Telah resmi ketuk palu perceraian tidak membuat Rahma lepas dari bayang buruknya sikap mantan suami.'Asal kamu tau, adikmu itu gak sebaik yang kalian kira. Coba mikir, mikiir, masa baru sebulan sama aku perutnya sudah mblendung buncit? Gobl*k memang kalian semua!'Di hari putusan sidang, malam-malam Harlan menelepon Rahma hanya untuk bilang itu. Manusia tidak punya hati! Sudah menghancurkan Safea dia juga merendahkannya seolah sampah tidak berguna.Rahma menyampaikan perkataan buruk dan sikap lelaki itu pada ibunya, tetapi justru tak mendapat respons. Tami malah membela Harlan yang berniat baik, mau bertanggungjawab atas kehamilan Safea.“Sebaiknya Ibu pikir lagi melanjutkan pernikahan Safea-” "Kenapa kamu yang repot Rahma?! Urus saja hidupmu sampai benar dulu!"“Bu, selain ini memalukan. Safea masih ada kesempatan perbaiki kesalahannya agar lebih baik. Menikahi Mas Harlan justru akan membuatnya makin nggak bener.”“Kamu yang sudah buat semua ini lebih tidak benar! Coba pikir, ini a
“Syukurlah kakinya gak apa-apa ya Bos. Aku sempat kira patah semalam.” Lelaki gemuk bicara sambil melihat pria gondrong di sebelahnya yang tengah mengusap wajah.“Motornya enggak rusak parah, kan?” Pria bernama Dimas itu menepuk bahu pegawai sekaligus temannya.“Gak sih, langsung ke bengkel tadi. Sudah bisa hidup, tapi nanti cek lagi.”“Ya sudah, tinggalin aja aku, thanks udah bawa baju gantinya. Biar aku urus semua sampai beres dulu di sini.”“Siap, Bos.” Lelaki itu memberi hormat layaknya pada komandan, tapi sudut bibirnya terangkat. “Perhatian banget, awas pake hati loh.”Ucapannya segera mendapat hadiah toyoran di dahi. Bukannya marah lelaki berwajah jenaka itu malah terkikik geli.“Mbaknya manis banget kayak gula,” desisnya sebelum beranjak. Lalu tawa lebar tanpa suara sembari gesit menjauh begitu melihat reaksi pria berjaket kulit mengepalkan tangan ke arahnya.Sepeninggal temannya Dimas pun masuk rawat. Sedikit terkejut ia melihat wanita di bed sudah duduk sambil melihat baluta
Setengah sepuluh dokter masuk ke ruangan, perbolehkan Rahma pulang dengan terlebih dahulu menebus resep untuk diminum selama masa penyembuhan.Dimas membayar semua, sekalian biaya rawat.Rahma pasrah, uang gaji kemarin sudah ia masukkan ke rekening, di dompet hanya tiga lembar merah.“Berapa semua?”Lelaki itu terpaksa perlihatkan jumlah tertera, karena Rahma memaksa. "Ini saya simpan ya, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya.""Tolong jangan formal sama aku, Rahma. Kamu ngejek karena aku kelihatan tua, kan?""Bukan begitu, Pak-""Aku belum menikah dan merasa insecure kalau dipanggil begitu. Tolong sebut Dimas saja. Ok?"Mengernyit kening Rahma pun akhirnya mengiyakan. Mereka meninggalkan rumah sakit menggunakan mobil Dimas. Rahma menyebut jalan arah rumah yang akan dituju. Dia akan mampir sebentar mengabarkan musibah ini pada majikan, sekaligus menyelesaikan urusannya dengan Dimas.“Tunggu sebentar ya, Dimas,” kata Rahma saat mobil berhenti di depan rumah luas berpagar besi warna
Dari sedan merah itu turun seorang lelaki berkacamata hitam, lalu gadis berambut sebahu bersamaan dari pintu sebelahnya. Dua orang tersebut langsung melihat Dimas dari atas sampai bawah. Penampilan sekilas urakan membuat dua pasang mata itu menyipit. Sinarnya meremehkan orang yang sedang dipandang.Dimas melangkah mendekat dengan sikap santun. “Maaf, apa Mas sama Mbak keluarganya Rahma?” Pertanyaan itu dibalas tatapan sinis dua orang yang langsung melihat arah Rahma, terhenti pada kaki dan tangan wanita itu yang terbalut perban.Tak mau membiarkan sesuatu terjadi, Rahma segera mendekat, mengabaikan nyeri kakinya yang dipaksa melangkah cepat.“Ngapain ke sini?” tanyanya pada lelaki bopeng yang tak lain adalah Harlan.“Ngapain, kamu bilang? Cih! Ini rumahku!” sergah Harlan kasar.Dimas terdiam, memerhatikan konflik itu. Ia merasa tidak nyaman berada di tengah mereka yang sepertinya punya masalah pribadi.“Kamu itu sudah bukan istri kakakku lagi, nggak malu apa tinggal di rumah orang?”
