Telah resmi ketuk palu perceraian tidak membuat Rahma lepas dari bayang buruknya sikap mantan suami.
'Asal kamu tau, adikmu itu gak sebaik yang kalian kira. Coba mikir, mikiir, masa baru sebulan sama aku perutnya sudah mblendung buncit? Gobl*k memang kalian semua!'Di hari putusan sidang, malam-malam Harlan menelepon Rahma hanya untuk bilang itu. Manusia tidak punya hati! Sudah menghancurkan Safea dia juga merendahkannya seolah sampah tidak berguna.Rahma menyampaikan perkataan buruk dan sikap lelaki itu pada ibunya, tetapi justru tak mendapat respons. Tami malah membela Harlan yang berniat baik, mau bertanggungjawab atas kehamilan Safea.“Sebaiknya Ibu pikir lagi melanjutkan pernikahan Safea-”"Kenapa kamu yang repot Rahma?! Urus saja hidupmu sampai benar dulu!"“Bu, selain ini memalukan. Safea masih ada kesempatan perbaiki kesalahannya agar lebih baik. Menikahi Mas Harlan justru akan membuatnya makin nggak bener.”“Kamu yang sudah buat semua ini lebih tidak benar! Coba pikir, ini awal mulanya siapa memulai? Kamu kan? Kamu yang buat keributan! Safe terlanjur cinta sama Harlan karena kebodohanmu! Kalau kamu pintar jadi istri sudah pasti tidak ada kejadian begini."Nanar mata Rahma membalas tatapan tajam ibunya.Dalam kilat mata tua itu menyimpan amarah besar. Anak gadis kesayangan hancur dan suami yang tanpa riwayat jantung pun meninggal mendadak. Semua terjadi karena Rahma. Dia sangat membenci sulungnya ini sekarang!“Kalau Ibu sayang Safea, harusnya Ibu pikir laki-laki seperti apa-”“Berani mengaturku?! Sementara kamu tidak lihat dirimu sendiri? Ngaca gimana kehidupanmu, Rahmanida!” “Bu-”“Tutup mulutmu mulai detik ini! Dan ingat, jangan pernah samakan diri kamu dan nasib kamu dengan Safea ….”Telinga Rahma kemudian memanas! Wanita yang melahirkannya itu mulai membandingkan dirinya dengan sang adik.Penampilan Safea memang begitu imut, menyenangkan siapa pun memandang, belum lagi suara manjanya membuat perasaan gemas. Menurut ibunya, siapapun suami Safea kelak, jangankan membentak mungkin marah saja tidak akan tega. Berbeda dengan Rahma yang dianggap layak dibuang.Penilaian ibunya yang berlebihan itu membuat hati Rahma nyeri sekaligus hampir tertawa.“Kalau sama laki-laki lain mungkin iya bisa sesayang itu pada Safea, Bu. Tapi Rahma sangsi itu dilakukan Mas Harlan!” Tak peduli ucapannya membuat sang ibu membelalak dan mengusirnya pergi, Rahma langsung gegas ke halaman depan. “Azka, yuk kita pulang.” Anak lelaki itu tengah asyik berkumpul dengan cucu-cucu saudara ibunya.“Enggak … Aka macih mau main.”“Biarkan Azka di sini! Pedulikan dirimu saja! Wong nanti papanya juga datang. Kalau sebaiknya pergi sana, daripada bikin ribut!”Mobil merah masuk halaman.'Ini sudah malam, ngapain Mas Harlan ke sini?' “Azka, ayo pulang sama mama.” Rahma memegang tangan Azka. Setengah jam lagi waktu Azka untuk tidur, sementara sekarang suasana rumah Tami masih ramai orang. Kalau kurang istirahat Azka biasanya rewel esok harinya."Gak mau!" Azka menggeleng keras, menepis tangan Rahma lalu lari memegang baju neneknya."Jangan buat ibu mengusirnya kasar, Rahma!" Tami memelototi."Pergi saja kamu sendiri! Jangan bikin ribut di sini!" Harlan bersuara sambil berkacak pinggang. Dia berdiri di sebelah Tami. “Baiklah." Tarikan napas panjang Rahma menenangkan hati sendiri. “Bu, nanti kalau Azka nggak bisa tidur tolong telepon aku,” katanya kemudian sembari memberi tangan untuk disalim bocah Azka."Pintar sama nenek ya, Nak."“Ya, Mama.”Rahma meninggalkan rumah, dimana beberapa saudara jauh telah berkumpul membantu siapkan pernikahan Safea dua hari lagi.Mekipun sederhana pernikahan ini akan dihadiri keluarga terdekat. Ada yang pro ada pula kontra, tapi demi Safea yang mengancam mati saja jika pernikahannya batal, maka tidak ada pilihan lain selain mendukung.Rahma memasang helm, menutup kacanya agar tak ada yang melihat pipinya telah basah. Rasa sakit yang Rahma rasa bukan karena cemburu. Bukan. Itu lebih pada rasa kasihan untuk keluarganya. Hatinya sangsi Harlan benar-benar mencintai dan bertanggung jawab pada Safea.Namun ia bisa apa, adiknya itu pun menutup mulut rapat setiap ia bertanya. Seolah tubuhnya tak terlihat dan suaranya tak terdengar sedikit pun. Perut Safea memang terlihat mulai membuncit, menurutnya itu usia kehamilan di atas tiga bulan.Sambil melaju Rahma istighfar untuk menenangkan diri. Yang penting ia sudah berusaha menjelaskan, jika tak sesuai harapan ia harap Safea dan ibunya tidak akan menyesali.Motor pinjaman dari majikan ini dipacu dalam kecepatan sedang.Sepulang kerja tadi ia ke sana bermaksud untuk menjemput Azka. Sebelumnya Azka memang bersamanya dan dibawa saat bekerja, tapi Tami protes dan minta cucunya itu tinggal di rumah. Waktu itu Tami diantar seorang saudara mengambil Azka saat bersamanya di rumah majikan.Rahma sebenarnya tak keberatan, sebab di rumah majikan Azka sering naik turun tangga sampai pernah jatuh karena tidak bisa diam. Sementara di rumah ibunya Azka senang punya banyak teman. Ibunya telaten memerhatikan cucu. Setidaknya itu aman. Tetangga di lingkungan rumah Tami juga semua baik. Hanya perasaan Rahma yang semakin berat jadi sering ke sana. Jika berhadapan muka dengan ibu sudah pasti ada saja pemancing kekecewaan sang ibu padanya, atau bertemu Harlan dan Safea adalah hal yang membuat luka hatinya meradang.Tit! Tittttt!Klakson melengking dari mobil yang menyenggol belakang motor Rahma, dia terpelanting ke kiri, motornya pun rebah di atas tubuhnya.“Oghh!” Tubuhnya tidak bisa mengangkat kuda besi di atas badan, hanya bisa meringis berusaha akan duduk.“Maaf, Mbak. Mbak nggak apa-apa?” Suara panik seorang pria gondrong yang keluar dari pintu balik kemudi. Diikuti lelaki bertubuh agak tambun.Motor yang menindih kaki kiri Rahma mereka angkat.Rahma memegang lengan kirinya yang berdenyut pedih.“Kita ke rumah sakit, Mbak, ayo!” Pria gondrong membantunya berdiri.“Ng-nggak usah Mas, nggak apa-apa kok.“ Penolakan Rahma sia-sia, tubuhnya sudah diangkat. Darah di kaki dan tangan menandakan keadaannya tidak baik-baik saja.Tubuh Rahma didudukkan samping supir.“Hati-hati kakinya.”Rahma tak bisa berkata apa-apa lagi, tubuhnya gemetar akibat syok dan rasa sakit yang kian kuat.“An, kamu tunggu motor mbaknya di sini, telepon Bejo suruh jemput pakai pikap." Sambil menutup pintu sebelah Rahma lelaki gondrong bicara pada rekannya."Ya, Bos. Hati-hati di jalan," sahut pria gembul."Besok pagi bawa ke bengkel Adul, An.""Ya, Bos!"“Syukurlah kakinya gak apa-apa ya Bos. Aku sempat kira patah semalam.” Lelaki gemuk bicara sambil melihat pria gondrong di sebelahnya yang tengah mengusap wajah.“Motornya enggak rusak parah, kan?” Pria bernama Dimas itu menepuk bahu pegawai sekaligus temannya.“Gak sih, langsung ke bengkel tadi. Sudah bisa hidup, tapi nanti cek lagi.”“Ya sudah, tinggalin aja aku, thanks udah bawa baju gantinya. Biar aku urus semua sampai beres dulu di sini.”“Siap, Bos.” Lelaki itu memberi hormat layaknya pada komandan, tapi sudut bibirnya terangkat. “Perhatian banget, awas pake hati loh.”Ucapannya segera mendapat hadiah toyoran di dahi. Bukannya marah lelaki berwajah jenaka itu malah terkikik geli.“Mbaknya manis banget kayak gula,” desisnya sebelum beranjak. Lalu tawa lebar tanpa suara sembari gesit menjauh begitu melihat reaksi pria berjaket kulit mengepalkan tangan ke arahnya.Sepeninggal temannya Dimas pun masuk rawat. Sedikit terkejut ia melihat wanita di bed sudah duduk sambil melihat baluta
Setengah sepuluh dokter masuk ke ruangan, perbolehkan Rahma pulang dengan terlebih dahulu menebus resep untuk diminum selama masa penyembuhan.Dimas membayar semua, sekalian biaya rawat.Rahma pasrah, uang gaji kemarin sudah ia masukkan ke rekening, di dompet hanya tiga lembar merah.“Berapa semua?”Lelaki itu terpaksa perlihatkan jumlah tertera, karena Rahma memaksa. "Ini saya simpan ya, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya.""Tolong jangan formal sama aku, Rahma. Kamu ngejek karena aku kelihatan tua, kan?""Bukan begitu, Pak-""Aku belum menikah dan merasa insecure kalau dipanggil begitu. Tolong sebut Dimas saja. Ok?"Mengernyit kening Rahma pun akhirnya mengiyakan. Mereka meninggalkan rumah sakit menggunakan mobil Dimas. Rahma menyebut jalan arah rumah yang akan dituju. Dia akan mampir sebentar mengabarkan musibah ini pada majikan, sekaligus menyelesaikan urusannya dengan Dimas.“Tunggu sebentar ya, Dimas,” kata Rahma saat mobil berhenti di depan rumah luas berpagar besi warna
Dari sedan merah itu turun seorang lelaki berkacamata hitam, lalu gadis berambut sebahu bersamaan dari pintu sebelahnya. Dua orang tersebut langsung melihat Dimas dari atas sampai bawah. Penampilan sekilas urakan membuat dua pasang mata itu menyipit. Sinarnya meremehkan orang yang sedang dipandang.Dimas melangkah mendekat dengan sikap santun. “Maaf, apa Mas sama Mbak keluarganya Rahma?” Pertanyaan itu dibalas tatapan sinis dua orang yang langsung melihat arah Rahma, terhenti pada kaki dan tangan wanita itu yang terbalut perban.Tak mau membiarkan sesuatu terjadi, Rahma segera mendekat, mengabaikan nyeri kakinya yang dipaksa melangkah cepat.“Ngapain ke sini?” tanyanya pada lelaki bopeng yang tak lain adalah Harlan.“Ngapain, kamu bilang? Cih! Ini rumahku!” sergah Harlan kasar.Dimas terdiam, memerhatikan konflik itu. Ia merasa tidak nyaman berada di tengah mereka yang sepertinya punya masalah pribadi.“Kamu itu sudah bukan istri kakakku lagi, nggak malu apa tinggal di rumah orang?”
Harlan ribut menuding Rahma berselingkuh dengan Dimas.“Maaf bapak-bapak, omongan orang ini kacau. Jangan percaya. Saya ini bertanggung jawab setelah mobil saya menabrak Mbak Rahma, kami baru kenal,” jelas Dimas.Bagaimana tidak, alasan Harlan mendua karena membalas sakit hati Rahma yang lebih dulu mengkhanatinya dengan Dimas, lelaki yang dijulukinya si Gembel atau si Preman. Mungkin melihat penampilan lelaki gondrong itu yang membuatnya menilai demikian.“Tenang aja, Mas. Kita tau kok gimana suaminya Rahma itu.” Seorang bapak menenangkan Dimas, lalu sedikit bertanya mengenai kejadian kecelakaan yang dimaksud.“Syukurlah mas bertanggungjawab, Mbak Rahma ini sedang banyak masalah. Kasihan. Dalam waktu berdekatan dia itu kena musibah berturut-turut, Mas,” timpal ibu lain sembari ceritakan masalah Rahma beberapa waktu ke belakang.Dimas tercekat mendengarnya. Hati nuraninya bergetar.'Inilah jawaban dari tatapan kosongnya …?'Di balik itu, ia merasa kagum. Tergambar jelas betapa sosok R
