Home / Romansa / Terjerat Pesona Vampir Tampan / 4. Terpatri Pikirannya Sendiri

Share

4. Terpatri Pikirannya Sendiri

Author: Glory Bella
last update Last Updated: 2022-08-10 17:21:22

"Seperti apa rupanya, Shada?"

Sekarang Ruth benar-benar penasaran dengan sosok yang diceritakan oleh Shada. Bagaimana mungkin keyakinannya bahwa Shada akan bertemu dengan orang yang ada di mimpinya bakal terbukti? Ia menatap lawan bicaranya sekarang dengan tak sabar.

"Ia tinggi dan gagah, dari otot-ototnya terlihat kuat." Shada menjawab rasa penasaran Ruth dengan berusaha keras mengingat kejadian semalam yang tetap rasanya seperti mimpi.

"Lalu? Kau bisa tidak menjawab langsung semuanya sekaligus?!" sergah Ruth kesal, ia benar-benar bisa mati sekarang juga karena penasaran.

"Husss.. pelankan suaramu, Ruth!" Bagaimana pun suara Ruth semakin lama semakin tak terkontrol.

"Ups! Maaf, jadi silahkan melanjutkan sampai selesai. Dan jangan berhenti!" perintah Ruth tegas. Shada melihatnya ngeri. Matanya hampir copot dari rongganya, Ruth mulai serius.

"Ia sangat tidak nyata, Ruth. Sangat tampan, aku sampai terpesona dengannya. Lalu ia juga berkulit putih pucat, seputih kulitmu ini." Shada menjelaskan sambil menunjuk lengan Ruth yang sedang bersedekap, lalu melanjutkan. "Rambutnya hitam pekat. Dan matanya, eh, sekarang seperti matamu!" Shada hampir tercekat menyelesaikan akhir kalimatnya sendiri. Ruth juga tak kalah kaget. Iya benar, Shada baru ingat bahwa mata sahabatnya itu sering terlihat bermata hitam dan kadang juga terang. Seperti perunggu.

"Kau yakin matanya sepertiku?" Ruth mengerjapkan matanya cepat. Berusaha meyakinkan diri dengan pernyataan yang dilontarkan Shada.

"Iya, hmm aku tak yakin. Mungkin mirip. Ya seperti itulah," sanggah Shada pelan. Ia mengamati manik merah kecoklatan milik Ruth. Sedangkan Ruth mulai salah tingkah diperhatikan seperti itu.

"Shada, kita ke kantin yuk. Aku lapar," rengek Ruth diikuti oleh anggukan setuju Shada.

Mereka berdua beriringan berjalan menuju kantin. Setelah sampai, mereka lalu menengok menu-menu yang ready hari itu.

Mereka mengantre dan menyebutkan beberapa makanan untuk mengisi nampan mereka. Shada tak sengaja melihat Ruth yang pandangannya terpaku pada sudut kantin. Matanya lalu mengikuti arah yang sempat menyita perhatian Ruth.

"Eh, itu varian mie baru yang barusan meluncur di pasar ya?" seru Shada terpegun.

"Kita coba juga yuk!" Shada mengajak Ruth untuk mencicipi mie baru yang dilaunchingkan beberapa hari yang lalu oleh perusahaannya tempat ia bekerja. Dengan antusias, Ruth mengikuti langkah Shada, mengekor di belakangnya.

Mereka memilih meja, lalu mendudukkan diri di salah satu bangkunya.

"Oh iya, Shada. Kau tahu, beberapa bulan ke depan perusahaan akan mengadakan rekrutmen karyawan." Ruth memulai berbicara kala mereka sibuk mengisi perut mereka masing-masing.

"Benarkah? Di divisi apa, Ruth?" tanggap pelan Shada yang masih dipenuhi makanan di mulutnya.

"Di divisi kita, Shada. Marketing dan distribusi," tukas Ruth yang mulai serius lalu melanjutkan, "Richard akan memimpin tim HRD dalam perekrutan itu."

"Richard? Kau serius? Aku harap ia tak memilih karyawan yang cantik saja, tapi setidaknya harus berotak," gerutu Shada, menelan pelan makanan yang sedari ia kunyah.

"Aku juga berharap begitu. Semoga saja tidak menambah beban kita," desis Ruth bersamaan dengan ponsel Shada yang berdering.

"Halo, Mom. Ada apa?" Shada memutar bola matanya, malas.

"Iya, ini aku sedang sarapan dengan temanku di kantin."

"Apa? Iya, Mom."

Ruth melirik Shada sekilas yang terlihat manggut-manggut. Lalu kembali berkutik pada makanannya.

