Shada mengerjap cepat. Kedua matanya bergerak bingung dengan kehadiran Ruth di sana. Bukan hanya itu saja, Ruth juga membawa serta Leo di rumah keluarga Elliot.Bukannya Shada lupa jika Ruth juga merupakan anggota keluarga itu. Tetapi Ruth bahkan belum bercerita kalau wanita tersebut juga kemari.Tidak, Ruth tidak salah. Shada sendiri tidak cerita bahwa dirinya akan pergi ke rumah keluarga Elliot pagi ini.Dengan mulut yang masih ternganga, Shada menunjuk Ruth dan Leo secara bergantian. "Kalian…"Ruth tergelak, kemudian maju selangkah mendekati Shada yang masih mematung. Mula-mula ia melebarkan kedua tangannya riang."Ya, kami di sini! Hahaha, maaf telah mengejutkanmu, Shada!" kikik Ruth dengan mendaratkan sebuah tepukan di bahu Shada.Shada masih terpegun. Kemaren Ruth memang mengutarakan jika Leo dan wanita itu akhirnya resmi menjalin hubungan. Namun menyaksikan mereka berada di rumah Elliot pagi ini sangat mengejutkannya.Jangan bilang jika Ruth membawa Leo kemari karena akan melanj
Sosok yang ada di dalam ruang itu termangu sesaat, kemudian melepas sebuah seringaian yang menyebalkan. Sebelah tangan sisi kanannya langsung bergerak menyembunyikan sesuatu.Namun hal tersebut tak lepas dari pantauan kedua mata awas milik Demian. "Cepat jawab! Apa yang kau rencanakan di sini?!" murkanya.Demian marah memergoki orang lain yang bukan keluarganya masuk ke dalam ruang paling rahasia di rumah ini. Dan sadarlah ia bahwa orang itu pasti sengaja mendekati Ruth untuk tujuan hari ini. Sialnya, Demian tak bisa membaca apapun dari pria di hadapannya sekarang. Bagai sebuah kotak hitam yang tertutup rapat."Kau benar-benar akan mati di sini!" geram Demian tersulut emosi.Mula-mula Leo mengangkat kedua tangannya yang sudah kosong ke atas kepala. "Eitsss, santai dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik, bukan?" Salah satu alisnya terangkat, membuat Demian semakin kesal."Langsung bicara intinya. Apa yang sudah kau curi dari ruang ini? Cepat kembalikan atau nyawamu akan melayan
Tonny melangkah turun, lantas menutup pintu mobilnya. Ia melihat sekeliling sambil memasang kacamata hitam di kedua telinganya. Perumahan dengan gang sempit itu lumayan sepi. Biasanya ia menyaksikan satu atau dua anak kecil bersepeda di jalan di perumahan lain. Tetapi ia tak menemukan satu orang pun di sini.Lalu Tonny mulai menggiring kaki menuju suatu rumah yang telah didiktekan kemaren sore. Setelah menemukan rumah tersebut, ia memencet bel.Tak lama kemudian seorang pria muda dengan jaket berleher tinggi warna abu tua keluar. Rambut pria itu tampak tak rapi. Apalagi baju yang sedang dikenakan. Tonny hanya menelan pikirannya heran mengenai anak muda di depannya yang cukup berantakan dan sepertinya introvert. Tak seperti sebagian remaja yang bersenang-senang di usia mudanya.Tanpa basa-basi, pria muda tersebut langsung menyodorkan sebuah map cokelat. Mungkin ia kesal karena pandangan yang menginterogasi dari mata Tonny."Ini. Data yang kau butuhkan semua ada di sini," ucapnya dengan
"Apa yang terjadi?" Darwin berlari membantu memapah tubuh Demian.Begitu juga Ellene, Shada dan Ruth yang akhirnya mendekat. Mimik mereka tampak khawatir."Kita harus segera merawat Demian sebelum keadaannya semakin parah," cetus Ellene."Apa maksudmu?" Darwin mengerutkan keningnya."Darwin terkena virus manusia setengah vampir di tangannya." Ada kegugupan di dalam suaranya.Sontak wajah Darwin menegang. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!" bentaknya dengan nada tinggi. "Kita bawa ke ruanganku sekarang juga! Ellene tolong segera siapkan ruanganku."Ellene meneguk ludah, kemudian buru-buru berlari mendahului langkah Darwin dan Mike. Shada dan Ruth saling bertukar pandang sekilas, lantas ikut menggiring kaki cepat mengikuti jejak mereka.Ruth lekas mengusap air mata yang sempat menggenang tadi. Sementara kecemasan melingkupi seluruh pikiran Shada saat ini.Sebenarnya apa efek yang ditimbulkan dari virus Leo terhadap tubuh Demian?Tatkala isi kepala Shada sibuk mempertanyakannya, tak te
