Dengan sangat baik Leon mempresentasikan hasil kerjanya di hadapan para klien.
Ia menjelaskan apa saja yang akan menjadi target perusahaannya untuk 5 tahun ke depan, strategi apa yang harus digunakan untuk memaksimalkan hasil, dan perkiraan resiko yang akan mereka terima.Kebetulan di meeting kali ini ada Alice yang ikut hadir sebagai perwakilan dari perusahaan ayahnya.Seperti biasa, Alice hanya memandangi wajah Leon. Ia bahkan sering kali memanfaatkan kesempatan yang sama hanya untuk bertemu dengannya. Meski dia tidak mengerti apa yang Leon katakan secara keseluruhan."Baik, sekian dari saya. Semoga pertemuan kali ini bisa menjadi pertimbangan untuk membawa perusahaan-perusahaan kita ke jenjang yang lebih baik lagi," ucap Leon menutup presentasinya.Setelah semua sudah selesai dan tidak ada lagi yang mau dibahas, para klien pun mulai keluar ruangan satu per satu.Kini hanya tersisa Leon dan Alice saja dalam ruangan tersebut. Dengan cuek, Leon fokus membereskan berkas-berkas yang tadi ia gunakan.Tanpa rasa malu sedikit pun, Alice mendekati Leon dan malah memegang tangannya."Bagaimana kondisimu hari ini? Kenapa kamu terlihat pucat sekali?"Tak ada niat untuk merespon, Leon tetap diam dan tidak mau melihat ke arah Alice.Dengan tergesa-gesa, Leon melangkah cepat keluar ruangan menuju lift. Kesal karena diacuhkan, Alice berlari menghampirinya dan memeluk Leon dari belakang."Bisakah kamu menjaga sikap ditempat umum seperti ini?" tanya Leon dengan dingin."Tapi di sini tidak ada siapa-siapa, 'kan?" bantah Alice tanpa rasa bersalah."Kamu adalah seorang wanita. Baik itu di tempat sepi ataupun tempat ramai, seorang wanita harus bisa menjaga rasa malunya. Jika rasa malu tersebut hilang sedikit saja, maka itu hanya akan mengurangi derajatnya di mataku," cetus Leon menahan emosi."Ya ampun, Leon. Kamu terlalu berlebihan."Sudah mulai kesal, Leon terus menguras pikirannya untuk menemukan cara agar bisa menyingkirkan Alice."Ngomong-ngomong ... bagaimana tunangan barumu itu? Pasti dia sangat menyebalkan dan tidak berguna. Iya, 'kan?"Disaat yang bersamaan, ada seseorang dari balik dinding yang memotret mereka berdua dengan posisi Alice masih memeluk Leon.Mendengar Laura dijelek-jelekkan oleh Alice, Leon langsung berbalik badan dan berusaha melepaskan tangan Alice dari tubuhnya."Tutup mulutmu atau aku akan ---""Kamu akan apa? Hah! Aku tau kamu tidak akan menyakiti seorang wanita. Pasti kamu juga tidak akan berani melakukan hal-hal kasar padaku. Jadi, apa yang harus aku takutkan?"Leon menghela napas kasar."Alice, aku ingin kamu mengetahui akan suatu hal.""Apa itu, Sayang? Katakan saja.""Di dalam kehidupanku, ada satu wanita yang memang tidak berguna sama sekali. Aku bahkan sangat ingin menyingkirkan dia dari kehidupan ini.""Cih, sudah aku tebak. Seharusnya kamu mengatakan ini sejak awal supaya aku bisa membantumu menyingkirkan tunangan barumu itu agar tidak lagi menjadi pengganggu," balas Alice penuh percaya diri."Tapi sayangnya bukan Laura yang aku maksud.""Lalu?" Alice mengernyitkan dahi."Wanita yang aku maksud adalah kamu. Ya, kamu sama sekali tidak ada gunanya untukku. Sedangkan Laura adalah segala-galanya bagiku. Bahkan lebih dari itu, lebih dari nyawaku sekalipun," jelas Leon yang mencoba menyusun kata-kata sebaik mungkin agar tidak terlalu berlebihan dalam menghina lawannya."Oke! Kalau begitu, mulai sekarang jadikan aku wanitamu yang kedua. Dengan begitu, aku akan lebih berguna bagimu. Percayalah! Hanya aku yang bisa membuat kamu merasakan apa itu kemurnian cinta. Karena aku yakin tunanganmu yang lama ataupun yang baru tidak akan bisa menyentuh hatimu sedikit pun."Tak ingin membuang-buang waktu, Leon bergegas kembali melanjutkan langkahnya menuju lift dan meninggalkan Alice sendirian.Tapi kali ini Alice tak lagi mengejar. Ia malah tertawa dan meyakinkan diri bahwa suatu hari nanti Leon akan menyesal.Di dalam lift, Leon kembali memegangi perutnya. Jelas rasa sakit itu masih ada, apalagi saat Alice menyentuh seenaknya. Hanya saja Leon harus tetap bersikap biasa agar tidak ada yang curiga.