Harlan ribut menuding Rahma berselingkuh dengan Dimas.“Maaf bapak-bapak, omongan orang ini kacau. Jangan percaya. Saya ini bertanggung jawab setelah mobil saya menabrak Mbak Rahma, kami baru kenal,” jelas Dimas.Bagaimana tidak, alasan Harlan mendua karena membalas sakit hati Rahma yang lebih dulu mengkhanatinya dengan Dimas, lelaki yang dijulukinya si Gembel atau si Preman. Mungkin melihat penampilan lelaki gondrong itu yang membuatnya menilai demikian.“Tenang aja, Mas. Kita tau kok gimana suaminya Rahma itu.” Seorang bapak menenangkan Dimas, lalu sedikit bertanya mengenai kejadian kecelakaan yang dimaksud.“Syukurlah mas bertanggungjawab, Mbak Rahma ini sedang banyak masalah. Kasihan. Dalam waktu berdekatan dia itu kena musibah berturut-turut, Mas,” timpal ibu lain sembari ceritakan masalah Rahma beberapa waktu ke belakang.Dimas tercekat mendengarnya. Hati nuraninya bergetar.'Inilah jawaban dari tatapan kosongnya …?'Di balik itu, ia merasa kagum. Tergambar jelas betapa sosok R
Sejak tadi Dimas mau bertanya ke mana arah mereka tuju sekarang, tapi Rahma yang sebelumnya tegar, begitu mobil menjauh dari rumahnya langsung terisak sampai sesenggukan. Bahunya berguncang terlihat begitu menyakitkan apa yang ia rasa saat ini.Dimas mengatup mulut rapat membiarkan wanita itu mengeluarkan semua beban dalam tangisnya. Ia tidak bisa apa-apa, hanya terbawa sendu suasana dengan sengaja menginjak gas perlahan. Saat tidak tahu akan ke mana arah mereka, ia mengemudi berputar dua kali di jalan raya yang sama.Jiwa lelakinya ingin sekali melindungi wanita di sebelahnya ini, tapi tertahan karena mereka belum 24 jam mengenal. Seandainya sudah akrab, ingin sekali Dimas merelakan bahu tempat Rahma bersandar membagi beban.“Hm, Rahma, ini mau aku antar ke mana?” Dimas baru membuka suara setelah Rahma tampak sudah menguasai diri. “… mm-maaf, ya,” ucap Rahma menyadari dirinya sudah membuat lelaki di sebelahnya ini bingung. “Aku sebenarnya belum tau akan ke mana … bisakah kau carikan
“Lega Sayang akhirnya kita resmi jugaaa ….” Tangan Harlan tak mau lepas dari pinggang istri barunya yang tengah membersihkan wajah dengan susu pembersih.“Beneran ya, Mas Har, janjinya.” Bibir sudah bebas lipstick itu manyun dua senti, ingin memastikan janji lelaki ini akan ditepati. Harlan yang gemas segera menyerang bibir Safea dengan mulut lebar miliknya.“Mmmh, ugh, sabar dong, Mas ....” Perempuan berwajah imut itu mendorong dadanya sampai mundur. “Janjinya?”“Iya, iya. Kamu tenang aja, itu semua gampang kalau mas tamvanmu ini yang urus.” Harlan menepuk dada.“Awh ….” Bibir kembali diterkam singa jantan itu, Safea jadi mengaduh berkali-kali.Harlan mengangkat tubuhnya sedikit melemparkan ke peraduan empuk. Lelaki itu berubah buas saat melihat sosok menggoda mata yang kini resmi jadi miliknya. Seorang istri yang bebas ia sentuh kapan saja saat suka.Tercapai sudah rasa ingin memiliki perempuan berisi itu secara utuh. Namun, puluhan menit kemudian usai terkulai lemas, dalam hati H
“Iya, Ra, kita makan bareng. Jarang-jarang lho Jay bawa makanan ke sini,” goda Dini inisiatif mengurai suasana yang kaku, ia berpura tak menyadari salah tingkah keduanya. “B-baiklah, Mbak, saya cuci tangan dulu." Rahma melangkah menuju wastafel, lalu sigap mengambil mangkuk dan sendok dibawa ke meja makan.Rahma mulai memindahkan makanan masih panas itu dari plastik ke dalam mangkuk.“Nadia belum pulang les?” Dimas juga sudah cuci tangan, kembali menarik kursi sambil memandangi tangan Rahma yang menyiapkan makanan.“Belum, seperempat jam lagi aku jemput. Habis makan inih,” tunjuk Dini pada isi mangkuknya yang sudah siap disantap.“Saos, kecapnya, Mbak Dini?”“Oh iya lupa, makasih ya, Ra. Kamu jangan segan sama aku, Ra, pake aku aja. Kalau saya kesannya terlalu formal kitanya,” alasan Dini, membuat suasanan jadi lebih akrab.“Iya Mbak Dini aja. Bisa.”"Gitu dong."Mereka mulai menyantap mie ayam yang masih hangat sambil ngobrol ringan.Diam-diam Dimas suka melihat dua perempuan itu su