Share

Part 2 Tuduhan

Setelah berpakaian utuh Harlan dan Safea digiring warga ke luar rumah. Rahma yang masih belum bisa mengendalikan diri mengikuti gerombolan itu, tangannya menyambar sepatu entah milik siapa di lantai teras.

Bukk!!

“Aduhh!!” Lemparannya tepat mengenai sisi kepala Harlan.

“Rasakan itu, Mas!” ujarnya puas sambil mengibas pasir dari telapak tangannya.

Rasa sakit hati Rahma sedikit berkurang melihat dua orang itu terluka dan dipermalukan. Sangat setimpal dengan perbuatan kotor yang mereka lakukan barusan di dalam rumahnya.

“Sabar, Mbak Rahma ... Mbak harus banyak sabar. Kalau dibalut emosi begini bisa merugikan diri Mbak sendiri,” tegur seorang wanita berhijab lebar sambil menariknya menjauh dari sana, membiarkan orang-orang membawa Harlan dan Safea, entah kembali ke keluarganya ataukah ke puskesmas terdekat.

“Mbak istirahat di rumah saya dulu sampai tenang.”

“Ya, Bu Ida.” Kalimat itu diangguki Rahma lemah, sembari mengikuti langkah sang tetangga belok ke arah jalan Manggis.

“Azka tadi di mana ya, Bu?” tanya Rahma begitu teringat akan putranya.

“Ada di rumah saya. Tadi tak suruh Wiwin bawa ke sana.”

Rumah Bu Ida tak sampai seratus meter dari rumah Rahma, hanya sedikit belok ke kanan. Beliau punya warung cukup besar di jalan kompleks buah-buahan ini.

*

Tak berapa lama istirahat di rumah Bu Ida, ada suara melengking perempuan di depan warung.

“Mana Rahma?! Mana?! Suruh keluar perempuan set*n itu!”

Suara yang menggelegar membuat beberapa tetangga sekitar mengintip keluar.

“Rupanya mereka tahu Mbak Rahma di sini,” desah Bu Ida yang baru saja menemani Rahma dan Azka duduk di ruang keluarga.

"Mungkin ada yang kasih tau, Bu." Rahma berdiri.

“Eh, Mbak Rahma ajak Azka ke belakang saja, nanti ibu yang temui mereka. Tenangkan diri kamu, jangan sampai dikuasai emosi lagi, ya, Mbak."

“Ya, Bu.” Rahma gegas menggendong tubuh kurus Azka ke dapur.

Bu Ida keluar melewati warung, ternyata tiga orang tamu tak diundang itu sudah berdiri di dekat meja kasir. Sang keponakan Bu Ida yang bantu menjaga warung tadi sedang sakit perut, jadi di sini tak ada orang.

“Mana Rahma? Kenapa disembunyikan set*n itu!”

“Di mana sopan santun kalian masuk rumah orang tanpa salam?” tegur Bu Ida dengan wajah tidak suka.

“Kami ke sini cari perempuan set*n yang nusuk anak laki-lakiku! Mana ibli* itu?!” Wanita paruh baya dengan dandanan cetar membahana bersuara.

Mira, ibu mertua Rahma, dan dua perempuan muda yang tak lain adalaj adik ipar Rahma turut sambung menyambung bicara dengan wajah berapi-api. Mereka seakan tak sabar menyerang masuk ke dalam rumah dan mencabik orang yang mereka cari.

“Kalian tahu berapa lama kurungan, dan denda kalau mengganggu ketentraman orang lain? Saya terganggu kalian ribut memasuki rumah saya." Bu Ida sengaja melihat foto yang terpajang di dinding, belakang kasir. Foto keluarga lengkapnya. Di sana suami memakai pakaian dinas tentara lengkap.

"Anu, emm, kami cuma cari Rahma. Mana dia?” Tampang suami Bu Ida yang sangar, dengan bodi tinggi besar, berkumis tebal, dan mata seakan melotot penuh membuat ibu mertua Rahma sontak menelan air liur yang mendadak kering. Ia lupa Bu Ida bisa saja bertindak tegas padanya.

Wanita berpakaian tabrak warna terang ; merah kuning hijau biru bercampur jadi satu itu jadi menahan diri bicara lagi. Ia juga menyikut dua anak gadisnya yang masih menggerutu.

