Share

Chapter 11

Sesampainya di lokasi, Laura dan Leon hendak memasuki gedung besar yang ada di depan mereka.

Melihat semua tamu datang bergandengan tangan dengan pasangan masing-masing, membuat Laura teringat akan Devano. Ia kembali memikirkan di mana keberadaan kekasihnya itu.

"Bolehkah aku menggandeng tanganmu juga?" izin Leon dengan sangat lembut.

Laura yang tidak keberatan pun mengangguk senyum. Tanpa berlama-lama lagi mereka bergegas masuk ke dalam gedung pernikahan tersebut.

Dengan segera Leon mengajak Laura untuk bersalaman dengan pengantinnya terlebih dahulu. Lagi-lagi Laura hanya nurut saja dan tidak membantah perintah dari pria yang ada di sampingnya.

Mereka menuju kedua mempelai, kemudian bersalaman dan berbincang-bincang kecil.

Leon memperkenalkan pada Laura bahwa mempelai pria ini adalah rekan kerjanya. Mereka sudah saling kenal cukup lama.

Setelah selesai menyapa, dengan ramahnya si pengantin wanita menyuruh Laura dan Leon untuk segera menduduki kursi tamu dan menyantap hidangan yang sudah disediakan. Mereka berdua pun mencari kursi kosong yang cukup jauh dari keramaian.

"Kamu duduklah di sini. Aku akan mengambilkan makanan ringan untukmu terlebih dahulu. Jangan kemana-mana, aku akan segera kembali," kata Leon.

"Baiklah," jawab Laura datar.

Tidak lama setelah Leon pergi, secara mendadak seorang wanita lain duduk tepat di depan Laura. Benar, itu adalah Alice yang kebetulan datang ke acara yang sama.

"Siapa pria itu?" tanya Alice ketus.

Laura heran kenapa tiba-tiba wanita tak dikenal itu bertanya sok akrab padanya.

"Apa maksudmu?"

"Jawab dulu, siapa pria yang bersamamu tadi?"

Dengan gugup Laura menjawab bahwa Leon adalah tunangannya. Tiba-tiba Alice malah tertawa kencang, membuat Laura semakin kebingungan.

"Sebenarnya apa yang diinginkan wanita ini? Dia terlihat sangat aneh," tanya batin Laura.

"Perkenalkan! Aku Alice, teman dekatnya Leon."

Sontak pengakuan Alice membuat Laura terdiam sejenak.

"Oh, teman dekat," jawab Laura singkat.

"Tidak! Lebih dari itu. Bisa dikatakan teman tapi mesra. Kamu tau arti kata mesra, 'kan?"

Dalam sekejap, entah kenapa hati Laura langsung merasa gelisah. Ia tak menyangka kalau Leon bisa dekat dengan wanita lain.

Tapi dia sadar bahwa dia dan Leon tidak memiliki hubungan apa pun, jadi buat apa memikirkannya.

"Kalau memang Leon memiliki teman wanita yang sangat dekat dengan dia, lalu kenapa malah menyuruh orang lain untuk menjadi tunangan palsunya? Padahal bisa saja dia menyuruh wanita bernama Alice ini untuk menempati posisiku sekarang."

Meskipun begitu, Laura sedikit tak percaya apakah Alice dan Leon benar-benar memiliki hubungan yang sangat dekat atau ini hanyalah omong kosong saja.

Karena Felix sempat mengatakan bahwa belum ada satu pun wanita yang bisa menyentuh hati Leon, sekalipun itu tunangan lamanya sendiri.

"Kenapa diam saja? Apa kamu tidak percaya? Baiklah, mungkin dengan pemandangan indah ini kamu baru akan mempercayainya."

Alice menunjukkan sebuah foto pada Laura saat dirinya sedang memeluk Leon dari belakang. Ya, foto yang waktu itu diambil oleh seseorang ketika Leon dan Alice tengah berbincang di kantor.

Laura sedikit terkejut hingga ia menutup mulut dengan tangan mungilnya.

"Ternyata memang betul. Tapi ... buat apa aku cemburu. Leon 'kan bukan siapa-siapa di hidupku."

Tepat disaat itu juga, Leon datang dan langsung merebut ponsel milik Alice.

Dengan gesit ia menghapus foto yang dirasa tak pantas dan segera mengembalikannya pada wanita yang selama ini selalu mengganggunya.

"Leon, kamu apa-apaan sih! Semenjak bergaul dengannya, kamu jadi tidak mengenal yang namanya sopan santun, ya?" teriak Alice ketus.

Tanpa ragu sedikitpun, Leon menyampaikan permintaan maafnya karena terlalu lancang dan tidak sopan pada Alice. Tapi Alice tak mau memaafkan begitu saja.

Leon berkata jika Alice saja tak mau memaafkannya hanya karena dia mengambil barang Alice tanpa izin, lalu bagaimana dengan Alice yang mengambil fotonya secara diam-diam. Bahkan foto yang tidak pantas.

Kini Alice terdiam bisu. Mulutnya tak bisa melayangkan perlawanan lagi karena sudah kehabisan kata-kata.

