Share

2

Author: Gleoriud
last update Last Updated: 2022-08-11 20:00:53

Perasaan Anita sedikit lega, perut kenyang dan dia akan tidur dengan nyenyak. Untungnya, besok adalah hari Sabtu, walaupun terlambat bangun, dia bisa agak santai sedikit dibanding hari kerja.

Jam dua belas malam, bukankah ini terlalu larut malam? Anita tak peduli, sebagai wanita yang berumur lebih dari tiga puluh tahun yang kemana-mana biasa sendiri, dia tak pernah dikekang oleh orangtuanya. Kecuali perkara calon suami.

Entah kenapa, ingatan Anita melayang pada pemuda manis itu.

"Gila," gerutunya pada diri sendiri. Dia menyalakan mobilnya. Sesekali Anita mengeluarkan sendawa.

Anita tiba-tiba menepikan mobilnya. Pemuda tadi, si pengamen tengah berjalan kaki sendiri sambil menghitung uang yang berada di dalam plastik bekas makanan yang dilihatnya beberapa saat yang lalu. Wajahnya terlihat kecewa.

Tin! Tin! Suara klakson Anita menghentikan langkah itu, seiring dengan turunnya kaca mobil miliknya.

"Tinggal di mana?"

"Mbak seratus ribu?"

Anita mendengus, julukan apa itu? Sangat tak enak didengar.

"Maaf, maksud saya, Mbak yang tadi ngasih seratus ribu, kan?"

Anita mengangguk. "Masuk, aku antar!"

"Beneran Mbak?" Wajahnya berbinar senang. Tak ada transportasi umum tengah malam begini. Anita membuka pintu mobilnya, pria itu masuk dengan semangat sambil memeluk gitarnya. Sekilas Anita mencium bau parfum murahan dari pria itu.

"Saya di jalan Abadi."

"Oh, searah," sahut Anita mengemudikan mobilnya kembali.

"Baik banget, Mbak. Nggak takut sama orang asing?"

Anita melirik sekilas.

"Kamu terlihat tak berbahaya."

"Wah, Mbak hebat menebak, ya."

"Siapa nama kamu?"

"Edo."

"Udah lama ngamen?"

"Dari kecil, tapi di sini baru dua bulan, saya baru merantau ke sini. Katanya di Bandung lebih enak kalau ngamen."

"Oh gitu."

"Tapi ternyata enggak juga, malam ini cuma dapat dua puluh lima ribu."

Anita mengangguk. Matanya fokus ke jalan di depannya, anak-anak motor mulai berkeliaran di jalan.

"Nggak minat kerja yang lain?"

"Kerja apa? Saya nggak punya ijazah."

"Tinggal sama siapa?"

"Sama adik saya."

"Oh, jadi keluarganya di kampung ya?" tebak Anita.

"Ayah ibu udah nggak ada, ayah meninggal saat adik saya dilahirkan, dan ibu meninggal dua tahun yang lalu." Wajah Edo berubah sendu.

"Stop, Mbak. Di sini saja. Terimakasih tumpangannya." Edo turun lalu melambaikan tangan pada Anita. Untuk pertama kalinya Anita prihatin dengan hidup orang lain.

Tiba-tiba saja ide konyol melintas begitu saja.

"Hei, tunggu!" seru Anita yang sukses menghentikan langkah Edo.

***

Mata bulat Anita mematut laki-laki muda di depannya. Mereka tengah duduk di cafe yang khusus menyajikan minuman hangat. Segelas coklat hangat mengeluarkan aroma manis menggoda.

Saat ini suasana hati Anita cukup baik, setelah ide konyol tapi menjanjikan itu muncul begitu saja.

Dia menilai pria itu bagaikan seorang pembeli yang akan membeli sebuah barang, memastikan barang tak memiliki cacat dan cela agar dia puas mendapatkannya. Sama halnya seperti pembeli, dia tentu harus memastikan barang itu mulus tanpa cacat.

Edo lumayan ganteng, mungkin juga manis, kulitnya cerah dengan otot tak berlebihan, tubuhnya tinggi, sekitar 170 cm, walaupun berpakaian lusuh, dia cukup rapi dan bersih, kukunya pun terpotong pendek.

Mata Edo yang terlihat polos itu memandang Anita dengan risih. Dia dibawa begitu saja ke kafe ini, setelah mereka duduk berhadap-hadapan di meja yang berada persis di dekat jendela, tak satu pun kalimat penjelasan keluar dari mulut wanita di depannya. Wanita itu malah memandangnya tanpa berniat mengalihkan tatapan, sesekali memicingkan matanya.

"Maaf? Mbak, sebenarnya ada apa?" Edo menggaruk lehernya gugup. Baginya, wanita di depannya ini terlalu aneh.

"Boleh aku tau lebih banyak tentang kamu?"

"Maaf, sekali lagi, kenapa Mbak ingin berkenalan dengan saya? Kenapa Mbak memandang saya begitu? Ah, saya jadi gugup."

"Sebelum aku jawab, aku mau tau tentang kamu dulu, umur?"

"Saya dua puluh tujuh."

"Terlalu muda," sahut Anita. "Tapi tak apa, zaman sekarang umur tak masalah, setidaknya jika dipermak sedikit akan kelihatan lebih dewasa. Pendidikan?"

"Saya nggak tamat SMA." Edo menjawab saja, walaupun hatinya diliputi keheranan. Seperti wawancara kerja.

"Status?"

"Status?" Kening Edo semakin berkerut.

"Iya status, sudah punya pacar, atau sudah menikah, atau malah duda?"

Edo tertawa getir. Wanita di depannya ini memang aneh.

"Saya lajang, belum punya pacar, belum menikah, apalagi duda."

"Oke."

"Sebenarnya ada apa, Mbak?" Wajah Edo mulai khawatir.

"Selain ngamen kerja apa?"

"Tukang angkut di pasar."

"Dapat gaji berapa?"

"Maksudnya, perhari?"

"Terserah, perbulan atau perhari, dapat berapa?"

"Nggak nentu. Kadang sehari dapat lima puluh, kalau mujur bisa seratus, kalau apes bahkan cuma dua puluh ribu."

"Mau aku tawari pekerjaan?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aman sihabb
baru ketemu nih author favorit kuh...salam kenal
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suamiku Berondong Seksi   17

    "Sah."Suara saksi menggema memenuhi ruangan khusus di rumah Anita. Wanita itu sampai memejamkan matanya, seakan ada beban berat yang tengah menghinggapinya. Tak ada yang bahagia dengan pernikahan ini, tak ada yang tersenyum kecuali Rini. Gadis itu tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Dia terlalu lugu dan polos untuk memahami situasi. Bahkan, ayah dan ibu Anita, sama sekali tak membuka suara sejak tadi pagi, Taksa menunjukkan wajah tegang, Irma setia dengan kebungkamannya. Sedangkan Edo, tak sekalipun mengeluarkan kata-kata, kecuali kalimat sakral barusan.Tak ada resepsi, tak ada foto bersama, semua murni karena pernikahan yang dianggap sebagai penutup malu. Bahkan, ibunya dan Irma yang biasanya rajin memasak makanan, sepagi ini sama sekali tak menyentuh dapur. Lantunan doa yang dilafazkan penghulu, hanya diaminkan oleh beberapa orang. Tentu saja, siapa yang bahagia dengan pernikahan siri. Pernikahan terpaksa itu, hanyalah seremonial bagi keluarga Anita. Mereka berha

  • Suamiku Berondong Seksi   16

    Dua anak manusia itu, memandang ke arah yang sama. Hamparan biru laut yang cerah sejernih langit, deburan teratur serta aroma garam yang tercium pekat. Mereka memutuskan untuk berhenti sebentar mendinginkan kepala yang panas. Setidaknya bisa bernafas dengan bebas setelah menahan hati selama diintrogasi.Anita masih dengan gaun merahnya, rambut yang disanggul tadi pagi sudah tak berbentuk. Sebagian masih berada di posisinya dan sebagian lagi telah lepas dari ikatannya. Besok? Mereka akan menikah besok, bukankah ini terlalu cepat? Bahkan Anita tak menduga akan secepat ini, dalam prediksinya, dia akan menikah dengan Edo, paling cepat dua Minggu lagi. Keputusan ayahnya membuat mereka syok."Besok kita akan menikah," kata Anita membuka percakapan. Ada senyum getir di bibirnya. Matanya memandang ke samping, pada Edo yang masih menampakkan wajah datar. Laki-laki itu sepertinya masih tersinggung dengan perkataan ayahnya. Dia dikatai seorang penipu, apa yang lebih kasar dari kata seorang peni

