Anita menepikan mobilnya sebelum sampai ke sebuah rumah megah yang memiliki pagar tinggi menjulang. Sepanjang perjalanan, Anita tak berhenti-berhentinya mengoceh, bahkan Edo sampai pusing mendengarnya. Sejujurnya, dia tak nyaman dengan wanita yang cerewet.
"Kamu harus mengingat semua yang aku sampaikan barusan. Aku tak ingin pertemuan pertama malah kacau." Anita sebenarnya juga tak yakin, tapi apa salahnya dia mencoba, bukan?"Yang mananya?""Ya, ampun," Anita menatap Edo tak percaya."Banyak hal yang Mbak katakan, bagian mana yang harus saya ingat?""Semuanya. Jika ayahku bertanya, berapa lama kita telah berpacaran, apa yang akan kau jawab?""Dua tahun?""Apa pekerjaanmu?""Pengusaha hotel.""Di mana orangtuamu?""Di luar negri.""Nah, itu cukup." Anita menjawab puas. Itu yang paling penting. Aku yakin kau bukan pria yang bodoh, tak ada waktu lagi untuk bermain peran, ayo! Ingat, naikkan dagumu, kau adalah seorang pengusaha kaya yang memiliki usaha perhotelan. Nasibku ada di tanganmu sekarang. Ayo!"Edo tak kunjung bergerak. Dia bahkan melongo melihat megahnya rumah wanita ini."Kamu pacarku, bukan bodyguard, kenapa malah berjalan di belakang," kata Anita gemas, dia menarik tangan Edo, menggandengnya."Ingat, namamu Fernando Abraham. Oke?""Baik."Edo menghela nafas menahan gugup. Abraham, entah nama dari mana itu.***Jika ada kejadian yang menegangkan dibandingkan mengikuti tes pekerjaan, maka bertemu dengan ayah Anitalah yang paling menegangkan. Wajah tua itu, terlihat tegas, matanya memandang Edo dengan padangan menilai.Pria tua itu masih terlihat bugar dan sehat walaupun rambutnya telah memutih. Tak ada senyum, yang ada hanyalah tatapan datar dan tak terbantahkan."Jadi namamu Fernando?""Iya, Om."Laki-laki itu melirik anak gadisnya sendiri, lalu kembali memandang pada Edo."Jadi, kau bekerja di mana?""Saya memiliki hotel di Surabaya." Edo mengutuk dirinya sendiri yang tengah berbohong demi uang."Benarkah?" Wajah pria itu langsung berbinar. Dia mulai menunjukkan sikap bersahabat. Anita menghela nafas lega. Selalu sama, uang dan kekuasaan menjadi tolak ukur."Iya, Om.""Bagus." Laki-laki itu tersenyum puas. "Oh ya, akhir-akhir ini bisnis perhotelan mengalami guncangan, bagaimana denganmu? Apa hotelmu baik-baik saja.""Eng," sahut Edo kebingungan, dia melirik Anita meminta jawaban tapi malah dibalas dengan tatapan mengancam. Anita tak mengajarinya tengang ini."Hotel milik Fernando baik-baik saja, karena dia memiliki jaringan yang kuat," sahut Anita. Aniya yakin, sebentar lagi akan ada pertanyaan tak terduga.***Anita tak bisa menyembunyikan wajah kesalnya, dia telah membayar uang muka pada Edo, memberikan kartu kredit dan fasilitas lainnya. Tapi bagi dia yang sempurna, akting Edo tadi singgung mengecewakan. Bagaiamana bisa Edo menunjukkan wajah kebingungan saat dia dicecar pertanyaan oleh ayahnya? Seharusnya dia mencari cara untuk menjawab, bukan meminta pendapat padanya sambil menatap bodoh.Edo bukannya tidak tau, wanita yang tengah mengemudi di sampingnya itu sangat kesal. Tapi mau bagaimana lagi, Edo tak berbakat menjadi pembohong."Ayo turun!" katanya lebih dulu membuka pintu mobil. Edo mengiringi Anita berjalan ke sebuah kafe out door itu. Kafe cantik yang dikelilingi oleh taman bunga.Anita memilih duduk agak terpencil dari meja-maja yang agak ramai oleh tamu.Edo duduk di depannya. Bahkan dia tersenyum miris pad jam tangan mahal yang kata Anita nilainya mencapai belasan juta. Sebentar lagi benda itu akan dikembalikan pada Jenny.Anita menatapnya dingin, tanpa senyum. Apa pun itu, Edo siap menerima ungkapan ketidak puasan Anita."Aku tau, kamu takkan bisa melakukannya."Edo tak merespon, jika wanita itu tau dia memang tak bisa, kenapa mempercayakan kepura-puraan itu padanya? Aneh."Yang kuharapkan, kau menegakkan bajumu di depan ayahku, bukan menunduk seperti seperti bawahan yang berhadapan dengan atasan, astaga, apa itu tadi, kamu bertanya padaku melalui tatapanmu, dan saat itu ayahku langsung curiga. Ya ampun, semua telah selesai."Edo menaikkan wajahnya, dia tau semua orang kaya pada umumnya bersikap pongah dan sombong. Edo mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah amplop yang masih utuh, segelnya belum terbuka. Serta sebuah benda pipih kecil, yaitu kartu kredit."Saya kembalikan."Anita melotot, mulutnya menganga. Dia tau betul, amplop itu tersegel dengan baik."Sepeser pun, saya belum menggunakan uang Anda, belum menggunakan kartu kredit Anda. Saya kembalikan.""Hei, aku tidak bermaksud begitu." Anita memaksakan senyum kaku."Semua pakaian dan aksesoris akan saya kembalikan ke toko Mbak Jenny, permisi."Edo bangkit, meninggalkan Anita yang masih memandangnya tak percaya."Anak itu ... Apa dia pikir, Jenny akan menerima barang bekas pakai?"Anita semakin kesal."Sah."Suara saksi menggema memenuhi ruangan khusus di rumah Anita. Wanita itu sampai memejamkan matanya, seakan ada beban berat yang tengah menghinggapinya. Tak ada yang bahagia dengan pernikahan ini, tak ada yang tersenyum kecuali Rini. Gadis itu tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Dia terlalu lugu dan polos untuk memahami situasi. Bahkan, ayah dan ibu Anita, sama sekali tak membuka suara sejak tadi pagi, Taksa menunjukkan wajah tegang, Irma setia dengan kebungkamannya. Sedangkan Edo, tak sekalipun mengeluarkan kata-kata, kecuali kalimat sakral barusan.Tak ada resepsi, tak ada foto bersama, semua murni karena pernikahan yang dianggap sebagai penutup malu. Bahkan, ibunya dan Irma yang biasanya rajin memasak makanan, sepagi ini sama sekali tak menyentuh dapur. Lantunan doa yang dilafazkan penghulu, hanya diaminkan oleh beberapa orang. Tentu saja, siapa yang bahagia dengan pernikahan siri. Pernikahan terpaksa itu, hanyalah seremonial bagi keluarga Anita. Mereka berha
Dua anak manusia itu, memandang ke arah yang sama. Hamparan biru laut yang cerah sejernih langit, deburan teratur serta aroma garam yang tercium pekat. Mereka memutuskan untuk berhenti sebentar mendinginkan kepala yang panas. Setidaknya bisa bernafas dengan bebas setelah menahan hati selama diintrogasi.Anita masih dengan gaun merahnya, rambut yang disanggul tadi pagi sudah tak berbentuk. Sebagian masih berada di posisinya dan sebagian lagi telah lepas dari ikatannya. Besok? Mereka akan menikah besok, bukankah ini terlalu cepat? Bahkan Anita tak menduga akan secepat ini, dalam prediksinya, dia akan menikah dengan Edo, paling cepat dua Minggu lagi. Keputusan ayahnya membuat mereka syok."Besok kita akan menikah," kata Anita membuka percakapan. Ada senyum getir di bibirnya. Matanya memandang ke samping, pada Edo yang masih menampakkan wajah datar. Laki-laki itu sepertinya masih tersinggung dengan perkataan ayahnya. Dia dikatai seorang penipu, apa yang lebih kasar dari kata seorang peni
