Share

Chapter 4

2 hari kemudian, Leon dan Laura sedang berada di restoran yang baru saja Leon sewa.

"Kenapa sepi sekali?" tanya Laura dengan polos.

"Bukannya malah bagus? Jadi hanya ada kita berdua saja," jawab Leon.

Laura tersenyum kecil, kemudian menempati salah satu meja yang sudah dihiasi oleh beberapa vas bunga dan lilin penghias.

Bingung? Tentu saja, iya. Laura tidak mengerti alasan Leon membawanya ke sini. Padahal mereka sama sekali tidak membuat janji untuk makan bersama.

Setelah makanan yang mereka pesan sudah datang, Leon segera mengambil garpu dan pisau untuk menikmati hidangan.

"Leon," seru Laura, membuat Leon menghentikan tangannya sejenak.

Laura bertanya apa alasan Leon membawa dirinya ke tempat itu. Karena ia mulai sadar bahwa sepertinya Leon memang menyewa tempat tersebut, khusus untuk mereka berdua.

"Alasannya jelas, karena ini adalah hari ulang tahunmu," ungkap Leon. Nada bicaranya masih tak berubah, sangat lembut.

Seketika Laura sangat kaget. Dari mana Leon dapat mengetahui tanggal lahirnya. Seakan-akan semua identitas Laura, Leon dapat menebaknya dengan tepat.

Tidak hanya itu saja, Leon juga terus memanggilnya dengan sebutan Launa.

Waktu itu Laura sempat menanyakan hal ini pada Felix. Tapi sayang, Felix tak tahu-menahu akan hal itu.

"Atau jangan-jangan Leon masih menganggap aku sebagai tunangannya yang lama dan memanggilku dengan sebutan namanya," tebak Laura dalam hati.

"Ah, tapi sepertinya tidak mungkin! Karena menurut Felix, nama dari tunangan Leon yang lama bukanlah Launa. Atau bisa jadi Leon salah membawa orang. Tidak menutup kemungkinan jika dia membuat perjanjian palsu ini dengan wanita lain yang bernama Launa, dan dia malah menangkapku karena menganggap aku adalah orang itu hanya karena nama kita mirip."

Apapun itu alasannya, Laura tidak akan bisa mengetahui segalanya dalam waktu singkat.

Semua butuh proses, tidak ada yang instan dalam kehidupan ini. Sekarang dia hanya bisa menyisihkan sebagian hari-harinya untuk memainkan peran sebagai nona pengganti.

Di saat yang bersamaan, 6 orang pelayan berpakaian rapi datang menghampiri meja mereka berdua. Semuanya sibuk membawa bawaan masing-masing.

Ada yang membawa buket bunga yang ukurannya sangat besar, tas-tas belanja berisi barang branded, serta kue tart yang tak lupa diikutsertakan.

Begitu terkejut Laura saat seorang pelayan menyerahkan buket bunga itu padanya.

"Te---terima kasih," gugup Laura.

Ini adalah pertama kalinya ia merayakan hari kelahiran setelah 24 tahun hidup di dunia.

Bahkan Devano saja yang memiliki hubungan khusus dengannya selalu lupa akan hari penting tersebut, meskipun Devano mengaku sangat menyayangi Laura.

Setelah semua pelayan meletakkan barang bawaan ke meja sebelah agar tidak memenuhi meja Leon dan Laura, mereka kembali melanjutkan pekerjaan masing-masing.

Kini keadaan kembali sepi seperti sebelumnya.

Secara tiba-tiba Leon mendekati wajahnya ke depan wajah Laura dan membuatnya semakin panas dingin.

"Astaga, Leon mau ngapain? Tolong jangan dekat-dekat begini!" Laura terus mengeluh dalam hati.

Tak disangka Leon mencium kening Laura dengan sangat lembut, membuat Laura terpaku diam dan tak bisa mengatakan apa-apa.

"Selamat merayakan hari lahir, wahai wanita baik. Semoga Tuhan selalu melindungi dan menjagamu, di mana pun kamu berada," bisik seorang Leon Halton.

Dalam sekejap mata Laura kembali berkaca-kaca. Suara ini membuat Laura dilanda perasaan bersalah.

Di satu sisi ia merasa bahwa dirinya telah mengkhianati Devano, yang merupakan kekasihnya sendiri. Seharusnya hanya Devano satu-satunya lelaki yang berhak mencium keningnya setelah sang ayah, bukan malah Leon.

Di sisi lain, sebenarnya Laura juga tidak tega jika terus-terusan membohongi pria tampan tersebut.

"Leon, asal kamu tau bahwa aku bukanlah wanita yang seharusnya ada di sini. Takdir mempertemukan kita dengan ketidaksengajaan dan aku masih belum bisa mengatakan kebenaran ini padamu. Entah sampai kapan kamu akan terus menganggap aku sebagai seorang Launa," gumam batin Laura.

