Aku, Aqila dan kembar saat ini fokus mencari keberadaan Mas Attar, hanya sesekali memantau keadaan cafe. Radit dan keluarganya memutuskan untuk tinggal di dekat kami. Membantu mencari keberadaan papanya Aqila, agar segera ditemukan. "Mbak, aku mau ikut ke cafe, ya," pinta Radit. "Ya udah, ayo!" ajakku. Aku dan Radit bergegas berangkat, setelah Aqila dan kembar pergi duluan menuju ke tempat kerjaan mereka masing-masing. Awalnya perjalanan cukup lancar, tapi tiba-tiba mobil berhenti secara mendadak. Ah, apakah aku lupa men-service mobil atau ada kerusakan serius pada mobil ini yang terlewatkan saat masuk bengkel beberapa waktu lalu. "Mbak lupa service?" tanya Radit dengan memicingkan matanya, langsung membuat aku terkekeh. "Sepertinya aku lupa, atau terlewat!" ucapku dengan memasang wajah tidak bersalah. Radit hanya menghela napas panjang dan memintaku untuk turun, sedangkan dia mencoba mencari di mana letak kerusakan. cukup lama Radit memeriksa keadaan mobil dan belum menemukan
"Kamu di sini?" tanyaku untuk memastikan dan lelaki itu mengangguk. Aku kembali melirik Radit dan bertanya melalui gerakan kepala, dan Radit hanya mengedikkan bahunya saja. Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di tempat ini. "Kamu sudah lama di sini, Mas?" tanyaku. "Enggak lama setelah aku keluar dari penjara, aku membuka warung kecil-kecilan dan akhirnya bisa sedikit besar seperti sekarang ini," ujarnya dengan senyum manis yang dulu membuatku tergoda. Mas Attar mengajakku dan Radit untuk duduk di kursi panjang yang tersedia di depan warung, lalu meminta maaf karena tadi sempat menghindari dariku. Katanya, bukan karena takut, tapi saat ini belum siap untuk bertemu. Apa lagi dia tahu, jika Aqila sedang mencarinya, kabar ini dia dapat dari tetangga yang tinggal di rumah lama kami. "Kamu enggak tahu seberapa rindunya Aqila padamu?" tanyaku dengan nada kesal. Bisa-bisanya dia bersembunyi dari anaknya sendiri, jika memang ada rasa malu, apakah bisa mengalahkan rasa rindu yang ti
Helaan napas berat meluncur begitu saja, ternyata aku masih egois. Memikirkan sakit hati yang kurasakan bertahun-tahun lamanya, bahkan setelah kasih sayang yang Hilman berikan, tidak mampu membunu kebencian dalam hatiku. "Memaafkan memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi bisa Mbak lakukan! Jangan menyiksa diri sendiri dan juga Aqila. Mbak bisa membenci Attar, tapi jangan korbankan perasaan Aqila. Berdamailah dengan keadaan, meski aku tahu itu sangat menyakitkan," Radit yang baru datang, langsung memberiku nasehat. Bukan tidak ingin memaafkan dan membiarkan Aqila bertemu dengan Mas Attar, tapi luka lama itu terbuka sendiri dan terasa lebih perih, ketika Aqila teramat sangat merindukan Papanya. Entahlah, perasaanku kali ini tidak bisa digambarkan, jika dulu Mas Attar membuat luka, maka hanya hatiku saja yang terasa sakit, tapi saat ini semuanya bercampur menjadi satu, antara kebencian, sakit hati, dan ketidak berdayaan. "Aku tahu Mbak terluka atau tidak senang dengan per
"Kalian!" seruku melihat dua anak lelaki yang sangat mirip, tentu saja aku sangat senang melihat mereka. "Yah! Surprisenya gagal total!" keluh lelaki yang memiliki gaya rambut belah tengah. "Kakak sih, berisik!" timpal lelaki bergaya rambut belah pinggir. Karena gemas, aku menarik telinga keduanya. Meski sudah lama aku tidak bertemu dengan mereka, tapi aku tetap dapat mengenali kedua lelaki tampan di depanku. "Mana ibu kalian?" tanyaku, dan tanganku tetap berada di telinga mereka. Mereka berdua saling pandang, dan kemudian tersenyum jahil. Aku tau, mereka pasti kabur dari ruma dan langsung datang ke sini. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, melihat kenekatan kedua anak Mbak Naura. "Masuk dan istirahatlah!" titaku pada keduanya. "Candra, bawa mereka ke kamar tamu," pintaku pada remaja yang tersenyum melihat sepupunya yang kena jewer olehku. "Siap, Nyonya!" jawabnya dan aku hanya berdecih kesal. Tidak menyangka saja, kedua anak yang kurindui datang di saat hatiku sangat kacau ka
Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli
Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku
"Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng