"Aku butuh pacar," kata Anita santai.
"Eh?" Edo melongo."Bukan, bukan pacar sebenarnya, tapi pacar pura-pura. Kamu hanya perlu melakukan apa yang aku katakan, tidak berat, bukan?""Sampai sejauh ini, saya belum faham akan alasan Mbak Anita. Dengan semua yang Mbak miliki, tentu sangat mudah bagi Mbak memiliki pacar."Anita tersenyum, dia menggulung rambutnya, jika dinilai secara sekilas, dia wanita yang tak mau ribet, salah satunya, bertelanjang kaki dan tak menggunakan sepatunya. Cukup unik."Aku adalah wanita 30 tahun, cukup tua, jadi aku tak perlu pacar. Aku butuh pacar pura-pura untuk menghentikan ayahku yang terus menjodohkan dengan anak koleganya.""Maaf, di usia 30, saya rasa yang dibutuhkan adalah suami, bukan pacar.""Suami pura-pura?" Anita terkekeh geli. "Aku tak berencana untuk menikah."Edo heran dengan wanita yang satu ini, dengan kekayaan dan kecantikannya, dia malah tak berniat untuk menikah. Ado rasa, wanita seperti Anita tak sama dengan wanita pada umumnya."Jadi, kedatanganmu ke sini, kuanggap setuju.""Apa yang harus saya lakukan?""Sore nanti, kita jumpai ayahku. Dan ... Ini, kartu kredit, pergilah belanja baju yang bagus, aku akan rekomendasikan toko temanku, dia akan membantu mengarahkanmu di sana. Jangan lupa, rambutmu dibentuk agar kau tak terlihat seperti adikku. Oh, ya. Ini uang cash, sepuluh juta, sesuai dengan kesepakatan kita."Edo hanya terdiam, tak bisa mencerna situasi, wanita di depannya bahkan tak meminta KTP atau perjanjian, dia percaya begitu saja."Aku tak mau lagi melihat kalung itu, gelang karet dan cincin besi itu berada di tanganmu. Bisa?"Kalung dan gelang karet, mungkin tak masalah jika dibuka, tapi cincin titanium ini, sangat berarti baginya. Kenang-kenangan dari pacar pertamanya yang telah meninggal dunia."Maaf, kalung dan gelang, saya setuju untuk melepaskannya. Tapi, cincin ini terlalu berharga," jawab Edo, dia memutar cincin yang hanya bernilai belasan ribu itu, tapi memiliki makna yang sangat dalam. Makna yang mengajarkan dirinya bagaimana mencintai tanpa pamrih.Anita tampak tak puas. Setelah berpikir sesaat, dia berujar," bisa pindahkan ke jari yang lain? Ayahku bisa saja bertanya tentang cincin yang melekat di jari manismu, dan itu tak bagus untuk sandiwara kita."Edo tau, uang sepuluh juta, kartu kredit, tak mungkin didapatkan tanpa syarat.***Edo hanya menurut saat wanita yang memperkenalkan dirinya bernama Jenny itu memilihkan beberapa pakaian untuknya. Toko besar yang ditunjuk Anita, yang ia akui sebagai toko milik kawannya itu.Edo tak mengerti masalah gaya atau fashion, dia menyerahkan sepenuhnya pada wanita yang bernama Jenny itu."Ah, sungguh tak adil, wajah rupawan begini dibiarkan tak terawat." Ini entah ocehan keberapa yang diucapkan Jenny. Tangannya sibuk menata rambut Edo. Selain menjual pakaian pria beserta asesorisnya, Jenny juga memiliki salon yang tepat berada berdampingan dengan tokonya sendiri."Oh ya, siapa namamu? Aku lupa.""Edo.""Edo sajakah?""Sebenarnya bukan Edo, Ridho Fernando. Tapi dipanggil Edo.""Oh, Edo. Ayo, angkat kepalamu sedikit," ucap wanita itu, Edo tak punya pilihan selain menurut.Satu jam kemudian, sebuah mobil sedan datang, Anita keluar dari sana dengan masih memakai baju kerjanya. Dia masuk dengan anggun, seiringan dengan karyawan Jenny yang mengangguk hormat."Ah, kau datang tepat waktu, padahal aku berharap kau terlambat." Jenny memeluk Anita sekilas."Tak ada kasus terlambat dalam hidupku," sahut Anita membuka kacamatanya."Kecuali terlambat menikah." Jenny tertawa."Apa bedanya denganmu?""Ah, sesama terlambat menikah tak boleh saling ejek.""Kau duluan, mana anak itu?" Mata