyum, padahal hati ini juga sudah khawatir dan berpikir yang tidak-tidak.

"Ya ampun Nit, kamu ini kok nggak percayaan sih? Apa kamu kira warga di sini itu nggak hafal sama wajah Budi?" Bu Jannah berseloroh, sepertinya dia sudah emosi.

"Bukannya begitu, Bu. Tapi nggak logika banget gitu loh, jika Mas Budi dan Lisa itu bermain api dibelakangku. Nggak mungkin itu, Bu!" Aku juga ikut terbawa emosi meski sudah  coba kuredam.

"Mas Budi itu, kalau tak salah sudah pulang sejak tiga hari yang lalu kok, Nit. Dan sejak kamu tinggal, si Lisa itu nggak pernah kelihatan. Ya baru kelihatan pulang bareng suamimu itu," jelas Mbak Sela.

Tak mungkin rasanya Mbak Sela berbohong, karena letak rumah kami yang saling berhadapan, sehingga dia pasti tau saat ada kendaraan masuk rumahku.

"Tapi, bisa saja 'kan mereka berdua di dalam itu, nggak berbuat macam-macam?" Aku terus saja menyangkal, rasanya aku tak ingin jika semua ini menjadi nyata.

"Nggak macam-macam piye to? Sejak tadi warga mengintai, sudah berkali-kali mendengar suara menjijikkan itu. 

Sudah ayo sekarang, kita ngikut para warga itu, agar tahu apa yang mereka berdua lakukan!" Bu Jannah kemudian menarik tanganku, menuju ke rumah.

Melihatku datang, warga terlihat mulai berbisik dan memandangku iba, dan mereka membriku ja Kulihat mobilku, yang biasa di pakai Mas Budi, telah ada di teras juga.

Aku pun mengikuti Bu Jannah yang menuntunku mendekati tembok kamar utama, yang letaknya persis di samping ruang tamu. Meski berjunlah banyak, namun warga saling diam.

Benar apa kata mereka, suara-suara menjijikan lirih terdengar keluar dari kamar itu. Tak salah lagi, dan tentu aku sangat hafal pemilik kedua suara itu. Siapa lagi kalau bukan Mas Budi dan Lisa. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status