"Bagaimana kabar Daddy?" Shada menaikkan wajahnya sejenak. "Ah, kau sudah lama tak berkomunikasi dengannya? Kenapa?!"

"Tentu saja aku tidak menghubunginya! Aku takut mengganggu kesibukan Daddy." Shada hampir teriak, ia sadar sedang berada di tempat umum, lalu menunduk lagi.

"Ya sudah, Mom. Habis ini aku kembali bekerja dulu. Bye." potong cepat Shada. Ia memutus sambungan teleponnya sepihak. Ia kesal, namun ponselnya segera berbunyi kembali.

"Apa la—" decak Shada, diikuti oleh kernyitan di dahinya. Ternyata bukan ibunya yang meneleponnya lagi, tetapi Max. Wajahnya kembali sumringah. Ruth hampir terkekeh karena perubahan mood Shada yang begitu cepat.

"Halo, Max." ucapnya antusias.

"Ini aku sedang di kantin, kenapa?"

"Tentu saja aku makan hanya dengan Ruth, siapa lagi?" Shada mengernyit dengan brondongan pertanyaan tunangannya itu. Sejak kapan ia peduli waktu, tempat dan dengan siapa ia makan.

"Cuma itu saja, Max? Kau tidak ingin bergabung dengan kami?"

"Baiklah, selamat bekerja." tandas Shada penuh penekanan, namun masih bisa menahan dirinya. Ia sangat kesal dengan ibunya dan Max saat ini. Moodnya langsung meluncur jatuh bebas tak terkendali.

♡♡♡

Sementara itu, Max tenggelam di tengah kesibukan tumpukan dokumennya. Dari tadi ia hanya membolak-balikan beberapa lembar kertas di dalam map, tak bisa fokus membaca bahkan mempelajarinya. Lantas ia banting keras map tersebut ke meja depannya. Ia lalu menarik napas gusar dan membuangnya kasar.

Sejak kejadian hari itu, tiap malam ia tak bisa tidur memikirkan bagaimana bisa Shada mengkhianatinya. Ia telah mengenal gadis itu sejak berusia 11 tahun, dimana Shada pertama kali menginjakkan dirinya di Toronto ini. Lalu mereka memulai berpacaran waktu kelas 1 sekolah menengah atas, saat mereka akhirnya memiliki kesempatan bersekolah di satu gedung yang sama.

Ia sangat geram dengan sikap Shada yang justru malah menutupinya. Padahal, ia tahu, ia sangat mencintai Shada. Di hidupnya selama ini hanya ada Shada, tidak ada yang lain. Itulah alasan kenapa ia segera memberanikan diri untuk melamar Shada dua bulan yang lalu. Hari-hari dimana aksi bertunangan Shada belum mendapat dukungan sepenuhnya dari kedua orang tuanya, meskipun mereka sangat memberikan support baginya untuk bersama Shada. Hal ini dikarenakan, ayahnya ingin Max fokus pada perusahaannya. Tak bisa dipungkiri jika suatu saat nanti ia akan diangkat menjadi presdir di Holy Food, menggantikan posisi ayahnya. Selain itu, kedua orang tua Shada yang semakin hilang komunikasi dari mereka juga menjadi salah satu alasan kenapa Max dinilai terlalu terburu-buru bertunangan dengan Shada.

Tak bisa seperti ini, ia harus segera bertindak untuk mengawasi Shada. Ia ingin tahu sejauh mana ia telah mempermainkan hubungan ini. Dengan lincah ia mengambil ponselnya. Ia mengetikkan sebuah nama yang akan ia hubungi.

"Halo, aku butuh kau."

♡♡♡

Langit semakin petang. Shada tak sabar untuk menunggu gelapnya malam. Tidak, lebih tepatnya ia tak sabar menunggu sosok itu kembali. Ia lalu segera turun dari bednya, ia menyusuri dinginnya lantai kamar dan sengaja membuka pintu yang berhubungan langsung dengan balkon minimalisnya kembali.

Setelah itu, ia menyibukkan dirinya terpaku pada layar monitor laptopnya. Angin berembus memeluk kulit Shada yang meremang. Berhasil meliukkan korden di kamarnya dengan kencang.

"Shada.. "

Suara berat, dalam dan maskulin ini. Demian. Shada terkesiap lalu menoleh pada sumber suara.

"Kau sedang menungguku?" suara lembut Demian kembali menghanyutkan Shada. Ia tengah berdiri di bibir pintu.

Shada tercekat dengan suaranya sendiri, tenggorokannya kering seketika. Demian semakin melangkah tegas menghampirinya yang diam terpaku di atas bednya.