  • Suamiku Berondong Seksi   15

    "Ada beberapa hal yang harus kau ingat, mungkin kau takkan disambut baik oleh keluargaku. Tapi, sekali pun jangan tundukkan wajahmu, kau adalah calon suami Anita. Seorang pimpinan perusahaan yang disegani. Itu yang harus kau ingat.""Baik," sahut Edo."Tak perlu beramah tamah, tak perlu banyak senyum, kalau bisa tunjukkan wajah angkuh, karena keluargaku, mengukur seseorang bukan karena adab dan sikap manisnya. Tapi, uang dan kekuasaan."Edo sudah menduga, keluarga Anita sama persis dengan keluarga orang kaya lainnya. Dia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Ini bukan pernikahan kontrak, dia takkan menganggukkan semua aturan yang Anita buat.Tak butuh waktu lama, mereka sampai di kediaman Anita. Ada beberapa orang yang telah menunggu. Ayah, ibu Anita. Seorang wanita muda berkulit hitam manis berwajah keibuan, dan satu lagi, seorang laki-laki yang menatapnya penuh penilaian."Kalian terlambat lima menit." Suara ayah Anita membahana. Edo menguasai dirinya, ini bukan lagi sandiwara, laki-

  • Suamiku Berondong Seksi   14

    Anita memandang puas wajah Edo, memang, keterampilan tangan Jenny tak perlu diragukan. Wanita muda itu pintar menggunakan gunting dan pisau cukur."Hei, jangan cermberut! Bukannya kau akan bertemu dengan calon mertuamu?" Jenny menggoda. Dia takjub dengan pria muda di depannya, Edo benar-benar tampan. Sangat tampan.Edo tak tertarik untuk menanggapi. Dia hanya memandang bosan. Sedangkan Anita bertepuk tangan."Wooow, inikah suamiku?" Anita mendekat, pujian itu terdengar seperti ejekan bagi Edo.Anita maju, menyisakan jarak sejengkal dari Edo. Dia memandang puas. "Kau tinggi sekali. Keren, aku suka pria yang tinggi.""Hati-hati dengan ucapanmu, An. Bisa saja kau benar-benar menyukai dia," sahut Jenny sambil tertawa ringan. "Menyukai Edo? Ah, itu tak mungkin, tampan saja tak cukup bagiku, aku butuh laki-laki matang.""Seperti Taksa.""Kecuali dia." Anita memutar matanya, dia duduk di sofa Jenny, sedangkan Edo masih mematung dengan wajahnya datarnya. Kesal, menjadi bahan olok-olok oleh d

  • Suamiku Berondong Seksi   13

    "A ... Apa? Pernikahan sebenarnya?" Anita tertawa remeh. Apa laki-laki muda ini sudah gila. Dia hanya butuh suami pura-pura, bukan suami sebenarnya, lagi pula, siapa dia? Edo tak seujung kukunya."Lucu ...." Anita tertawa lagi."Ya, sudah. Saya tak bisa." Edo berujar enteng, dia memang bukan pria yang taat beragama, tapi mempermainkan pernikahan tidak boleh dalam hidupnya. Bagaimanapun, pernikahan memiliki sumpah dan pernjanjian di hadapan Allah SWT."Edo, ini sangat sederhana, kau hanya perlu berpura-pura, dan semua itu pasti menguntungkanmu, kau tak perlu bekerja, tak perlu memikirkan uang, bukankah 100 juta setiap bulan adalah jumlah yang lumayan? Oh, ayolah! Pikirkan lagi.""Mbak, jangan menilai segala sesuatu dengan uang, mentang-mentang saya miskin, Mbak mau membeli hidup saya? Saya lebih baik memakan nasi basi dari pada direndahkan seperti itu." Edo mulai kesal. Dia bangkit dari duduknya."Hei, mau ke mana kamu?" Anita mencekal lengan Edo. Edo menatapnya tajam."Membangunkan Ri

  • Suamiku Berondong Seksi   12

    Jam satu dini hari, Anita bahkan masih bersemangat. Dia tau, laki-laki muda itu sebentar lagi akan dikuasainya. Dia hanya tinggal berusaha sedikit lagi. Sangat membanggakan bisa menekan orang lain, bukankah dengan uang segalanya bisa lebih mudah?"Edo, kau mau mendengar sedikit ceritaku?"Edo tak menjawab, tapi pandangan malasnya itu masih bertahan menantang mata Anita. Anita tau, Edo kesal setengah mati padanya, tapi laki-laki itu lebih memilih untuk menahan diri."Aku terdesak, sangat terdesak. Begini," ucap Anita, dia tidak tau bagaimana cara menguraikannya pada Edo. Tapi, demi sebuah misi, Anita harus menceritakannya. Waktunya cuma tersisa malam ini, besok, dia harus berhasil membawa Edo ke hadapan ayahnya."Kau pernah jatuh cinta?""Apa maksud, Mbak? Kenapa malah masalah pribadi saya yang Mbak tanya?""Bukan, ini sebagai perbandingan, agar kau bisa memahami keadaanku, aku tak mungkin menceritakan sesuatu pada orang yang belum berpengalaman.""Tentu saja saya pernah jatuh cinta."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status