***"Huh, jam berapa ini?" ucap Laura yang baru bangun dari tidurnya.Ia sangat terkejut saat tau dirinya masih ada di kamar Leon. Bahkan tubuhnya pun juga dibaluti oleh selimut milik pria tampan tersebut.Dengan cepat Laura langsung beranjak dari kasur. Tiba-tiba ia melihat ada secarik kertas terlipat yang ditaruh di atas meja."Pintu kamar sengaja aku kunci supaya tidak ada yang mengganggu tidurmu. Kalau kamu mau keluar, ambil saja satu-satunya kunci cadangan yang sengaja aku taruh di bawah bantal. Tapi tolong diingat! Hanya kamu yang boleh menyimpan kunci cadangan ini," tulis Leon pada surat tersebut, karena tadi pagi ia tidak tega jika harus membangunkan Laura.Seketika tulisan tangan itu membuat Laura tersenyum kecil seraya berkata, "zaman sekarang masih ada saja orang yang menyampaikan pesan melalui surat. Tapi ini benar-benar lucu. Jarang-jarang aku mendapatkan surat berupa kertas seperti ini."Menyadari jam sudah menunjukkan pukul 11 siang, Laura berniat untuk segera mandi.Baru saja ia mengambil pakaian di kamarnya, tiba-tiba Felix menarik tangan Laura dan langsung membawanya secara paksa."Felix, lepaskan! Sakit.""Kalau Kakak menolak ajakanku, maka Kakak akan merasakan sesuatu yang lebih menyakitkan dari ini."Sambil mengikuti Felix, Laura bertanya sebenarnya mau pergi kemana mereka.Tanpa basa-basi, Felix menjawab kalau dia akan membawa Laura ke rumah sakit tempat Devano dirawat."Kamu serius? Dimana rumah sakitnya?" tanya Laura yang begitu antusias saat tau dirinya akan bertemu dengan sang kekasih.Bukannya menjawab pertanyaan, Felix malah meminta Laura untuk tidak banyak bertanya karena itu hanya akan membuang-buang waktu mereka."Tapi aku baru saja bangun tidur dan belum mandi. Bahkan aku juga belum sempat cuci muka. Ini akan sangat memalukan jika aku terlihat sangat dekil.""Tugasku adalah mempertemukan Kakak dengan Devano. Aku tidak peduli Kakak baru bangun tidur atau tidak. Karena bagaimana pun kondisinya, Kakak tetap akan terlihat cantik. Tidak salah jika Kak Leon memilih Kak Laura untuk menjadi Nona di rumah ini"Setibanya di gerbang rumah, Laura melihat seorang pria yang tengah menunggu mereka berdua.Dengan tubuh kurus tinggi, kulit yang bagus dan cerah, serta pakaian serba hitam membuat pria itu terlihat semakin tampan.Penasaran siapa dia, Laura berbisik di telinga Felix. Tanpa ragu Felix pun menjawab kalau dia adalah Damian."Kakak harus memperbanyak rasa sabar saat menghadapinya, " ucap Felix, membuat mata Damian sinis dalam sekejap.Beberapa saat kemudian, mereka tiba di rumah sakit tujuan.Dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipi, Laura menangis tanpa henti saat mengetahui bahwa kondisi Devano sedang kritis.Kini mereka hanya diperbolehkan untuk menunggu diluar ruangan saja dan belum diizinkan untuk melihat Devano sedikit pun.Laura merasa takdir sudah tak lagi berpihak padanya. Kalau seandainya terjadi sesuatu pada Devano, Laura berkata bahwa ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri."Jika Tuhan tidak mengizinkan Devano untuk selamat dan malah membawanya pergi, maka aku juga ingin ikut bersamanya. Karena sekarang hanya dia satu-satunya yang aku punya."Padahal waktu itu Devano terlihat sangat bersemangat mengantarkan Laura untuk bekerja di hari pertamanya. Senyuman pria manis itu masih teringat jelas di benak Laura.Merasa tidak tega, Damian terus menepuk-nepuk pelan pundak Laura dan mencoba menenangkan. Dia bilang bahwa Tuhan tidak akan membiarkan takdir buruk menimpa orang baik.Melihat tindakan Damian, Felix tidak terlalu kaget karena tau bahwa sebenarnya Damian memanglah orang yang baik dan perhatian, tapi terkadang sangat menyebalkan.Kini mereka bertiga malah menjadi pusat perhatian dari orang-orang di sekeliling hanya karena tangisan Laura. Hal ini mendorong salah seorang wanita paruh baya untuk menghampiri Laura dan mencoba menghiburnya."Tangisan tidak bisa mengubah apapun, tapi doa bisa mengubah segalanya. Kalau memang kita tidak ingin kehilangan sesuatu, maka kita harus berusaha untuk menahannya agar tetap menjadi milik kita. Bukan malah meratapi dan membiarkan takdir merebut begitu saja."Itulah inti dari perkataan si wanita paruh baya yang membuat Laura sadar apa yang harus ia lakukan sekarang.Beberapa hari kemudian, Leon dan Laura memutuskan untuk menggelar acara pernikahan mereka setelah melakukan pertunangan.Namun, di hari yang bahagia ini Laura terlihat begitu sedih. Ia tak menyangka jika orang tuanya masih belum ditemukan sampai saat ini, bahkan saat dirinya hendak menempuh hidup baru dengan pria pilihannya.Di ruang rias pengantin, Laura sedang menatap dirinya di depan cermin.Balutan gaun itu terlihat sangat indah, tapi tidak dengan hatinya. Meski merasa ada goresan kebahagiaan, namun luka tetap menyertai."Bagaimana bisa aku menikah tanpa kehadiran orang tuaku?" tanya Laura dalam hati.Tapi tiba-tiba matanya membelalak saat melihat sosok wanita dari pantulan cermin. Wanita itu tengah berdiri di belakangnya, dan ternyata itulah adalah Manda.Laura menolah karena tidak percaya. Ia pikir ini hanya halusinasi saja. Tapi ternyata ini adalah kenyataan. Tidak lama kemudian Erik dan Launa ikut masuk ke ruangan yang sama. Kali ini sebuah keluarga yang utuh berkumpul di sat
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kini sudah memasuki bulan keempat setelah takdir kembali mempertemukan Leon dengan Laura.Selama beberapa waktu tersebut, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Bahkan Leon juga sering menjemput Laura dari minimarket tempatnya bekerja dan mengantarkan dia pulang ke kontrakannya.Di pagi yang cerah ini, Leon dan Laura telah membuat janji untuk saling bertemu di sebuah kafe yang sangat sepi.Kafe ini jarang sekali dikunjungi oleh para pengunjung dan biasa di datangi oleh orang-orang tertentu saja. Selain karena harga menu-menunya yang mahal, ketersediaan tempat duduk di kafe tersebut juga sangat terbatas. Sehingga orang-orang yang tidak menyukai keramaian akan sangat menyukai tempat ini.Laura terlihat tengah menunggu Leon sendirian. Ekor matanya tak henti melirik ke sana dan kemari, mencari sosok pria yang selama ini masih ia kagumi sepenuh hati.Tak disangka ternyata Vincent ada di kafe itu juga. Melihat ada Laura di sana, tentu Vincent sanga