Sedangkan Max dengan lincah memutar kemudi mobilnya. Petang ini ia berencana untuk pergi ke rumah Shada. Sudah lama ia tak melihat ke dalam rumah Shada. Dan tentu saja, ia akan mencari bukti untuk menguatkan statementnya. Kini tinggal beberapa meter lagi untuk sampai di rumah kekasihnya itu.

Demian semakin mendekat, sekarang jarak wajah mereka hanya 15 cm saja. Bahkan, Shada bisa merasakan sapuan napas hangat Demian. Ia semakin terpesona melihatnya dari jarak yang sedekat ini.

Demian lalu menempelkan bibirnya pada bibir Shada, menatap jauh ke dalam manik mata Shada, ingin melihat bagaimana reaksinya. Namun, Shada bergeming, karena ia memang menginginkan itu.

Demian mengulum bibir tipis Shada, menikmati setiap lumatannya. Sedangkan Shada memejamkan kedua mata, merasakan bagaimana candunya bersatu dengan bibir sosok tidak nyata ini. Ia lalu membalasnya sampai tak dengar ada suara deruman mobil di bawah kediamannya.

Ponsel Shada berdering keras. Demian merasa terganggu, dengan cepat diraihnya ponsel yang kebetulan berada di dekatnya. Ia mengernyit melihat nama Max di layarnya. Dengan kesal menerima panggilan itu.

"Halo, Sayang. Aku sekarang sudah ada di depan rumahmu."

- Bersambung..

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Vampir Tampan   106. EXTRA PART ( ꈍᴗꈍ)

    "Aku akan menamakannya Zendaya," ungkap Jennifer sembari memandangi bayi perempuan mungil bermata biru di rengkuhannya. "Zendaya yang berarti bersyukur. Aku sangat bersyukur punya kau, Sayang." Jennifer mencolek puncak hidung kecil sang bayi yang kemudian tertawa. Ariana yang berada di samping Jennifer hanya menghela napas. Hatinya agak nyeri mendapati bayi itu lebih mirip dengan si ayah. Apalagi kenyataan bahwa bayi itu lahir tanpa dampingan sosok ayah. Karena tak ada respon dari bibir Ariana lantas membuat Jennifer mendongak. Senyum di bibirnya hilang seketika tatkala mengerti arti guratan di wajah ibunya. Bagaimanapun, Jennifer berusaha tegar juga selama ini. Terutama saat mendengar berita tentang kematian Max tepat satu tahun yang lalu. "Pokoknya, aku akan menamainya Zendaya, Mom. Zendaya Painter," putusnya kemudian. "White," celetuk tiba-tiba sosok pria yang berderap masuk. "Kau harus memakai nama belakang White mulai sekarang." Baik Jennifer maupun Ariana sama-sama mendonga

  • Terjerat Pesona Vampir Tampan   105. Menjadi Bintang Terbaik (TAMAT)

    "Apa yang terjadi?" Darwin berlari membantu memapah tubuh Demian.Begitu juga Ellene, Shada dan Ruth yang akhirnya mendekat. Mimik mereka tampak khawatir."Kita harus segera merawat Demian sebelum keadaannya semakin parah," cetus Ellene."Apa maksudmu?" Darwin mengerutkan keningnya."Darwin terkena virus manusia setengah vampir di tangannya." Ada kegugupan di dalam suaranya.Sontak wajah Darwin menegang. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!" bentaknya dengan nada tinggi. "Kita bawa ke ruanganku sekarang juga! Ellene tolong segera siapkan ruanganku."Ellene meneguk ludah, kemudian buru-buru berlari mendahului langkah Darwin dan Mike. Shada dan Ruth saling bertukar pandang sekilas, lantas ikut menggiring kaki cepat mengikuti jejak mereka.Ruth lekas mengusap air mata yang sempat menggenang tadi. Sementara kecemasan melingkupi seluruh pikiran Shada saat ini.Sebenarnya apa efek yang ditimbulkan dari virus Leo terhadap tubuh Demian?Tatkala isi kepala Shada sibuk mempertanyakannya, tak te