"Lagi pula untuk apa kamu di sini? Jangan bilang kamu memang sengaja mengikuti kita hanya untuk mengganggu Laura," tanya Leon yang diakhiri dengan dugaannya.

Alice kembali tertawa dan bilang Leon terlalu percaya diri. Dia menjelaskan bahwa alasannya datang ke sana karena kebetulan si mempelai wanita adalah teman sekolahnya dulu.

"Sudahlah, Leon." Laura memegang tangan Leon di hadapan Alice, membuat mata Alice memerah panas.

"Baiklah. Ayo kita pergi, Sayang," ajak Leon sembari merangkul Laura.

Dengan penuh emosi yang membelenggu di dalam diri, Alice terus menancapkan pandangannya ke arah mereka berdua. Tak terima melihat kemesraan yang mereka tunjukkan.

"Sialan! Dasar wanita gila, wanita murahan! Lihat saja, aku akan segera membalasnya," tekad Alice penuh dendam.

"Permisi ...," suara seorang panitia membuat Alice terkejut.

"Kenapa? Mau menawarkan makanan? Tidak! aku tidak mau makanan apa pun di tempat ini. Pergilah menjauh dariku!"

"Ma---maaf, tapi bukan itu maksud saya."

"Lalu?"

"Sebenarnya ini adalah meja khusus untuk keluarga pengantin. Sedangkan untuk tamu, berada di sebelah sana." Si panitia menunjukkan jarinya ke arah barat dengan sopan.

Merasa sangat malu, Alice langsung marah-marah tidak jelas hanya untuk menutupi rasa malunya tersebut.

Dia berkata kalau seharusnya panitia di sini memberi tanda agar orang lain tidak salah tempat.

Bahkan Alice juga sempat menjelek-jelekkan para panitia dengan berkata bahwa mereka semua sudah kehilangan akal sehat.

Tak rela waktunya terbuang sia-sia di saat seperti ini, Alice menelpon supir pribadi yang sedang menunggu di parkiran. Setelah si supir datang, Alice memberikannya segelas minuman.

"Tumpahkanlah ke baju wanita itu!" perintah Alice dipenuhi kekesalan.

"Tapi, Nona, bagaimana kalau ---"

"Kalau apa? Hah! Kamu mau saya pecat?"

"Jangan, Non. Saya masih harus bekerja karena cicilan saya juga masih banyak."

"Nah, ya sudah. Selesaikan saja tugas dariku!"

Laura bertanya pada Leon mengenai siapa Alice sebenarnya. Tanpa menoleh sedikit pun, Leon berkata dia hanyalah teman sebatas kerja, tidak lebih.

"Apa dia menyukaimu?" tanya Laura dengan polos.

"Kemungkinan iya, tapi aku tidak peduli."

Tak mau Laura memikirkan yang aneh-aneh, Leon menyuruh Laura untuk melupakan omong kosong yang baru saja Alice lontarkan.

"Lakukan saja tugasmu sebagai tunangan palsuku seperti biasanya," perintah Leon yang berubah menjadi tegas dalam sekejap.

Laura kembali diam, sadar kalau Leon merasa terganggu dengan pertanyaannya itu.

"Bisakah aku mengajak wanita tadi untuk bekerja sama agar mau menggantikan posisiku saat ini? Sepertinya dia memang benar-benar menyukai Leon. Kemungkinan besar tawaranku tidak akan ditolak, 'kan?" tanya Laura pada diri sendiri.

Mendadak, seorang pria tak dikenal menumpahkan segelas minuman hingga membasahi dress milik Laura.

Dengan spontan Leon pun langsung berdiri dan hampir menegurnya, tapi dia mencoba untuk mengendalikan emosi.

Ya, supir suruhan Alice itu segera meminta maaf dengan pernyataan bahwa ia tak sengaja.

Seperti biasa, Laura tak mau membuat masalah menjadi besar. Ia mengatakan pada Leon jika dirinya ingin ke toilet sebentar untuk membersihkan dress-nya.

"Baiklah, hati-hati!" ucap Leon.

Laura bertanya pada seorang panitia di mana toilet wanita. Panitia itu menjawab ada di halaman belakang, tepatnya tidak jauh dari kolam renang.

Sesampainya di toilet, Laura langsung membasuh pelan air wastafel pada dress tersebut.

Sebenarnya dia sedikit kesal, tapi dia juga tidak bisa menyalahkan orang yang melakukan ketidaksengajaan.

Setelah selesai, Laura langsung keluar dan hendak kembali menemui Leon.

Tetapi saat Laura berjalan melewati sisi kolam yang sangat sepi dan tak ada seorang pun di sana, tiba-tiba Alice merebut tas Laura dari arah belakang. Membuat Laura kaget dan spontan merampasnya kembali.

Mereka saling berebut satu sama lain, hingga Alice yang tak mau kalah pun nekat mendorong Laura hingga terjatuh ke kolam.

Panik karena kolamnya terlalu dalam, Laura berusaha untuk menyentuh keramik tepi kolam dan mencoba kembali naik.

Namun, Alice malah menahan kepala Laura hingga membuatnya tak bisa bernapas.

"Matilah, wahai Laura! Matilah! Dasar wanita murahan, pengecut, tidak berguna," ucap Alice dengan tawa jahatnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status