"Kalau mau bicara baik-baik silakan duduk dulu. Kalau tidak, silakan pulang.”

“Yang pasti kami tidak mau pulang sebelum lihat muka orang yang sudah melukai Harlan, Bu. Coba Ibu ada di posisi saya. Ibu dari anak laki-laki yang ditusuk," suara Bu Mira sedikit tertekan.

“Baik. Kalau begitu kita buatkan janji pertemuan saja, kapan bisa bicara antar keluarga. Saya akan menjadi pihak yang turut mewakili Mbak Rahma,” kata Bu Ida dengan suara tenang.

Hesti, salah satu adik perempuan Harlan tak terima kalimat Bu Ida. “Kenapa Ibu mau membelanya? Apa Ibu tau, masku ditusuk sampai luka dalam loh.”

“Hu’uh, nih, aneh banget warga sini kok mau-maunya melindungi pembunuh!" tambah Hasna, adik bungsu Harlan.

"Apa maksudnya dengan pembunuh? Kalian pasti tau, Mbak Rahma melakukan itu karena ada alasannya."

"Lah, alasan apa Bu? Si Rahma itu sudah pasti mau bunuh Harlan, anak saya! Apa maksud coba nusuk orang kalau bukan mau bunuh?" Bu Mira mendukung ucapan kedua putrinya.

"Ya, bener tuh! Katanya istri tentara, masa gitu aja nggak tau!" desis Hesti pelan sambil membuang muka.

“Panggil aja keluar tuh si Rahma. Panggil juga RT sini, biar sekalian bantu tangkap warganya yang jahat itu!” Bu Mira melihat ke arah pintu dalam, sengaja memperbesar suaranya lagi berharap Rahma keluar karena takut.

Keponakan Bu Ida tergopoh kembali ke depan, langsung melayani tiga orang pembeli yang menunggu karena dengar keributan di dalam. Bu Ida tak mungkin menyuruhnya memanggil ketua RT ke sini, maka ia pun beranjak mengambil ponsel.

“Sebentar lagi RT datang, silakan nanti bicara,” ujarnya setelah menutup panggilan.

Kalimat itu hanya dijawab gemerincing gelang di tangan Bu Mira.

Bu Ida meninggalkan mereka, membantu melayani pembeli setelah menaruh suguhan air minum kemasan di meja tamu. Bagi Bu Ida, ia sangat tidak setuju jika Rahma dituduh sebagai pembunuh, apalagi mau diproses hukum. Tindakan Rahma spontan, akibat rasa sakit hati luar biasa melihat perbuatan suami dan adiknya. Ia yakin itu, dan siap jadi saksi jika benar kasus ini masuk ke pengadilan.

Ia amat mengenal pribadi Rahma yang baik, ramah, dan pekerja keras. Meski penampilan memang terkesan cuek apa adanya, tapi jiwa keibuan Rahma tinggi.

Rahma rela menggowes sepeda jarak jauh di Kota ini, terkadang malah sambil gendong Azka, buat apa? Ya, demi bantu mencari rupiah. Apalagi setelah Harlan menganggur. Tetangga sekitar, termasuk Bu Ida menjadi saksi beratnya hidup Rahma.

Rahma dan Harlan menempati rumah jalan Salak nomor 17 itu sejak awal menikah—sekitar enam tahun lalu. Harlan awalnya bekerja di sebuah perusahaan swasta, sementara Rahma jualan pakaian dari rumah ke rumah, juga ke kantor-kantor. Setelah punya anak Rahma sambil buka warung kecil-kecilan, dan beberapa bulan terakhir karena kurangnya modal warung Rahma pun menjadi pembantu.

Kesusahan Rahma dimulai saat toko emas milik Bu Mira di Pasar Besar bangkrut, bersamaan itu bapak mertua juga meninggal. Lantas keuangan Harlan mulai diminta sang ibu dan adik-adiknya. Padahal uang yang ada adalah hasil kerja Rahma.

Rahma belum pernah mengeluh banyak, Bu Ida tahu semua dari teman-teman, juga melihat sendiri kerasnya perjuangan hidup perempuan muda itu.

Setelah rela menahan rasa tertekan, dan berjuang keras untuk beli susu dan makan anaknya, pastilah kekecewaan Rahma berlipat-lipat mendapati perselingkuhan menghebohkan tadi siang.

