''Ah, iya. Aku lupa kalau kami belum makan,'' ujar Radit dengan mengusap tengkuknya.Radit mendekati anak-anaknya dan mengajak mereka ke luar rumah, untuk membeli makanan, Karena tidak mungkin untuk masak di saat ini."Duduk, Nit!" pintaku lirih.Dengan ragu, Nita duduk di depanku. Aku tahu, jika jarak antara kami sangat jauh. Semua wanita pasti seperti itu jika hatinya tersakiti, akan mereka ingat untuk selamanya, meskipun hanya kesalahan yang tidak disengaja."Maaf, Mbak," cicitnya.Seulas senyum hangat kuberikan padanya, agar keadaan tidak semakin menegang. Rasa bersalah pun selalu menghantuiku, bukan tanpa sebab aku memarahinya dulu, tapi mungkin Nita salah menafsirkan amarahku atau aku yang salah mengucapkan kata-kata saat amarahku meluap."Maafkan kesalahan, Mbak, ya. Mungkin kamu masih menyimpan dendam pada, Mbak dan belum bisa memaafkan kesalahan yang Mbak lakukan dulu. Jika ada salah yang belum termaafkan, Mbak mohon, kamu bisa dengan ikhlas melepaskan kesalahan Mbak yang ter
"Kabar terakhir yang kami dapat, setelah papa Attar keluar dari penjara dia sempat tinggal di rumah yang dulu pernah ditingali mama dan papa, tapi hanya dua bulan. Lalu papa pergi, entah ke mana," jawab Candra.Radit mendekati Aqila dan mengusap lembut kepala keponakannya itu, dan memintanya untuk bersabar dalam mencari seseorang yang telah lama tidak ada kabarnya."Apa kamu sudah punya kekasih, sampai harus segera mencari papamu?" tanya Radit untuk menggoda keponakannya."Om selalu saja menggodaku, aku hanya tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Bagaimanapun Papa Attar tetap papaku, meski dia pernah menyakiti kami. Setidaknya aku harus tahu kehidupannya saat ini membaik atau memburuk, dan apakah dia masih membenciku," liri Aqila, yang membuat Radit terdiam, begitu juga yang lainnya.Semua diam, larut dalam lamuman masing-masing. Seakan-akan tidak tahu harus bagaimana mengakhiri situasi yang cukup menegangkan ini. Hingga anak-anak Radit datang dan membuat kedua kembar memberikan reak
Aku, Aqila dan kembar saat ini fokus mencari keberadaan Mas Attar, hanya sesekali memantau keadaan cafe. Radit dan keluarganya memutuskan untuk tinggal di dekat kami. Membantu mencari keberadaan papanya Aqila, agar segera ditemukan. "Mbak, aku mau ikut ke cafe, ya," pinta Radit. "Ya udah, ayo!" ajakku. Aku dan Radit bergegas berangkat, setelah Aqila dan kembar pergi duluan menuju ke tempat kerjaan mereka masing-masing. Awalnya perjalanan cukup lancar, tapi tiba-tiba mobil berhenti secara mendadak. Ah, apakah aku lupa men-service mobil atau ada kerusakan serius pada mobil ini yang terlewatkan saat masuk bengkel beberapa waktu lalu. "Mbak lupa service?" tanya Radit dengan memicingkan matanya, langsung membuat aku terkekeh. "Sepertinya aku lupa, atau terlewat!" ucapku dengan memasang wajah tidak bersalah. Radit hanya menghela napas panjang dan memintaku untuk turun, sedangkan dia mencoba mencari di mana letak kerusakan. cukup lama Radit memeriksa keadaan mobil dan belum menemukan
"Kamu di sini?" tanyaku untuk memastikan dan lelaki itu mengangguk. Aku kembali melirik Radit dan bertanya melalui gerakan kepala, dan Radit hanya mengedikkan bahunya saja. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di tempat ini. "Kamu sudah lama di sini, Mas?" tanyaku. "Enggak lama setelah aku keluar dari penjara, aku membuka warung kecil-kecilan dan akhirnya bisa sedikit besar seperti sekarang ini," ujarnya dengan senyum manis yang dulu membuatku tergoda. Mas Attar mengajakku dan Radit untuk duduk di kursi panjang yang tersedia di depan warung, lalu meminta maaf karena tadi sempat menghindari dariku. Katanya, bukan karena takut, tapi saat ini belum siap untuk bertemu. Apa lagi dia tahu, jika Aqila sedang mencarinya, kabar ini dia dapat dari tetangga yang tinggal di rumah lama kami. "Kamu enggak tahu seberapa rindunya Aqila padamu?" tanyaku dengan nada kesal. Bisa-bisanya dia bersembunyi dari anaknya sendiri, jika memang ada rasa malu, apakah bisa mengalahkan rasa rindu yang ti
Helaan napas berat meluncur begitu saja, ternyata aku masih egois. Memikirkan sakit hati yang kurasakan bertahun-tahun lamanya, bahkan setelah kasih sayang yang Hilman berikan, tidak mampu membunu kebencian dalam hatiku. "Memaafkan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi bisa Mbak lakukan! Jangan menyiksa diri sendiri dan juga Aqila. Mbak bisa membenci Attar, tapi jangan korbankan perasaan Aqila. Berdamailah dengan keadaan, meski aku tahu itu sangat menyakitkan," Radit yang baru datang, langsung memberiku nasehat. Bukan tidak ingin memaafkan dan membiarkan Aqila bertemu dengan Mas Attar, tapi luka lama itu terbuka sendiri dan terasa lebih perih, ketika Aqila teramat sangat merindukan Papanya. Entahlah, perasaanku kali ini tidak bisa digambarkan, jika dulu Mas Attar membuat luka, maka hanya hatiku saja yang terasa sakit, tapi saat ini semuanya bercampur menjadi satu, antara kebencian, sakit hati, dan ketidak berdayaan. "Aku tahu Mbak terluka atau tidak senang dengan per
"Kalian!" seruku melihat dua anak lelaki yang sangat mirip, tentu saja aku sangat senang melihat mereka. "Yah! Surprisenya gagal total!" keluh lelaki yang memiliki gaya rambut belah tengah. "Kakak sih, berisik!" timpal lelaki bergaya rambut belah pinggir. Karena gemas, aku menarik telinga keduanya. Meski sudah lama aku tidak bertemu dengan mereka, tapi aku tetap dapat mengenali kedua lelaki tampan di depanku. "Mana ibu kalian?" tanyaku, dan tanganku tetap berada di telinga mereka. Mereka berdua saling pandang, dan kemudian tersenyum jahil. Aku tau, mereka pasti kabur dari ruma dan langsung datang ke sini. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, melihat kenekatan kedua anak Mbak Naura. "Masuk dan istirahatlah!" titaku pada keduanya. "Candra, bawa mereka ke kamar tamu," pintaku pada remaja yang tersenyum melihat sepupunya yang kena jewer olehku. "Siap, Nyonya!" jawabnya dan aku hanya berdecih kesal. Tidak menyangka saja, kedua anak yang kurindui datang di saat hatiku sangat kacau ka
Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli
Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku