Share

02. Harapan

Wajah seorang gadis berusia 17 tahunan dengan wajah tirus, sorot mata yang terang dengan pupil berwarna hitam dengan garis-garis merah muda, lalu senyuman manis di bibir merah mudanya. Rambut hitam panjangnya yang lurus, terlihat begitu kontras dengan kulitnya yang putih bersih seperti mutiara. Dengan cepat gadis itu mengenakan kembali topengnya, sedangkan Akara malah berteriak.

"Jelek! Week!" teriaknya sambil menjulurkan lidah.

"Hahaha, lihat sepuluh tahun lagi!" ujar gadis tadi dengan suara begitu lembut. Ia berusaha berdiri, lalu mengulurkan tangan kanannya ke arah Akara, dan tiba-tiba saja muncul dua bilah pedang kayu.

"Ambil pedangku," lanjutnya, lalu muncul kilatan listrik berwarna merah muda di sekujur tubuhnya, yang tak lama kemudian membuat dirinya menghilang.

"Wahh keren!" seru Akara kagum melihat kepergiannya, lalu meraih kedua bilah pedang kayu yang terjatuh di depannya.

"Ini, ini pedangku!" teriaknya, namun kemudian menyadari sesuatu yang aneh dan mengayunkannya.

"Bukan pedangku, tapi." Anak itu mengamati bilahnya, lalu mengayunkannya kembali dengan begitu luwes.

"Perasaan yang sama." Ia masih merasa heran dengan pedang yang diberikan gadis bertopeng, karena perasaan yang sama dengan pedang lamanya.

Saat Akara tertidur, mamanya melihat ke arah dua bilah pedang kayu yang anaknya taruh di ujung ruangan. dalam pandangannya, dua bilah pedang kayu tadi diselimuti oleh kilatan listrik berwarna merah muda. Saat ingin menyentuhnya, tiba-tiba saja kilatan listrik cukup besar menyambar tangannya.

"Posesif sekali hihihi," ujarnya sambil tertawa kecil, lalu meninggalkannya begitu saja.

...

Hari selanjutnya

Akara datang ke akademi, walau dirinya telah gagal memadatkan aura ranahnya, dan gagal diterima sebagai murid akademi. Akan tetapi, dengan penuh percaya diri, ia menenteng kedua bilah pedang kayu miliknya. Anak kecil itu berbaur dengan anak-anak lainnya, namun ternyata ada yang mengenalinya saat sampai di lapangan utama.

"Lihat! Itu dia sampah yang bahkan tidak dapat memadatkan auranya." Seorang anak laki-laki seumurannya menunjuk ke arahnya, memberitahukan kepada anak-anak yang umurnya lebih tua dari mereka.

Semua pandangan seketika mengarah kepada Akara, waktu terasa terhenti dari sudut pandang anak kecil itu. Semua tatapan mata yang mengasihani, juga merendahkannya terasa amat mencekam.

Saat waktu terasa berjalan kembali, kini terdengar suara tawa, dan bisik-bisik yang sedang membicarakannya.

"Hahaha malang sekali, hidup apa yang akan ia jalani tanpa aura energi,"

"Tentu saja hidupnya tidak akan lama,"

"Memang sudah ditakdirkan sebagai sampah seumur hidupnya,"

Dengan tatapan tajam, Akara menengok ke arah mereka hingga cukup membuat terkejut. Setelah itu, ia melanjutkan berjalan kembali, namun ada sekelompok siswa yang menghalangi jalannya. Mereka berlima, empat orang laki-laki dan satu perempuan yang membawakan tas mereka. Gadis kecil itu bernama Kana, yang juga dari keluarga Beton.

"Ehh mau ke mana?" Salah satu laki-laki yang bernama Cor Beton, tuan muda keluarga Beton cabang kota Biru.

"Master Aura terkuat," lanjutnya, diikuti gelak tawa ketiga temannya, sedangkan Kana yang menjadi pesuruh mereka hanya bisa menunduk.

"Hahaha, master Aura terkuat katanya!"

"Seekor semut ingin menjadi naga,"

Tanpa basa-basi, Akara melempar kedua pedang kayunya di udara, lalu mendaratkan pukulan tepat di hidung Cor Beton.

Buggh!!

"Akgg!"

Pukulan yang cukup kuat hingga membuat Cor Beton terdorong ke belakang, lalu darah mengalir dari hidungnya.