Anita menyisir semua penjuru toko Jenny."Bukan kejutan namanya kalau dia langsung muncul di depanmu. Ayo berbalik!" Jenny memutar paksa tubuh Anita. Wanita cantik itu cuma mendengus."Taraaa," seru Jenny. Anita berbalik, dia memandang Edo dengan penuh penilaian, tatapan puas, sementara Edo terlihat kikuk."Tampan, bukan? Dia terlihat lebih dewasa."Anita mengangguk, dia meletakkan telunjuknya di dagu. Memicingkan mata, seakan mencari cela dari penampilan Edo, tapi dia tak menemukannya."Hei, jangan menunduk begitu, kamu tau tidak? Anita tipe orang yang takkan memuji, jika kau menunduk, hasil kerjaku takkan terlihat." Jenny berbicara pada Edo."Tunggu, aku ingin dia memakai dasi, seperti pria kantoran."Jenny tau, Anita takkan pernah berkata sempurna."Sebenarnya ada apa? Mau kau bawa ke mana anak ini?" tanya Jenny penasaran."Ke hadapan ayahku.""Apa?" Mata Jenny melotot. "Kau tidak demam, kan?""Kapan-kapan aku ceritakan, yang jelas, ini hanya strategi.""Ah, jangan bilang kau suka padanya."Anita tertawa remeh."Anak ini? Oh ayolah! Dia bukan tipeku."Edo hanya diam mendengar interaksi dua wanita kaya itu. Ternyata, orang kaya sama saja. Menganggapnya tak punya hati, seolah dia bukan makhluk hidup yang pantas dihargai."Sah."Suara saksi menggema memenuhi ruangan khusus di rumah Anita. Wanita itu sampai memejamkan matanya, seakan ada beban berat yang tengah menghinggapinya. Tak ada yang bahagia dengan pernikahan ini, tak ada yang tersenyum kecuali Rini. Gadis itu tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Dia terlalu lugu dan polos untuk memahami situasi. Bahkan, ayah dan ibu Anita, sama sekali tak membuka suara sejak tadi pagi, Taksa menunjukkan wajah tegang, Irma setia dengan kebungkamannya. Sedangkan Edo, tak sekalipun mengeluarkan kata-kata, kecuali kalimat sakral barusan.Tak ada resepsi, tak ada foto bersama, semua murni karena pernikahan yang dianggap sebagai penutup malu. Bahkan, ibunya dan Irma yang biasanya rajin memasak makanan, sepagi ini sama sekali tak menyentuh dapur. Lantunan doa yang dilafazkan penghulu, hanya diaminkan oleh beberapa orang. Tentu saja, siapa yang bahagia dengan pernikahan siri. Pernikahan terpaksa itu, hanyalah seremonial bagi keluarga Anita. Mereka berha
Dua anak manusia itu, memandang ke arah yang sama. Hamparan biru laut yang cerah sejernih langit, deburan teratur serta aroma garam yang tercium pekat. Mereka memutuskan untuk berhenti sebentar mendinginkan kepala yang panas. Setidaknya bisa bernafas dengan bebas setelah menahan hati selama diintrogasi.Anita masih dengan gaun merahnya, rambut yang disanggul tadi pagi sudah tak berbentuk. Sebagian masih berada di posisinya dan sebagian lagi telah lepas dari ikatannya. Besok? Mereka akan menikah besok, bukankah ini terlalu cepat? Bahkan Anita tak menduga akan secepat ini, dalam prediksinya, dia akan menikah dengan Edo, paling cepat dua Minggu lagi. Keputusan ayahnya membuat mereka syok."Besok kita akan menikah," kata Anita membuka percakapan. Ada senyum getir di bibirnya. Matanya memandang ke samping, pada Edo yang masih menampakkan wajah datar. Laki-laki itu sepertinya masih tersinggung dengan perkataan ayahnya. Dia dikatai seorang penipu, apa yang lebih kasar dari kata seorang peni
