Share

3. Siapa Dia?

Dilihatnya sosok yang berdiri di hadapannya sekarang. Shada mematung terpukau dengan keindahan yang sedang disaksikannya. Seumur hidup, ia tak pernah melihat paras seelok ini. Jauh elok dibanding aktor dunia dimana pun.

Alis tebal dengan mata perunggu yang terkesan tegas. Kulit yang putih pucat, bahkan lebih putih dari batu pualam marmer yang murni. Rambutnya hitam legam. Dan setelah ia amati lagi, hidung mancung dan bibir merah merekah.

Beberapa menit ia terhanyut pada rupanya. Tiba-tiba ada perasaan ingin menangis sejak pertama kali melihatnya. Ia tak tahu kenapa. Apakah mungkin ia mengagumi keindahannya? Ia benar-benar frustasi dan kelewat sedih. Sontak ia sadar dan sepenuhnya membawa diri.

"Aaaakh! Kau siapaaaa?!"

Suara Shada nyaris teriak, namun nyatanya tercekat di kerongkongannya sendiri.

Tak ada jawaban, sosok yang dilihatnya cuma diam, menatap skeptis lawannya.

"Shada.."

Shada tergegau. Bagaimana mungkin pria asing yang di hadapannya sekarang sudah tahu namanya. Ia ingin sekali bertanya, tapi tetap tidak bisa mengeluarkan suaranya.

"Shada, jangan takut." Suara berat dan lembutnya membelai telinga Shada.

Sedetik berikutnya, Shada justru menatapnya marah, dengan ketakutan yang tak berkurang tentunya. Bagaimana bisa ia tak takut, sementara pria yang di depannya ini muncul tiba-tiba, dan apa? Ia berada di atas pohon! Shada merengut dalam hati.

Ia meraup banyak udara di sekitarnya dan dengan kasar mengembuskannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak pingsan mendadak. Ia lalu mencubit pipinya.

"Aduh! Ternyata ini bukan mimpi." Shada bergumam pelan, nyaris seperti bisikan pada diri sendiri.

"Lalu kau siapa? Kenapa kau ada di sini?" Akhirnya Shada berhasil mengumpulkan keberaniannya kembali. Ia menatap nyalang pria itu.

"Aku Demian. Kau tidak ingat denganku, Shada?" sanggahnya lembut sambil melihat nanar Shada.

Shada menelan salivanya dengan susah payah. Ia mengingat mimpinya dengan pria itu. Dan parahnya, ia menyukainya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa dengan dirinya? Shada tertawa getir.

"Sejak kapan kau ada di mimpiku?" Shada merasa pertanyaannya kurang tepat, lalu meralatnya, "Eh tidak, sejak kapan kau datang ke rumahku?"

Shada menatap lurus Demian. Berusaha menemukan sedikit jawaban atas kejanggalan di sana. Demian membalas juga tatapannya. Namun, ia justru menatapnya sedih.

"Kau benar-benar melupakanku, ya?" Suara Demian sedikit bergetar. Ia seperti menertawakan dirinya sendiri. Sedangkan Shada dirayapi oleh perasaan gelisah.

"Tentu saja aku ingat," kata Shada berusaha membela diri. Demian menatapnya senang, sedetik kemudian berubah menjadi penasaran.

"Apa yang kau ingat?" tanya Demian tak percaya. Ia menyelidiki penuh ekspresi Shada yang mulai bergerak kebingungan.

"Ya, tentu saja. Ingat saat kita tidur bersama," cicitnya segera mematikan seluruh kesenangan Demian tadi.

"Sudahlah, kau memang tidak ingat. Kau ingin tidur?" Suara lembut Demian membelai kembali.

Shada mengerjapkan mata menatapnya. Ini sungguhan, dan sekarang ia benar-benar bertemu dengan sosok di mimpinya. Ketampanannya tidak nyata. Tapi, ia bukan manusia, bodoh! Sadarlah! Shada lalu menampar pipi kanannya sendiri.

"Kau bukan manusia. Lalu apa?" sanggah Shada tak menjawab pertanyaan Demian.

Namun, Shada tak mendengar suara apapun. Demian bungkam dengan pandangan yang tetap tajam. Nyali Shada lantas menciut dibuatnya.

"Kau hanya perlu mengingatku," desis Demian lalu menghilang di tengah gelapnya malam.

Shada termangu melihat kepergian Demian. Ia berdecak kesal lalu kembali ke kamar, berusaha untuk tidur.

♡♡♡

Paginya, Shada segera mandi dan bersiap-siap pergi ke kantor. Ia terpaku pada pantulan wajahnya di depan cermin. Terdapat lingkaran hitam tepat di garis bawah kedua matanya. Ini pasti karena semalam ia tidak bisa tidur. Ia sibuk memikirkan siapa itu Demian dan bagaimana ia bisa mengetahui namanya.

Shada mengeluarkan concealer dari laci meja riasnya, lalu ia bubuhkan pada garis bawah kedua matanya. Berhasil sedikit menyamarkan mata panda tersebut.

Tak berselang lama ada suara klakson mobil di depan rumahnya, disusul oleh bunyi singkat ponsel Shada. Ia lalu memeriksa pesan masuk dan mengernyit ketika membaca nama Max di sana.

Aku sudah di depan rumah. Hari ini kau berangkat bersamaku.

-Max

"Wah, tumben sekali," gumam Shada senang lalu segera turun menemui Max.

Shada langsung memasuki mobil mewah Max. Ia memandang Max dengan sumringah.

"Kau senang, Sayang?" Max menggoda Shada sambil menaikkan kaca mata hitam yang sedari bertengger di kedua matanya. Aroma clean musk yang maskulin menyeruak memenuhi penciuman Shada.

"Hmm, yeah. Tentu." ucap girang Shada. Pagi ini ia terpesona sepenuhnya pada Max. Ia menyadari betapa kerennya tunangannya itu.

Tangannya lalu membelai pipi Max. Ia mendekat dan mengecup singkat bibir Max. Seketika Max terperanjat dengan ciuman yang didaratkan oleh Shada. Namun, karena kecupan Shada terlalu singkat, maka ia dengan lincah menepikan mobilnya dan berhenti. Ia mendekap wajah Shada yang merona, mencium bibir merah Shada lalu menikmatinya. Ada perasaan rindu pada wanita cantik itu.

Setelah keduanya memasuki area kantor, beberapa pasang mata melihat mereka berdua. Tak terkecuali Ruth, yang diam-diam mencuri pandang.

Shada berhenti pada ruangan terbuka khusus staff lalu mendudukkan dirinya di sana. Sedangkan Max terus berjalan menjauhi area ruangan staff menuju ruangan pribadinya.

Ruth langsung menyambut kedatangan sahabatnya itu dengan sumringah. Baginya, sehari saja Shada libur sudah membuat harinya terasa sepi. Ia hanya bisa terbuka dengan Shada.

"Shadaaa! Tumben sekali kau berangkat bersama Max?" Ruth bertanya sambil cengengesan.

"Iya, aku juga kaget tadi tiba-tiba ia sudah ada di depan rumahku." balas Shada tak kalah bungah. Membayangkan ciumannya dengan Max tadi membuat dirinya kelewat senang seperti orang gila.

"Tapi, Shada. Kau kelihatan kelelahan. Kau yakin sudah istirahat dengan cukup?" Raut wajah Ruth kini berubah menjadi khawatir. Ia tamati wajah Shada namun menemukan kantung mata menghitam yang terlihat kontras dengan kulit putih temannya itu.

Shada refleks mengambil ponselnya lalu menyalakan kamera depannya untuk melihat riasan wajahnya. Padahal ia yakin bahwa tadi concealernya telah menyamarkannya sempurna.

"Ruth, kau ingat perkataanmu kemaren? Aku sudah melakukannya. Hingga akhirnya aku tidak bisa tidur sama sekali." Shada melihat Ruth tercekat, lalu pelan-pelan berubah menjadi khawatir.

"Lalu, bagaimana hasilnya, Shada?" Ruth sengaja melajukan kursi putarnya mendekat kepada Shada, tangannya menepuk pelan bahu kiri Shada. Ia tak sabar menunggu kabar dari Shada, perasaan cemas menyelimuti dirinya.

Shada menarik napas dalam-dalam.

"Aku sudah bertemu dengannya. Dan kau tahu, ternyata itu bukan mimpi. Namanya Demian, dan dia bukan manusia." Tiba-tiba suaranya tercekat di akhir kalimatnya. Perasaan tegang berhasil menggerayanginya kembali.

"Hah! Apa? Kau serius Shada?" pekik Ruth lalu dengan sadar segera menutup mulutnya, takut orang lain mendengar percakapan mereka.

"Mungkin kau tak percaya, Ruth. Aku pun juga begitu. Tapi aku yakin, dia nyata." jelas Shada sambil memandang lekat wajah sahabatnya itu lalu melanjutkan, "Dan, malam ini aku berharap akan menemuinya lagi."

- Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status