Share

3

Edo berulangkali mencari posisi yang pas agar matanya bisa terpejam, jam dua dini hari, artinya beberapa jam lagi waktu subuh akan datang.

Percakapan dengan wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Anita itu masih terngiang-ngiang sampai saat ini.

"Pekerjaan? Mbak serius?" Dia menjawab antusias, Anita terseyum tipis. Lalu mengangguk mantap.

"Iya, pekerjaan, dengan gaji yang bisa kamu tuliskan berapa yang kamu mau."

Edo melebarkan matanya, apa yang dibicarakan wanita ini terdengar mustahil, tapi melihat kendaraan yang dimilki Anita, Edo tau wanita ini bukan orang sembarangan.

"Kalau boleh tau, apa pekerjaannya?" tanya Edo penuh semangat.

"Menjadi pacar pura-pura aku." Anita menjawab santai, dia berkata dengan enteng, sambil menghabiskan coklat panas yang tersisa.

Wajah semangat Edo berubah surut.

"Maaf, saya tak bisa."

"Alasanmu? Bukannya kau bilang tak punya pacar, tak pernah menikah, apalagi duda. Kenapa tak bisa?"

"Saya tak mau menjadi pembohong. Pacaran itu harus dengan hati."

Anita tertawa remeh, bahkan dia tak bisa menyembunyikan senyum gelinya sendiri.

"Hei, Edo. Kamu pikir aku lagi menembak kamu? Mikirnya kejauhan. Aku cuma butuh, pacar pura-pura, untuk kuperkenalkan pada ayahku, agar dia berhenti menjodohkan aku dengan laki-laki tak berguna itu. Faham, kan? Jadi jangan pikir, aku tertarik sama kamu." Anita menghabiskan tawanya.

Edo menunduk, wanita di depannya ini benar, dia hanya pengamen jalanan yang kebetulan bertemu dengan wanita kaya.

"Ini kartu nama aku, jika kamu berubah pikiran, jangan sungkan untuk menelpon." Jari lentik Anita menyodorkan kartu namanya ke hadapan Edo.

"Sebagai bahan pertimbangan, aku akan kasih DP sepuluh juta jika kamu setuju. Jika tidak, aku akan cari laki-laki lain." Anita bangkit, mengambil tas kecilnya, wanita itu menuju meja kasir dan membayar tagihan tanpa menoleh lagi ke belakang.

"Sepuluh juta? Banyak hal yang bisa dilakukan dengan uang sepuluh juta, salah satunya mendapatkan tempat tinggal yang layak," gumam Edo sendiri. Matanya mengamati tempatnya berdiam selama ini, bangunan dengan ukuran tak lebih dari dua kali tiga meter itu, terasa sesak dan pengap, dapur dan kamar mandi menyatu. Bahkan kasur yang ditidurinya berada persis di samping kompor.

Edo melihat Rini, adiknya, gadis kecil itu meringkuk memeluk dirinya sendiri di dekat Edo.

"Aku rasa, tawaran itu tidak buruk," gumam Edo lagi.

***

Edo mencocokkan alamat dengan gedung berlantai enam itu. Prima design, itu namanya, cocok dengan kartu nama yang dipegang oleh Edo.

Edo melangkah walau ragu, dia melewati pintu kaca dan langsung disambut oleh satpam. Edo tau, dia dipandang aneh oleh satpam itu, mungkin karena dia hanya memaki celana jins belel dan baju kaus yang warnanya telah pudar.

"Maaf, mau cari siapa, ya?"

Nada itu terkesan menyelidik. Langkah Edo terhenti.

"Saya disuruh menemui ini," sahut Edo sambil menyerahkan kartu nama milik Anita. Pria bertubuh gemuk itu memandang Edo dan kartu nama secara bergantian.

"Tunggu di sini! Siapa namamu?"

"Baik, Pak. Saya Edo."

Edo berdiri menunggu persis di dekat pintu kaca, tatapan heran dan ingin tau selalu mengarah padanya. Sebagian besar dari mereka berpakaian rapi dan modis. Ada juga berpakaian gaul, tapi baju yang digunakannya jelas barang bermerek.

"Mas sudah ditunggu, di lantai dua. Mas lihat saja ruangan yang pintunya memakai cat warna ungu muda."

"Makasih, Pak." Edo tersenyum semringah.

Dari pada mengunakan lift, Edo lebih memilih menggunakan tangga manual. Lantai dua itu ternyata berisi beberapa meja kerja yang orang-orangnya fukos dengan komputer masing-masing. Sama sekali tak mengacuhkan Edo.

Edo melihat, ada satu ruangan yang sama persis seperti yang dijelaskan oleh Pak Satpam. Pintu dengan cat ungu muda.

Edo mengetuk perlahan, terdengar sahutan dari dalam.

"Masuk!"

Tampaklah seorang wanita berkaca mata tengah sibuk mencoret-coret sebuah kertas yang dibentangkan di meja berukuran lebar.

"Permisi." Edo masuk dengan canggung.

Wanita itu mengenakan blezer biru laut dengan tanktop hitam di bagian dalam, dipadukan dengan celana dasar bewarna hitam. Rambutnya yang panjang bewarna cokelat tua diikat sebagian, dan sisanya menjuntai di punggung.

"Silahkan duduk! Aku tau kamu akan datang," kata Anita dengan senyum menang, dia menaruh pensil di tangannya di atas meja komputernya.

"Jadi, saya ingin tau, pekerjaan apa." Edo tak ingin berbasa-basi. Edo merasa, aura penguasa wanita di depannya cukup kuat, dia selalu menatap lawan bicara tepat di mata dan memberikan kesan intimidasi.

"Santai dulu, kamu mau minum apa?"

"Tidak usah."

Anita tersenyum tipis.

"Baik, saya akan jelaskan."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Moelyanach Moelyanach
suka, masih memantau tp biasanya bagus kak satu ini ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status