"Ada beberapa hal yang harus kau ingat, mungkin kau takkan disambut baik oleh keluargaku. Tapi, sekali pun jangan tundukkan wajahmu, kau adalah calon suami Anita. Seorang pimpinan perusahaan yang disegani. Itu yang harus kau ingat.""Baik," sahut Edo."Tak perlu beramah tamah, tak perlu banyak senyum, kalau bisa tunjukkan wajah angkuh, karena keluargaku, mengukur seseorang bukan karena adab dan sikap manisnya. Tapi, uang dan kekuasaan."Edo sudah menduga, keluarga Anita sama persis dengan keluarga orang kaya lainnya. Dia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Ini bukan pernikahan kontrak, dia takkan menganggukkan semua aturan yang Anita buat.Tak butuh waktu lama, mereka sampai di kediaman Anita. Ada beberapa orang yang telah menunggu. Ayah, ibu Anita. Seorang wanita muda berkulit hitam manis berwajah keibuan, dan satu lagi, seorang laki-laki yang menatapnya penuh penilaian."Kalian terlambat lima menit." Suara ayah Anita membahana. Edo menguasai dirinya, ini bukan lagi sandiwara, laki-
Anita memandang puas wajah Edo, memang, keterampilan tangan Jenny tak perlu diragukan. Wanita muda itu pintar menggunakan gunting dan pisau cukur."Hei, jangan cermberut! Bukannya kau akan bertemu dengan calon mertuamu?" Jenny menggoda. Dia takjub dengan pria muda di depannya, Edo benar-benar tampan. Sangat tampan.Edo tak tertarik untuk menanggapi. Dia hanya memandang bosan. Sedangkan Anita bertepuk tangan."Wooow, inikah suamiku?" Anita mendekat, pujian itu terdengar seperti ejekan bagi Edo.Anita maju, menyisakan jarak sejengkal dari Edo. Dia memandang puas. "Kau tinggi sekali. Keren, aku suka pria yang tinggi.""Hati-hati dengan ucapanmu, An. Bisa saja kau benar-benar menyukai dia," sahut Jenny sambil tertawa ringan. "Menyukai Edo? Ah, itu tak mungkin, tampan saja tak cukup bagiku, aku butuh laki-laki matang.""Seperti Taksa.""Kecuali dia." Anita memutar matanya, dia duduk di sofa Jenny, sedangkan Edo masih mematung dengan wajahnya datarnya. Kesal, menjadi bahan olok-olok oleh d
"A ... Apa? Pernikahan sebenarnya?" Anita tertawa remeh. Apa laki-laki muda ini sudah gila. Dia hanya butuh suami pura-pura, bukan suami sebenarnya, lagi pula, siapa dia? Edo tak seujung kukunya."Lucu ...." Anita tertawa lagi."Ya, sudah. Saya tak bisa." Edo berujar enteng, dia memang bukan pria yang taat beragama, tapi mempermainkan pernikahan tidak boleh dalam hidupnya. Bagaimanapun, pernikahan memiliki sumpah dan pernjanjian di hadapan Allah SWT."Edo, ini sangat sederhana, kau hanya perlu berpura-pura, dan semua itu pasti menguntungkanmu, kau tak perlu bekerja, tak perlu memikirkan uang, bukankah 100 juta setiap bulan adalah jumlah yang lumayan? Oh, ayolah! Pikirkan lagi.""Mbak, jangan menilai segala sesuatu dengan uang, mentang-mentang saya miskin, Mbak mau membeli hidup saya? Saya lebih baik memakan nasi basi dari pada direndahkan seperti itu." Edo mulai kesal. Dia bangkit dari duduknya."Hei, mau ke mana kamu?" Anita mencekal lengan Edo. Edo menatapnya tajam."Membangunkan Ri
Jam satu dini hari, Anita bahkan masih bersemangat. Dia tau, laki-laki muda itu sebentar lagi akan dikuasainya. Dia hanya tinggal berusaha sedikit lagi. Sangat membanggakan bisa menekan orang lain, bukankah dengan uang segalanya bisa lebih mudah?"Edo, kau mau mendengar sedikit ceritaku?"Edo tak menjawab, tapi pandangan malasnya itu masih bertahan menantang mata Anita. Anita tau, Edo kesal setengah mati padanya, tapi laki-laki itu lebih memilih untuk menahan diri."Aku terdesak, sangat terdesak. Begini," ucap Anita, dia tidak tau bagaimana cara menguraikannya pada Edo. Tapi, demi sebuah misi, Anita harus menceritakannya. Waktunya cuma tersisa malam ini, besok, dia harus berhasil membawa Edo ke hadapan ayahnya."Kau pernah jatuh cinta?""Apa maksud, Mbak? Kenapa malah masalah pribadi saya yang Mbak tanya?""Bukan, ini sebagai perbandingan, agar kau bisa memahami keadaanku, aku tak mungkin menceritakan sesuatu pada orang yang belum berpengalaman.""Tentu saja saya pernah jatuh cinta."