"Bu, Nita pulang dulu ya. Besok 'kan Mas Budi katanya sudah balik dari luar kota. Hari ini aku mau bersihin rumah dan belanja dulu, stock makanan di kulkas mungkin sudah habis," pamitku pada Ibu petang itu.
"Ini 'kan sudah mau magrib, besok pagi saja habis subuhan. Paling si Budi juga sampai di rumah sore, pulang kerja. Di rumahmu 'kan juga ada Lisa, suruh saja dia bersihin rumah," ucap Ibu khawatir.Jarak rumah ibu dan rumahku memang lumayan jauh sih, sekitar satu setengah jam perjalanan, dan itu pun harus melewati areal persawahan juga kebun-kebun kosong, karena rumah ibuku ada desa dan aku berada di kotanya."Lisa itu nggak pernah mau ngerjain kerjaan rumah, Bu. Selesai kuliah biasanya juga langsung masuk kamar!" jawabku."Masak dia nggak mau sama sekali bantuin kerjaanmu?" tanya Ibu lagi yang terlihat jengkel."Nggak pernah, Bu. Kerjanya ya kalau di rumah main handphone saja, Bu. Tapi ya mau gimana lagi, namanya juga anak muda," ucapku sambil memakai helm dan segera menaiki motor."Ya tetap wajib dibilangi, Nit. Dia itu wanita, nantinya bakal nikah juga, kalau malas gitu, gimana nanti pas tinggal sama mertuanya? Lagian dia itu 'kan cuma numpang.""Iya...sih, Bu. Tapi 'kan aku nggak enak sama Mbak Linda, jika kemudian Lisa ngadu, Bu. Sudah ya aku pulang dulu, doain nggak ada apa-apa di jalan, hehehe," pamitku lagi sambil mencium punggung tangan ibu."Iya, hati-hati loh, Nit, jangan ngebut-ngebut. Kalau ke sini itu pakai mobil, jangan pakai motor terus." Ibu memang selalu cerewet, tapi sebenarnya itu semua adalah demi kebaikanku, putri semata wayangnya."Siap, Bu...nanti pasti pakai mobil, ini soalnya masih seneng-senengnya pakai motor baru, nih. Ibu hati-hati juga ya, ibu di rumah. Assalamualaikum.""Iya...waalaikumsalam."Aku pun segera melajukan motor dengan kecepatan sedang. Biasanya aku memang tak berani melewati jalanan ini di malam hari, saat sendirian begini. Namun, entah mengapa hari berbeda, rasanya aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah.Mas Budi sudah dua minggu ini keluar kota, suamiku itu bekerja sebagai seorang mandor proyek, dan memang dia selalu berpindah-pindah. Dan aku sudah satu mingguan ini, tinggal di rumah ibu, karena ibu sedang kambuh asam uratnya.Sekitar satu setengah jam lebih, aku pun sampai di kompleks perumahan tempat tinggalku. Saat memasuki belokan gangku, kulihat ada banyak warga berkumpul, dan sepertinya itu, ada di sekitar rumahku."Ada apa ini, Bu Hasan? Kok banyak warga di depan rumah saya?" tanyaku pada Bu Rt, yang rumahnya, persis di samping rumahku.Aku memang sengaja tak langsung memasukkan motorku ke teras, karena bisa kulihat banyak warga di sana. Jadi, aku berhenti saja di pinggir jalan, depan rumah Bu Hasan."Eh...Mbak Nita sudah datang, yuk masuk dulu ke rumahku, Mbak." Bu Hasan pun membawaku masuk ke teras rumahnya, dan aku pun menurut saja, beberapa ibu-ibu kompleks mengikuti kami."Ada apa sih, Bu sebenarnya? Lisa nggak kenapa-kenapa 'kan, Bu?"Pikiranku langsung saja tertuju pada Lisa, sepupu yang selama seminggu ini kutinggal di rumah sendiri. Semoga tak terjadi apa-apa padanya, kalau tidak, Mbak Linda akan menghabisiku."Nih...Mbak Nita minum dulu, airnya." Bu Hasan mengangsurkan air putih dalam gelas kepadaku, dan tentu saja hal itu membuatku makin panik."Mbak Nita handphonenya kemana sih? Sudah dari satu jam yang lalu, diteleponin nggak diangkat?" ujar Mbak Sela yang rumahnya di depan rumahku."Mana ada panggilan sih, Mbak? Orang dari tadi ku kantongin nggak ada getar sama sekali kok." Kuambil handphone yang ada di saku celana, ternyata ada empat puluh panggilan tak terjawab dan juga beberapa chat."Ini memangnya ada apa sih, Mbak? Bu? Ayo cepat bilang, ada apa?" Desakku yang memang rasanya sudah tak sabar."Para warga sejak satu jam yang lalu, sedang mengintai Mas Budi dan Lisa, Mbak!" ucap Bu Hasan."Mas Budi dan Lisa? Memangnya ada apa kok diintai, Bu?" "Ya si Lisa dan suamimu itu, lagi 'kikuk-kikuk', Mbak!" ucap Mbak Sela spontan."Nggak...nggak mungkin itu, Mbak Sel. Mas Budi itu masih berada di luar kota, tadi sore saja baru bilang sama aku. Mungkin besok sore atau malam, baru sampai sini. Nih...baca sendiri," ucapku menyangkal berita buruk itu, sembari menunjukkan chat dengan Mas Budi di handphone.Mereka pun membaca dan mengangguk, kemudian saling berbisik. Mana mungkin, Mas Budi berselingkuh dengan Lisa, saling menyapa saja jarang kok. Suamiku itu pendiam, dan Lisa tipe cuek, di rumah pun, mereka tak pernah bercanda."Tuh...sudah baca 'kan? Mungkin saja yang di dalam rumahku itu, pacarnya si Lisa. Anak muda sekarang 'kan kalau pacaran suka kebablasan," ucapku sembari berusaha tersenyum, padahal hati ini juga sudah khawatir dan berpikir yang tidak-tidak."Ya ampun Nit, kamu ini kok nggak percayaan sih? Apa kamu kira warga di sini itu nggak hafal sama wajah Budi?" Bu Jannah berseloroh, sepertinya dia sudah emosi."Bukannya begitu, Bu. Tapi nggak logika banget gitu loh, jika Mas Budi dan Lisa itu bermain api dibelakangku. Nggak mungkin itu, Bu!" Aku juga ikut terbawa emosi meski sudah coba kuredam."Mas Budi itu, kalau tak salah sudah pulang sejak tiga hari yang lalu kok, Nit. Dan sejak kamu tinggal, si Lisa itu nggak pernah kelihatan. Ya baru kelihatan pulang bareng suamimu itu," jelas Mbak Sela.Tak mungkin rasanya Mbak Sela berbohong, karena letak rumah kami yang saling berhadapan, sehingga dia pasti tau saat ada kendaraan masuk rumahku."Tapi, bisa saja 'kan mereka berdua di dalam itu, nggak berbuat macam-macam?" Aku terus saja menyangkal, rasanya aku tak ingin jika semua ini menjadi nyata."Nggak macam-macam piye to? Sejak tadi warga mengintai, sudah berkali-kali mendengar suara menjijikkan itu. Sudah ayo sekarang, kita ngikut para warga itu, agar tahu apa yang mereka berdua lakukan!" Bu Jannah kemudian menarik tanganku, menuju ke rumah.Melihatku datang, warga terlihat mulai berbisik dan memandangku iba, dan mereka membriku ja Kulihat mobilku, yang biasa di pakai Mas Budi, telah ada di teras juga.Aku pun mengikuti Bu Jannah yang menuntunku mendekati tembok kamar utama, yang letaknya persis di samping ruang tamu. Meski berjunlah banyak, namun warga saling diam.Benar apa kata mereka, suara-suara menjijikan lirih terdengar keluar dari kamar itu. Tak salah lagi, dan tentu aku sangat hafal pemilik kedua suara itu. Siapa lagi kalau bukan Mas Budi dan Lisa.Benar apa kata mereka, suara-suara menjijikan lirih terdengar keluar dari kamar itu. Tak salah lagi, dan tentu aku sangat hafal pemilik kedua suara itu. Siapa lagi kalau bukan Mas Budi dan Lisa. Sejenak aku terdiam, tak bisa berkata apa-apa, dan air mata pun mulai menetes tak bisa dibendung.Kenapa mereka bisa melakukan hal ini padaku? Baru juga tiga bulan si Lina tinggal di sini, sejak Bude Hermin meninggal. Tapi dia sudah berani menggoda suamiku, namun entah...aku tak bisa menyalahkan dan membenarkan salah satu pihak, karena bisa saja keduanya itu sama-sama mau."Gimana, Nit? Bener nggak, itu suara si Budi dan si Lisa?" bisik Bu Jannah di telingaku, yang hanya kujawab dengan anggukan.Bu Jannah pun kemudian berbisik pada warga yang lain. Namun, aku masih saja tetap terdiam, tak percaya dengan semua ini. Tenyata kebaikanku selama ini pada Lisa, hanya dibalas dengan penghianatan seperti ini. Menyesal memang selalu di akhir, dan bodohnya aku, karena tak mendenagrkan ucapan ibuku dulu
"Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pak Rt, semua sudah selesai. Dan saat ini juga, saya ingin kedua sampah ini angkat kaki dari rumahku!" ucapku lantang sambil menunjuk para penghianat itu.Mendengar perkataanku itu, sontak Mas Budi menghentikan aktivitas membantu Lisa. Kemudian merubah duduknya menghadap padaku."Apa maksud kata-katamu itu, Dek? Aku ini suamimu!" ucapnya sembari memukul dadanya sendiri, terlihat jika kini dia amat frustasi."Suami?! Jika kamu suamiku, kenapa kamu berbuat zina dengan dia? Sepupuku sendiri?" jawabku lirih, namun penuh emosi.Umpanku akhirnya dimakan juga, susu panas tadi sebenarnya hanya pancingan, agar Mas Budi mau menyelesaikan masalah ini dihadapan warga.Memang harusnya istri menutupi kebusukan suami. Namun, jika kasusnya seperti ini, maka maaf, aku malah ingin mempermalukannya lagi, di depan semua orang.Beberapa saat Mas Budi tak bisa menjawab, dia hanya memandangku sepertinya dengan tatapan yang penuh amarah."Maaf, Dek...aku memang salah...
Mereka Ingin Menghancurkanku?"Sudah cukup, aku tak ingin lagi mendengar sandiwara kalian. Cepat pergi dari rumahku, sekarang juga!" teriakku dan kali ini aku tak main-main.Sudah hilang rasanya kesabaranku pada keduanya. Apalagi ketika Lisa menghinaku dengan kata mandul, sungguh aku tak bisa terima itu. Mereka berdua hanya diam mendengar teriakanku, sementara para warga pun kembali saling berbisik."Apa Mbak Nita serius ingin mengusir mereka?" Pak RT mencoba meyakinkan padaku."Tentu saja amat serius, Pak. Sudah tak sudi aku melihat mereka berdua di rumah ini. Jadi tolong bawa mereka pergi dari sini, atau laporkan saja pada polisi!" ucapku sambil kembali duduk."Dek...tolong, Dek. Aku minta maaf, jangan usir aku, ini hanya khilaf. Aku tak ingin berpisah darimu." Mas Budi berusaha mendekatiku sambil merengek.Namun, para warga dengan sigap membawanya keluar secara paksa, begitu pun dengan Lisa. Terdengar banyak sekali umpatan-umpatan dari para warga, apalagi Mas Budi terus saja berus
Kamar LisaKAMU HARUS HANCUR SEHANCUR-HANCURNYA, NITA!Aku benar-benar tak bisa mengerti apa maksud dari tulisan ini. Apa yang dimaksud Nita di sini adalah aku? Atau mungkin Lisa punya teman yang namanya sama denganku?Kuabaikan dulu tulisan itu, karena meski berpikir seperti apapun, saat ini aku tak bisa menemukan titik terangnya. Lebih baik aku mengecek yang lainnya, namun tak lagi kutemukan apapun yang mencurigakan di meja belajar ini.Aku pun pindah menuju ke lemari, sebuah lemari kayu bercat putih besar,yang tiga bulan lalu kubelikan khusus untuk sepupuku itu. Ternyata lemari itu tak terkunci, dan tentu saja aku langsung membukanya.Selama ini, meski kami adalah saudara sepupu, tapi kami tak begitu dekat. Lisa dan Mbak Linda adalah anak dari almarhum Bude Tutik, yang meninggal empat bulan lalu.Mbak Linda usianya sama denganku, yaitu dua puluh empat tahun, sedangkan si Lisa usianya baru sembilan belas tahun. Selain itu, Bude juga memiliki seorang putra, Mas Lukman, yang sudah se