"Berisik kalian! Kalianlah yang sampah hanya bisa banyak bicara!" teriaknya sambil mengulurkan tangannya ke depan, lalu kedua pedangnya dengan tepat jatuh di genggamannya.

"Tuan Cor Beton!" Ketiga anak laki-laki di belakangnya panik dan segera membantu tuannya yang telah dipukul.

Setelah mengusap darah di hidungnya, Cor Beton mengeluarkan aura ranahnya. Aura 5 bintang energi muncul di belakang pundaknya dibarengi hentakan energi.

"Beraninya menyerang tuan muda keluarga Beton!"

Akara menyilangkan tangannya ke depan, untuk menahan hentakan energi dari Cor Beton. Sesaat kemudian ia membuka kembali tangannya, seketika terkejut dan melompat ke samping, tapi Cor Beton langsung melakukan tendangan memutar. Tendangan mengenai perutnya hingga membuatnya terhempas beberapa meter ke belakang.

"Akhh!" Akara mengerang kesakitan, meringkuk sambil memegangi perutnya.

Melihat lawannya tak berdaya, Cor Beton dengan cepat mendekat dan berteriak. "Sampah sialan!" 

"Tuan sudah, hentikan!" Kana, gadis kecil yang menjadi pesuruh mereka, tidak disangka malah menghentikan tuannya yang ingin memukuli Akara. Ia memegangi lengan Cor Beton, tapi langsung didorong hingga jatuh.

"Dasar sampah! Ternyata saling peduli antar sampah!" teriak Cor Beton kepada Kana yang juga memiliki bakat buruk dan hanya menyalakan 1 aura bintang. Tuan muda menoleh kembali ke arah Akara, tapi bocah itu sudah berlari menjauh.

"Jangan sampai jatuh ya, sampah sepertimu tidak mungkin dibandingkan dengan tuan muda ini!" teriak Cor Beton saat Akara mulai menjauh darinya, setelah itu ia tertawa dengan puas.

Akara ternyata tidak langsung pulang ke rumahnya, ia berjalan menuju hutan yang sebelumnya ia lalui. Sungai besar yang ada di dalam hutan dengan nuansa tenang dan nyaman.

Gadis bertopeng ternyata masih di sana, ia mengamati Akara dari atas dahan pohon. Tangannya yang tengah menjulur ke arah Akara, kini mengepal dengan erat. Ia ingin mendekat saat melihat bekas luka di mukanya, namun segera ia urungkan niatnya. Kuku di jarinya yang lentik, bahkan melukai telapak tangan rampingnya.

Saat Akara duduk di tepian sungai, gadis bertopeng itu barulah mendekatinya. Cara turunnya seakan terbang dengan begitu anggun, melebarkan gaun merah mudanya dan memperlihatkan kulit putih mulusnya.

"Ada apa dengan wajahmu?" sapa sang gadis sambil duduk di samping Akara.

"Bukan urusanmu," jawabnya cuek, tanpa menoleh.

"Kenapa masih di sini?" lanjutnya sambil menoleh sekilas.

Gadis bertopeng tidak menjawabnya, namun malah mengeluarkan sebutir pil dari cincin penyimpanannya.

"Nih!" Ia raih tangan Akara dan ditaruhnya di telapak tangannya.

"Apa ini?"

"Pil penyembuhan, makanlah dan bekas luka itu akan langsung menghilang,"

"Aku kembalikan," tolak Akara sambil mengulurkan kembali pil di telapak tangannya.

"Dengarkan ya!" Gadis bertopeng kini berbicara dengan geram.

"Wajah itu aset yang berharga, juga bukan milikmu sendiri. Itu akan menjadi milik para gadis yang menjadi pasanganmu. Jangan sampai ada bekas luka, paham!?"

Tanpa menjawabnya, Akara langsung memakan pil penyembuhan itu. Bekas luka di wajahnya perlahan-lahan mengecil, dan tidak lama kemudian hilang tanpa bekas. Kulitnya kembali seperti semula, seolah-olah tidak pernah terdapat luka.

"Tadi kalah apa menang?" ujar gadis bertopeng sambil mengayunkan kakinya di permukaan air sungai. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Akara.

"Ahh membosankan, nanti mana ada gadis lain yang suka denganmu selain aku," ujar gadis bertopeng sambil menundukkan kepalanya dan menengok ke arah Akara.

"Ajari aku teknik bela diri!" Akara menoleh, lalu menatapnya dengan serius.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status