Dua hari kemudian, Leon membulatkan tekad untuk datang ke minimarket tempat Laura bekerja.Melihat Leon datang ke sana, tubuh Laura grogi tak karuan."Leon. Untuk apa dia datang ke sini?" tanya Laura dalam hati. Ia benar-benar sangat gugup."Laura, apa kau punya waktu?" Tanpa basa-basi Leon langsung bertanya ke intinya."Hah!! Maksudmu?""Apa yang punya waktu untuk menemaniku makan siang sekarang?"Seketika Laura merasa seperti tersambar petir. Bagaimana bisa Leon tiba-tiba datang dan mengajaknya makan bersama seperti dulu lagi."Ma---maaf, Leon. Aku tidak bisa karena masih ada kerjaan," balas Laura yang tidak berani menatap mata lawan bicaranya.Mendadak, dari dalam keluarlah seorang wanita bernama Fira.Fira adalah karyawan baru juga di sana. Ia baru mulai bekerja kemarin hari."Bukankah sekarang sudah masuk waktu istirahatmu, Laura?" tanya Fira yang sebelumnya tidak sengaja mendengar percakapan mereka."Ta---tapi bagaimana bisa aku meninggalkanmu sendirian di sini?""Tidak apa-apa
Vincent mengantarkan Laura pulang ke kontrakannya."Jangan tidur terlalu malam," pesan Vincent sambil mengacak pelan rambut Laura."I---iya," jawabnya gugup.Tak ingin berlama-lama lagi, Vincent langsung bergegas untuk meninggalkan tempat."Baiklah, aku pergi dulu.""Hati-hati, Vincent. Jangan terlalu kencang bawa mobilnya." "Tenang saja, Nona Cantik," balas Vincent sambil meledek Laura.Setelah beberapa menit berlalu, kini ia sudah sampai di apartemennya dan bergegas meraih sebuah sofa untuk mengistirahatkan diri di atas sana.Vincent membuka jas yang dia pakai dan melemparkannya ke atas sofa yang sama.Kemudian ia duduk dengan mata terpejam, sambil mengingat semua moment yang lalui hari ini."Laura Zara. Gadis yang cukup menarik bagiku. Dia cantik, baik, tidak matre, bahkan dia juga lebih menarik dibandingkan gadis lain.""Entah siapa pria beruntung yang Laura maksud tadi, tapi yang jelas aku sangat iri padanya karena bisa mendapatkan hati Laura."Cring, cring ....Tiba-tiba dering
Laura dan Vincent tengah menikmati kebersamaan di sebuah pasar malam yang tidak jauh dari kontrakan Laura.Saat dirinya sedang membereskan rumah, tiba-tiba Vincent datang dan mengajak Laura untuk menikmati udara malam di luar.Tentu Laura tak bisa menolak. Bagaimana pun juga semua Vincent sudah sangat berjasa untuknya."Kau mau makan apa?" tanya Vincent pada Laura."Terserah kau saja," balas Laura. Ya, balasan yang biasa dipakai oleh sejuta kaum hawa."Bagaimana kalau bakso saja. Apa kau suka bakso?" tanya Vincent lagi.Laura mengangguk kecil.Dengan segera Vincent menggandeng tangan Laura dan menuntunnya ke sebuah kedai bakso paling ramai yang ada di sana."Apa sebelumnya kau sudah pernah ke pasar malam?" tanya Laura basa-basi.Vincent menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis."Belum. Ini adalah pertama kalinya.""Orang kaya sepertimu pasti selalu makan di tempat ya mewah. Iya, 'kan? Apa kau tidak merasa risih jika makan di tempat sederhana seperti ini?" Laura sedikit ragu dan
Tok, tok, tok!!Leon mendengar suara ketukan pintu dari bilik kamar."Masuk!" ujar Leon tegas."Permisi, Tuan Leon. Di bawah ada Nona Laura yang datang dan sedang menunggu Tuan," jelas Angel."Apa!! Laura?" Leon tak percaya mendengarnya.Namun, seketika ketidakpercayaannya itu dipatahkan oleh anggukan Angel."Baiklah, saya akan segera turun."Saat sedang menuruni anak tangga, Leon memang melihat sosok wanita yang tengah menunggu dirinya."Laura," panggil Leon pelan.Wanita tersebut menoleh santai. Kemudian ia tersenyum melihat bahwa Leon sudah berada tepat dibelakangnya."Ada yang mau aku bicarakan padamu," ujar wanita itu.Sampai saat ini Leon masih tak curiga sama sekali. Ia belum sadar bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah Laura melainkan Launa. Benar, wanita yang akhir-akhir sedang ia cari untuk meminta pertanggung jawaban."Tapi aku tidak mau kita membicarakannya di sini karena takut di dengar oleh para pelayanmu," jelas Launa sambil melirik ke sana kemarin.Leon yang masi