“Ya ampuuun, sampai kapan kita dikacangin gini, sih? Mana si Rahma itu, biar keluar sini! Sembunyi aja beraninya!”

Suara Hesti yang cukup keras mengembalikan ingatan Bu Ida akan ketiga tamunya di dalam. Beruntung hal itu bertepatan dengan datangnya dua motor yang membawa Pak RT dan dua bapak lain masuk pekarangan.

Bu Ida langsung persilakan mereka masuk.

Suasana kembali panas saat tiga wanita bermulut bebek itu protes, merasa warga tidak memihak Harlan yang menjadi korban.

“Harusnya pengurus RT ini langsung lapor polisi untuk tangkap Rahma itu! Bukannya disembunyikan!”

"Sekali lagi saya katakan, Mbak Rahma lakukan itu karena refleks, Bu Mira. Kenapa tidak Ibu sekalian yang lapor? Biar jelas di sana nanti bagaimana runut kejadian tadi?” tantang RT yang membuat mulut Bu Mira ternganga.

Sebenarnya ia takut juga kalau berhubungan dengan pihak berwajib. Karena menurut orang-orang putranya itu tertangkap basah di kamar bersama Safea. Salah-salah bisa malah berbalik menjerat Harlan nantinya.

“Tetap aja yang salah perempuan jelek itu, Pak. Nggak becus jaga laki! Makanya Mas Harlan mau lirik cewek lain! Ya, semua salah di dia lah!” Hesti tak terima mamanya dibuat mati kutu.

“Kan saya bilang, kalau Ibu dan mbak-mbak ini mau bawa ke ranah hukum ya silakan sekarang saja laporkan. Biar pihak berwajib bertindak. Nanti akan kelihatan siapa yang paling bersalah."

Bu Mira dan dua putrinya jadi saling pandang.

“Jangan dulu deh, Pak.” Wanita bertubuh gempal itu melunak. “Maksud kami ke sini cuma mau si Rahma itu minta maaf, ganti rugi biaya berobat! Warga tidak perlu ikut campur dengan menyembunyikannya. Keributan kami ini karena warga juga yang membela Rahma itu!”

“Nah, jika memang mau diselesaikan secara kekeluargaan artinya Ibu dan mbak-mbak tidak boleh mau main hakim sendiri di lingkungan kami, karena saya pasti bisa bertindak melaporkan kalian."

“I-iya, Pak ... selesaikan kekeluargaan saja.” suara Bu Mira melunak.

“Baik. Kalau begitu, kita sepakati buat pertemuan keluarga dulu, bicara antara keluarga Ibu dan keluarga Mbak Rahma. Bagaimana, Bu Mira? Mbak?"

“Setuju aja lah, Pak. Tapi warga harus ingat anakku luka. Mereka harus diceraikan! Rahma juga harus ganti rugi semua biaya pengobatan Harlan! Itu tuntutan kami, Pak. Bapak harus dukung kami sebagai korban,” pungkas Bu Mira panjang lebar.

"Itu kita bicarakan bersama nanti, Bu Mira."

"Saya juga mau warga sini jangan memihak dengan satu orang saja. Harlan pasti juga ada alasannya begitu. Bukan cuma si Rahma yang berbuat ada alasan!" ulang Bu Mira yang berharap putranya dianggap sebagai korban.

"Bener tuh, Pak. Yang korban siapa yang sehat-sehat saja siapa? Kan kelihatan." Hesti menyibak rambut panjang licin yang jatuh ke wajahnya.

"Hum, masa pada nggak lihat? Punggung Mas Harlan luka parah, tuh. Awas aja kalo pada pura-pura nggak tau?"

"Sudah. Ayo kita pulang!" Bu Mira berdiri memutuskan kalimat Hasna. Wanita berperhiasan banyak itu menarik tangan dua putrinya keluar rumah tanpa salam. Menyisakan tarikan napas panjang, dan gelengan kepala empat orang yang masih duduk di kursi tamu, termasuk Bu Ida.

"Ternyata ada manusia yang merasa paling benar sendiri?" gumam Pak RT tak habis pikir.

Gaya bicara dan sikap Bu Mira tampak nyata menjadi contoh buruk yang diikuti anak-anaknya. Benarlah ternyata, kualitas tanggung jawab Harlan sebagai lelaki dan suami terbentuk dari cetakan pertama yang membentuk. Ibunya.

Bersambung ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status