Kamar Lisa 2Sebuah pikiran jahat terlintas dibenakku, jika Lisa sudah menyakitiku dengan merebut suamiku, maka jangan salahkan aku, jika kini akan kukuasai semua hartamu. Karena kurasa mungkin hanya ini saja harta yang dimiliki oleh sepupuku itu.Gegas kupindahkan semua yang ada di dalam boxs itu ke kamarku, dan menguncinya dari luar. Sekedar antisipasi saja sih, karena Mas Budi ternyata juga membawa kunci serep pintu depan.Kemudian, aku pun kembali masuk ke kamar Lisa, tujuanku kali ini adalah memasukkan semua pakaian ke dalam koper dan barangnya, ke dalam sebuah kantung plastik besar. Nantinya, aku akan menyewa taksi online untuk mengantarnya ke rumah Mbak Linda, beserta barang milik Mas Budi.Sebuah kejutan lagi kuterima, kali ini tentunya akan membuat kantongku semakin tebal. Tepat diatas lemari, saat aku mengambil koper, ada sebuah kantong plastik warna putih, dan itu berisi dua buah handphone keluaran terbaru, yang masih tersimpan rapi dalam dosbook-nya.Kedua handphone terseb
Flashback 1"Nit, bisakah mulai saat ini Nita tinggal bersamamu?" ucap Mbak Linda saat acara kirim doa tiga puluh hari meninggalnya Bude Tutik."Tentu saja boleh, Mbak. Rumahku dan kampusnya Nita kan nggak terlalu jauh, dari pada berangkat dari sini," jawabku sambil tersenyum. Saat itu, aku tengah membantunya menyiapkan makanan untuk para tamu yang sedang mengaji."Terima kasih banyak ya, Nit. Jujur, aku tuh nggak kuat ngebiayain kuliahnya si Lisa, kamu tahu sendiri 'kan, suamiku hanya buruh pabrik biasa. Gajinya tiap bulan hanya cukup untuk beli susunya Rehan dan makan saja. Itupun di tanggal tua, aku kadang harus berhutang di warung tetangga," seloroh Mbak Linda seraya menaburi sepiring nasi soto yang sudah tertata, dengan irisan bawang goreng.Semua yang baru diucapkan oleh Mbak Linda itu, memang benar adanya. Menikah selama tiga tahun dengan Mas Rama, sepertinya tak pernah membuat hati Mbak Linda puas, karena mereka selalu hidup kekurangan, dan hanya tinggal di pondok indah mertu
Flashback 2"Dengar ucapan ibu, Nit. Jangan bawa dia masuk ke rumahmu, jika tak ingin menyesal dikemudian hari!" ucap Ibu tegas."Menyesal apaan sih, Bu? Aku nggak ngerti deh," sungutku lirih."Pokoknya, kamu harus mendengar ucapan ibu ini. Jangan bawa dia ke rumahmu, jika memang kamu ingin membiayainya, lebih baik kirimkan saja uangnya. Biar dia tetap tinggal bersama Linda, atau kalau tidak biarkan dia ngekost!" Ibu masih terus menatap tajam padaku."Tapi 'kan, dengan kedatangan Lisa, aku jadi punya teman gitu. Mas Budi 'kan sering keluar kota, kadang bisa sampai berminggu-minggu loh. Dia juga nanti pasti mau bantu-bantu aku nyelesaiin pekerjaan rumah, Bu," gerutuku karena menurutku, keputusan mengajak Lisa adalah benar."Kamu itu kalau dibilangin ibu nggak pernah mau dengar. Pokoknya, jangan pernah masukkan ular ke rumah kita, jika nanti tak ingin di gigit. Percaya pada Ibu, Nit. Ibu nggak ingin kamu menyesal nantinya. Jika kamu memang benar ingin menolong, lebih baik kirim ajaa uan
Flashback 3"Mas...mulai besok Lisa akan tinggal di rumah kita," ucapku saat kami dalam perjalanan pulang.Aku dari tadi, memang belum memberitahu Mas Budi tentang rencana mengajak Lisa itu. Karena kupikir, suamiku itu pasti tak akan menolak apapun keinginannku, toh rumah itu juga sudah atas namaku."Loh...kok tiba-tiba banget sih, Dek?" Mas Budi menoleh kepadaku, seakan dia tak suka dengan perkataanku barusan."Ya memang semua serba mendadak, Mas. Mbak Linda juga baru bilang pas acara kirim doa tadi, kalau dia tak lagi kuat membiayai kuliahnya Lisa. Dulu kan memang yang membiayai semuanya Bude Tutik, jadi kini saat beliau meninggal, tak ada lagi biaya untuk Lisa," ucapku sembari menoleh kepadanya.Sesaat suamiku itu hanya terdiam tanpa komentar, pandangan matanya lurus ke depan, sepertinya dia sedang berpikir, sembari memilin jenggotnya yang hanya seumprit itu."Memangnya kenapa sih, Mas? Kamu nggak suka jika sepupuku itu ikut tinggal bersama kita?" tanyaku lirih sambil terus menghad