Sejak tadi Dimas mau bertanya ke mana arah mereka tuju sekarang, tapi Rahma yang sebelumnya tegar, begitu mobil menjauh dari rumahnya langsung terisak sampai sesenggukan. Bahunya berguncang terlihat begitu menyakitkan apa yang ia rasa saat ini.Dimas mengatup mulut rapat membiarkan wanita itu mengeluarkan semua beban dalam tangisnya. Ia tidak bisa apa-apa, hanya terbawa sendu suasana dengan sengaja menginjak gas perlahan. Saat tidak tahu akan ke mana arah mereka, ia mengemudi berputar dua kali di jalan raya yang sama.Jiwa lelakinya ingin sekali melindungi wanita di sebelahnya ini, tapi tertahan karena mereka belum 24 jam mengenal. Seandainya sudah akrab, ingin sekali Dimas merelakan bahu tempat Rahma bersandar membagi beban.“Hm, Rahma, ini mau aku antar ke mana?” Dimas baru membuka suara setelah Rahma tampak sudah menguasai diri. “… mm-maaf, ya,” ucap Rahma menyadari dirinya sudah membuat lelaki di sebelahnya ini bingung. “Aku sebenarnya belum tau akan ke mana … bisakah kau carikan
“Lega Sayang akhirnya kita resmi jugaaa ….” Tangan Harlan tak mau lepas dari pinggang istri barunya yang tengah membersihkan wajah dengan susu pembersih.“Beneran ya, Mas Har, janjinya.” Bibir sudah bebas lipstick itu manyun dua senti, ingin memastikan janji lelaki ini akan ditepati. Harlan yang gemas segera menyerang bibir Safea dengan mulut lebar miliknya.“Mmmh, ugh, sabar dong, Mas ....” Perempuan berwajah imut itu mendorong dadanya sampai mundur. “Janjinya?”“Iya, iya. Kamu tenang aja, itu semua gampang kalau mas tamvanmu ini yang urus.” Harlan menepuk dada.“Awh ….” Bibir kembali diterkam singa jantan itu, Safea jadi mengaduh berkali-kali.Harlan mengangkat tubuhnya sedikit melemparkan ke peraduan empuk. Lelaki itu berubah buas saat melihat sosok menggoda mata yang kini resmi jadi miliknya. Seorang istri yang bebas ia sentuh kapan saja saat suka.Tercapai sudah rasa ingin memiliki perempuan berisi itu secara utuh. Namun, puluhan menit kemudian usai terkulai lemas, dalam hati H
“Iya, Ra, kita makan bareng. Jarang-jarang lho Jay bawa makanan ke sini,” goda Dini inisiatif mengurai suasana yang kaku, ia berpura tak menyadari salah tingkah keduanya. “B-baiklah, Mbak, saya cuci tangan dulu." Rahma melangkah menuju wastafel, lalu sigap mengambil mangkuk dan sendok dibawa ke meja makan.Rahma mulai memindahkan makanan masih panas itu dari plastik ke dalam mangkuk.“Nadia belum pulang les?” Dimas juga sudah cuci tangan, kembali menarik kursi sambil memandangi tangan Rahma yang menyiapkan makanan.“Belum, seperempat jam lagi aku jemput. Habis makan inih,” tunjuk Dini pada isi mangkuknya yang sudah siap disantap.“Saos, kecapnya, Mbak Dini?”“Oh iya lupa, makasih ya, Ra. Kamu jangan segan sama aku, Ra, pake aku aja. Kalau saya kesannya terlalu formal kitanya,” alasan Dini, membuat suasanan jadi lebih akrab.“Iya Mbak Dini aja. Bisa.”"Gitu dong."Mereka mulai menyantap mie ayam yang masih hangat sambil ngobrol ringan.Diam-diam Dimas suka melihat dua perempuan itu su
“Telepon siapa, Ra?” Saat bersiap ke kantor Dini melihat Rahma menarik napas panjang usai menutup telepon. Ia baru mengaktifkan ponsel dan menelepon seseorang.“Habis telepon Ibu, Mbak. Anakku katanya lagi kurang sehat. Aku mau pulang pagi ini, Mbak Dini."“Iya nggak apa, Ra. Semoga anakmu cepat sehat." Dini menyentuh pundak Rahma, memberikan dukungan kalau ia pasti bisa melewati semua."Aamiin. Makasih banyak ya Mbak. Kebaikan Mbak Dini nggak akan saya lupakan seumur hidup.""Jangan berlebihan. Justru kamu yang banyak bantu mbak. Mbak akan kangen nggak ada teman ngobrol lagi. Pokoknya jangan marah kalau mbak minta Dimas jemput kamu buat ke sini. Bawa Azka juga tentunya, hum?"Rahma mengulas senyum haru. “Aku juga akan kangen sama Mbak Dini.""Nunggu Jay dulu Ra buat anterin.”“Enggak usah, Mbak Din. Aku naik taksi online saja. Bisa minta nomernya kalau mbak Dini punya langganan?”Rahma belum pernah naik taksi daring sebelumnya. Ia terbiasa pakai sepeda, atau angkutan umum.“Nanti ak