  • Terjerat Pesona Vampir Tampan   104. Manusia Setengah Vampir Terakhir

    Tonny melangkah turun, lantas menutup pintu mobilnya. Ia melihat sekeliling sambil memasang kacamata hitam di kedua telinganya. Perumahan dengan gang sempit itu lumayan sepi. Biasanya ia menyaksikan satu atau dua anak kecil bersepeda di jalan di perumahan lain. Tetapi ia tak menemukan satu orang pun di sini.Lalu Tonny mulai menggiring kaki menuju suatu rumah yang telah didiktekan kemaren sore. Setelah menemukan rumah tersebut, ia memencet bel.Tak lama kemudian seorang pria muda dengan jaket berleher tinggi warna abu tua keluar. Rambut pria itu tampak tak rapi. Apalagi baju yang sedang dikenakan. Tonny hanya menelan pikirannya heran mengenai anak muda di depannya yang cukup berantakan dan sepertinya introvert. Tak seperti sebagian remaja yang bersenang-senang di usia mudanya.Tanpa basa-basi, pria muda tersebut langsung menyodorkan sebuah map cokelat. Mungkin ia kesal karena pandangan yang menginterogasi dari mata Tonny."Ini. Data yang kau butuhkan semua ada di sini," ucapnya dengan

  • Terjerat Pesona Vampir Tampan   103. Ternyata Sebuah Legenda

    Sosok yang ada di dalam ruang itu termangu sesaat, kemudian melepas sebuah seringaian yang menyebalkan. Sebelah tangan sisi kanannya langsung bergerak menyembunyikan sesuatu.Namun hal tersebut tak lepas dari pantauan kedua mata awas milik Demian. "Cepat jawab! Apa yang kau rencanakan di sini?!" murkanya.Demian marah memergoki orang lain yang bukan keluarganya masuk ke dalam ruang paling rahasia di rumah ini. Dan sadarlah ia bahwa orang itu pasti sengaja mendekati Ruth untuk tujuan hari ini. Sialnya, Demian tak bisa membaca apapun dari pria di hadapannya sekarang. Bagai sebuah kotak hitam yang tertutup rapat."Kau benar-benar akan mati di sini!" geram Demian tersulut emosi.Mula-mula Leo mengangkat kedua tangannya yang sudah kosong ke atas kepala. "Eitsss, santai dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik, bukan?" Salah satu alisnya terangkat, membuat Demian semakin kesal."Langsung bicara intinya. Apa yang sudah kau curi dari ruang ini? Cepat kembalikan atau nyawamu akan melayan

  • Terjerat Pesona Vampir Tampan   102. Siapa di Sana?!

    Shada mengerjap cepat. Kedua matanya bergerak bingung dengan kehadiran Ruth di sana. Bukan hanya itu saja, Ruth juga membawa serta Leo di rumah keluarga Elliot.Bukannya Shada lupa jika Ruth juga merupakan anggota keluarga itu. Tetapi Ruth bahkan belum bercerita kalau wanita tersebut juga kemari.Tidak, Ruth tidak salah. Shada sendiri tidak cerita bahwa dirinya akan pergi ke rumah keluarga Elliot pagi ini.Dengan mulut yang masih ternganga, Shada menunjuk Ruth dan Leo secara bergantian. "Kalian…"Ruth tergelak, kemudian maju selangkah mendekati Shada yang masih mematung. Mula-mula ia melebarkan kedua tangannya riang."Ya, kami di sini! Hahaha, maaf telah mengejutkanmu, Shada!" kikik Ruth dengan mendaratkan sebuah tepukan di bahu Shada.Shada masih terpegun. Kemaren Ruth memang mengutarakan jika Leo dan wanita itu akhirnya resmi menjalin hubungan. Namun menyaksikan mereka berada di rumah Elliot pagi ini sangat mengejutkannya.Jangan bilang jika Ruth membawa Leo kemari karena akan melanj

  • Terjerat Pesona Vampir Tampan   101. Surprise!

    "Kenapa kau ada di sini?!" Ruth menggeser tubuh menjauh, meski sekarang kedua kakinya hanya menapak pada lonjor besi yang melintang di pembatas balkon. Matanya melotot tak percaya."Sudah kubilang kan, aku mencintaimu." Ada getaran di suara pria tersebut.Buru-buru Ruth menggelengkan kepala. "Tidak! Tidak mungkin! Sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya! Menjauhlah dariku!"Leo yang ada di hadapannya justru mendesah berat. Ia menunduk singkat dan memperbaiki posisi kacamata, lantas mendongak menatap Ruth demi meyakinkan wanita itu."Lalu kenapa kalau kau vampir? Aku bahkan tidak peduli," lirihnya kemudian."Kau harusnya peduli! Aku tidak mungkin bisa bersama manusia, apalagi kau!" balas Ruth agak histeris. Maklum, ia masih terpukul dan terlewat sedih."Tidak. Kau juga belum mengenal baik aku. Mari kita hidup bersama, Ruth." Mula-mula Leo mengulurkan tangannya kepada Ruth.Ruth mengerjapkan kedua matanya cepat. Napasnya tiba-tiba sesak dan berat. Tidak, tidak mungkin semudah ini.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status