Dengan cepat, Leon kembali menjauh dari posisinya sekarang.

"Maaf jika tindakanku kurang sopan," ucap Leon, tapi Laura memaafkannya.

Berselang beberapa menit, suasana kembali kaku. Mereka bingung harus membicarakan apa lagi.

Memanfaatkan kesempatan, Laura menyampaikan permohonannya pada CEO dari perusahaan Halton Group tersebut.

"Tolong panggil aku dengan sebutan Laura saja. Karena aku kurang suka dengan nama Launa, hingga aku membuat nama panggilan khusus untuk diriku sendiri," pinta Laura dengan kebohongannya. Ia mengalihkan pandangan ke arah sekitar dan tak berani menatap mata Leon.

"Baiklah, Laura."

30 menit kemudian.

Setelah mereka menghabiskan santapannya, Leon pun langsung mengajak Laura untuk kembali melanjutkan perjalanan.

"Memangnya mau kemana lagi kita?" tanya Laura, tapi tak di jawab oleh Leon.

Saat mereka melangkah keluar restoran, terlihat dua orang pria sedang mengintip dari balik semak-semak.

"Itu Kak Laura, wanita yang aku maksud," kata Felix sambil menunjuk ke arah Laura.

Sebagai saudara yang seumuran dengan Leon, Damian terus menajamkan matanya menatapi Laura dari kejauhan.

"Kok di mau sih jadi tunangannya Leon? Padahal Leon 'kan orangnya pendiam, seru juga tidak!" ketus Damian, main asal ceplas-ceplos. Walaupun sebenarnya Damian juga memperdulikan Leon sebagai seorang saudara.

"Hei, memangnya Kakak pikir dia mau sama Kakak?"

"Dih, jangan salah! Kamu tau sendiri 'kan ada berapa wanita yang sudah aku miliki sekarang? Ya, lebih dari empat dan mereka semua akur."

"Justru itu yang akan membuat Kak Laura menyesal seumur hidup jika dia menjadi wanita Kakak. Sudah tau Kakak 'kan orangnya playboy."

Spontan, Damian memukul kepala Felix.

"Jaga bicaramu, Bodoh!"

Tak terima, Felix pun berkata bahwa Damianlah yang harus menjaga omongannya.

"Kalau seandainya Kak Leon melihat ini, pasti dia akan memarahi Kakak habis-habisan," lanjut Felix, masih terus bertengkar dengan Damian.

Meski mereka sering berbeda pendapat dan tak jarang sampai bertengkar seperti ini, tapi kenyataannya hubungan mereka sangatlah erat. Perbedaan tidak akan menjadi halangan di antara mereka semua.

Hal ini dapat dilihat dari sikap masing-masing yang terkesan bagaikan langit dan bumi.

Jika Leon adalah orang yang setia, Damian merupakan seorang playboy, tentu Felix berada di tengah-tengahnya. Bisa dikatakan dia tidak berpihak pada siapa pun dan belum terlalu mau mengurusi dunia percintaan yang menurutnya tak berguna.

Felix bahkan berniat menghabiskan masa mudanya untuk menyenangkan diri sendiri, bukan untuk buang-buang waktu dengan gaya berpacaran yang tidak ia sukai.

Karena sibuk bertengkar, mereka sampai tak menyadari bahwa Leon dan Laura sudah pergi sejak tadi. Rencana mereka untuk terus mengikuti dari belakang pun gagal.

Tiba-tiba ponsel milik Damian dan Felix berdering secara bersamaan. Menandakan ada pesan masuk dari Leon.

"Damian, tolong jangan mengajarkan hal yang tidak sopan pada Felix. Jika kamu tidak bisa memberikan contoh yang baik, maka jangan memberikan contoh yang buruk pula. Sudah cukup kamu saja yang bikin kami semua pusing. Lain kali, jangan pernah memukul kepala Felix lagi di hadapanku!" tulis Leon yang ternyata sempat menyadari akan keberadaan mereka.

Membaca pesan itu, Damian langsung cemberut.

"Siapa yang memukulnya di hadapanmu, Bodoh! Aku memukul adik kesayanganmu ini secara diam-diam!" teriak Damian melampiaskan amarahnya pada ponsel yang ia pegang.

"Kamu juga, Felix! Jangan biasakan untuk ikut campur dengan urusan orang lain tanpa ada keperluan penting. Lebih baik sekarang kamu langsung ke kantor saja karena ada klien dari perusahaan besar yang akan datang. Tolong urus mereka dengan baik."

"Siap, Kak!" tulis Felix membalas pesan Leon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status