"Ada beberapa hal yang harus kau ingat, mungkin kau takkan disambut baik oleh keluargaku. Tapi, sekali pun jangan tundukkan wajahmu, kau adalah calon suami Anita. Seorang pimpinan perusahaan yang disegani. Itu yang harus kau ingat.""Baik," sahut Edo."Tak perlu beramah tamah, tak perlu banyak senyum, kalau bisa tunjukkan wajah angkuh, karena keluargaku, mengukur seseorang bukan karena adab dan sikap manisnya. Tapi, uang dan kekuasaan."Edo sudah menduga, keluarga Anita sama persis dengan keluarga orang kaya lainnya. Dia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Ini bukan pernikahan kontrak, dia takkan menganggukkan semua aturan yang Anita buat.Tak butuh waktu lama, mereka sampai di kediaman Anita. Ada beberapa orang yang telah menunggu. Ayah, ibu Anita. Seorang wanita muda berkulit hitam manis berwajah keibuan, dan satu lagi, seorang laki-laki yang menatapnya penuh penilaian."Kalian terlambat lima menit." Suara ayah Anita membahana. Edo menguasai dirinya, ini bukan lagi sandiwara, laki-
Anita memandang puas wajah Edo, memang, keterampilan tangan Jenny tak perlu diragukan. Wanita muda itu pintar menggunakan gunting dan pisau cukur."Hei, jangan cermberut! Bukannya kau akan bertemu dengan calon mertuamu?" Jenny menggoda. Dia takjub dengan pria muda di depannya, Edo benar-benar tampan. Sangat tampan.Edo tak tertarik untuk menanggapi. Dia hanya memandang bosan. Sedangkan Anita bertepuk tangan."Wooow, inikah suamiku?" Anita mendekat, pujian itu terdengar seperti ejekan bagi Edo.Anita maju, menyisakan jarak sejengkal dari Edo. Dia memandang puas. "Kau tinggi sekali. Keren, aku suka pria yang tinggi.""Hati-hati dengan ucapanmu, An. Bisa saja kau benar-benar menyukai dia," sahut Jenny sambil tertawa ringan. "Menyukai Edo? Ah, itu tak mungkin, tampan saja tak cukup bagiku, aku butuh laki-laki matang.""Seperti Taksa.""Kecuali dia." Anita memutar matanya, dia duduk di sofa Jenny, sedangkan Edo masih mematung dengan wajahnya datarnya. Kesal, menjadi bahan olok-olok oleh d
"A ... Apa? Pernikahan sebenarnya?" Anita tertawa remeh. Apa laki-laki muda ini sudah gila. Dia hanya butuh suami pura-pura, bukan suami sebenarnya, lagi pula, siapa dia? Edo tak seujung kukunya."Lucu ...." Anita tertawa lagi."Ya, sudah. Saya tak bisa." Edo berujar enteng, dia memang bukan pria yang taat beragama, tapi mempermainkan pernikahan tidak boleh dalam hidupnya. Bagaimanapun, pernikahan memiliki sumpah dan pernjanjian di hadapan Allah SWT."Edo, ini sangat sederhana, kau hanya perlu berpura-pura, dan semua itu pasti menguntungkanmu, kau tak perlu bekerja, tak perlu memikirkan uang, bukankah 100 juta setiap bulan adalah jumlah yang lumayan? Oh, ayolah! Pikirkan lagi.""Mbak, jangan menilai segala sesuatu dengan uang, mentang-mentang saya miskin, Mbak mau membeli hidup saya? Saya lebih baik memakan nasi basi dari pada direndahkan seperti itu." Edo mulai kesal. Dia bangkit dari duduknya."Hei, mau ke mana kamu?" Anita mencekal lengan Edo. Edo menatapnya tajam."Membangunkan Ri
Jam satu dini hari, Anita bahkan masih bersemangat. Dia tau, laki-laki muda itu sebentar lagi akan dikuasainya. Dia hanya tinggal berusaha sedikit lagi. Sangat membanggakan bisa menekan orang lain, bukankah dengan uang segalanya bisa lebih mudah?"Edo, kau mau mendengar sedikit ceritaku?"Edo tak menjawab, tapi pandangan malasnya itu masih bertahan menantang mata Anita. Anita tau, Edo kesal setengah mati padanya, tapi laki-laki itu lebih memilih untuk menahan diri."Aku terdesak, sangat terdesak. Begini," ucap Anita, dia tidak tau bagaimana cara menguraikannya pada Edo. Tapi, demi sebuah misi, Anita harus menceritakannya. Waktunya cuma tersisa malam ini, besok, dia harus berhasil membawa Edo ke hadapan ayahnya."Kau pernah jatuh cinta?""Apa maksud, Mbak? Kenapa malah masalah pribadi saya yang Mbak tanya?""Bukan, ini sebagai perbandingan, agar kau bisa memahami keadaanku, aku tak mungkin menceritakan sesuatu pada orang yang belum berpengalaman.""Tentu saja saya pernah jatuh cinta."