"Aku akan menamakannya Zendaya," ungkap Jennifer sembari memandangi bayi perempuan mungil bermata biru di rengkuhannya. "Zendaya yang berarti bersyukur. Aku sangat bersyukur punya kau, Sayang." Jennifer mencolek puncak hidung kecil sang bayi yang kemudian tertawa. Ariana yang berada di samping Jennifer hanya menghela napas. Hatinya agak nyeri mendapati bayi itu lebih mirip dengan si ayah. Apalagi kenyataan bahwa bayi itu lahir tanpa dampingan sosok ayah. Karena tak ada respon dari bibir Ariana lantas membuat Jennifer mendongak. Senyum di bibirnya hilang seketika tatkala mengerti arti guratan di wajah ibunya. Bagaimanapun, Jennifer berusaha tegar juga selama ini. Terutama saat mendengar berita tentang kematian Max tepat satu tahun yang lalu. "Pokoknya, aku akan menamainya Zendaya, Mom. Zendaya Painter," putusnya kemudian. "White," celetuk tiba-tiba sosok pria yang berderap masuk. "Kau harus memakai nama belakang White mulai sekarang." Baik Jennifer maupun Ariana sama-sama mendonga
"Shada... apa kau menikmatinya?" tanya sebuah suara yang terdengar serak dan begitu sensual di telinga wanita yang kini berada dalam kungkungannya.Wanita bernama Shada itu menggeliat dengan mata masih tertutup. Ia merasakan sentuhan lembut di pipinya, kemudian mulai turun ke bawah. Bibirnya menerima sapuan hangat dan lembut, membiarkannya terus masuk ke dalam dan membelai setiap ruang di mulutnya.Pria bermata merah dengan kobaran api gairah itu tak tinggal diam. Ia terus melumat bibir Shada, tak membiarkan ada jarak di antara mereka. Perlahan ia mulai menyatukan tubuhnya dengan Shada.Shada memekik karena sensasi aneh yang menjalari tubuhnya. Namun, setelahnya ia mulai menikmati permainan pria tampan yang kini menurunkan kepalanya ke ceruk leher Shada, memberikan tanda kepemilikannya di sana."Selamat tidur, Shada," bisik si pria sembari mengecup bibir Shada sekali lagi.Shada sungguh tak ingin terbangun dari mimpi indah ini. Ia tak tahu kapan lebih tepatnya, ada pria tampan yang tak
"Tentu saja, nyamuk yang berukuran normal, Max. Hanya saja gigitan itu membuatku alergi hingga menjadi selebar ini," tunjuk Shada pada lehernya. Matanya memohon agar Max segera mempercayainya.Max memalingkan wajahnya. Menyibukkan diri pada beberapa lembar kertas di depannya. "Sejak kapan kau punya alergi terhadap gigitan nyamuk?" kejar Max, semakin membuat Shada gugup."Aku memang tidak punya alergi, Max. Hanya saja. Kali ini," Shada semakin tidak menemukan jawaban ketika mata biru Max beralih menghunjam mata coklat terang Shada, mencari-cari kepastian di sana."Aku percaya." sergah Max, lalu berpaling lagi pada dokumennya. Kini tangannya dengan lincah membubuhkan tanda tangan di kertas-kertasnya."A-apa?" Shada melotot tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Benarkah semudah itu?"Beberapa jenis nyamuk tertentu memang menyebabkan reaksi alergi pada orang-orang yang tak memiliki alergi sekali pun," tukas Max singkat diikuti oleh anggukan Shada.Shada mengembuskan napas lega. Na
Dilihatnya sosok yang berdiri di hadapannya sekarang. Shada mematung terpukau dengan keindahan yang sedang disaksikannya. Seumur hidup, ia tak pernah melihat paras seelok ini. Jauh elok dibanding aktor dunia dimana pun.Alis tebal dengan mata perunggu yang terkesan tegas. Kulit yang putih pucat, bahkan lebih putih dari batu pualam marmer yang murni. Rambutnya hitam legam. Dan setelah ia amati lagi, hidung mancung dan bibir merah merekah.Beberapa menit ia terhanyut pada rupanya. Tiba-tiba ada perasaan ingin menangis sejak pertama kali melihatnya. Ia tak tahu kenapa. Apakah mungkin ia mengagumi keindahannya? Ia benar-benar frustasi dan kelewat sedih. Sontak ia sadar dan sepenuhnya membawa diri."Aaaakh! Kau siapaaaa?!"Suara Shada nyaris teriak, namun nyatanya tercekat di kerongkongannya sendiri.Tak ada jawaban, sosok yang dilihatnya cuma diam, menatap skeptis lawannya."Shada.."Shada tergegau. Bagaimana mungkin pria asing yang di hadapannya sekarang sudah tahu namanya. Ia ingin sekal