Share

07. Ayah dan Pernjanjian lagi

Di kediaman keluarga Beton, Lisa mendatangi suatu bangunan, di sana terdengar suara tangisan banyak orang. Saat ia membuka pintu, ada beberapa orang yang sedang mengerumuni jasad Cor Beton. Kebanyakan dari mereka adalah wanita dan begitu melihat kedatangannya, satu-persatu tangisan mereka berhenti.

Kedatangan wanita bertopeng misterius, tentu saja membuat mereka terkejut dan langsung berposisi menyerang. Dikeluarkan aura ranah mereka yang hanya aura satu bulan energi, ranah Maskumambang.

"Siapa kau!?"

"Berani-beraninya menyusup ke kediaman keluarga Beton!"

Lisa tidak memperdulikannya dan dengan tenang berjalan menuju ke arah dua pedang kayu yang tergeletak di lantai. Pedang kayu yang ia berikan kepada Akara, kini telah berlumuran darah tuan muda keluarga Beton. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia mengambilnya dan berjalan ke luar ruangan begitu saja.

Wush!

Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang berdiri di depan Akara. Ia masih terlihat muda, bahkan seperti belum mencapai 30 tahun. Memakai celana hitam panjang, lalu jaket kulit hitam yang menyelimuti kemeja putih. Hanya kancing bagian bawah saja yang ia kancingkan, membuat dada bidang dan perut kekar bagian atasnya terlihat. Rambutnya yang sedikit bergelombang disisir ke belakang, memperlihatkan alis dan sorot mata yang tajam.

"Kalian menyerang anak kecil?"

Semua orang langsung terkejut, bukan karena 4 kata yang ia lontarkan, melainkan kedatangannya yang secara tiba-tiba. Walau ingin melarikan diri, namun mereka sudah tidak bisa lagi membatalkan serangannya.

Brushh!!

Hanya dengan tepisan punggung jarinya, laki-laki itu berhasil membuat Yon Beton dan anggota keluarga Beton lainnya terhempas beberapa meter jauhnya. Hal itu sontak membuat mereka ketakutan dan kabur. Bagaimana tidak, Yon Beton yang sudah di ranah Sinom 3 bulan energi saja dihempaskan begitu saja, bahkan tanpa harus mengeluarkan aura ranahnya.

Akara yang sudah tersungkur di tanah hanya bisa menatapnya dengan kagum, ia terus menatapnya saat laki-laki itu berbalik badan dan berjongkok untuk membantunya berdiri.

"Ingin terlihat kuat di depan mama boleh, tapi jangan memaksakan diri," ujar sang laki-laki saat mengangkat tubuh bocah di depannya untuk berdiri.

"Paman keren!" serunya, namun langsung terhuyung karena masih sangat lemah. Untung saja laki-laki itu segera merunduk untuk memegangi tubuhnya, hingga tidak membuatnya jatuh.

"Paman?" Laki-laki itu malah bertanya sambil tersenyum kecut dan mengernyitkan dahi.

"Akara, dia ayahmu." Mamanya ikut merunduk, lalu tersenyum lebar dan saling menatap dengan suaminya.

"Ayah?" Akara mengernyitkan dahinya bingung, dan tidak percaya akan kata-kata mamanya.

"Lepas!" Anak kecil itu tiba-tiba berontak, melepaskan tangan ayahnya dari tubuhnya. Walau sedikit terhuyung, tatapan tajamnya terus menatap ke arah ayahnya.

Saat ayahnya mulai berdiri, Akara langsung menyundul perutnya.

Buggh!

"Akhh." Laki-laki itu berpura-pura kesakitan sambil menunduk kembali.

Bugh! Bugh! Bugh!

"Meninggalkan mama!" Akara mulai melancarkan pukulan demi pukulan ke arah perut ayahnya lagi.

"Mama kesulitan selama ini!" Akara terus memukulnya dan berteriak dengan suara bergetar karena menangis. Kepalanya ditempelkan pada dada ayahnya, dengan kedua tangan terus memukul perutnya.

Ayahnya kini mengkerutkan dahinya merasa menyesal, lalu kembali tegak berdiri dan mengusap kepala anaknya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia terus mengusap kepala anaknya yang sedang memukulinya.

"Mama, mama membesarkanku, sendirian. Membesarkan anak nakal sepertiku!"

"Akara!" bentak mamanya tiba-tiba, lalu menghela napas dan berjongkok di samping anaknya.

"Kamu anak kebanggaan mama," lanjutnya dengan suara lembut, lalu meraih kepala anaknya ke dalam pelukannya.

Kini ia langsung memeluk erat mamanya, lalu tangisannya bertambah kencang hingga tersedu-sedu.

"Ayahmu meninggalkan kita juga bukan karena keinginannya, ada hal penting yang harus ayah lakukan," ujar mamanya membuat tangisannya perlahan-lahan mereda.

"Katakan sesuatu!" ujar wanita itu dengan suara seperti berbisik, namun geram kepada suaminya.

"Ah?" Ayah Akara malah kebingungan dan terlihat sangat gugup.

"Uhh itu, Akara! Sekarang ayah sudah ada di sini, tidak perlu menghawatirkan mama lagi. Ayah akan selalu ada untuk kalian," 

Begitu mendengar ucapan ayahnya, Akara langsung melepaskan pelukan mamanya, lalu meraih tangan ayahnya. Dengan muka amat kesal dan serius, ia menarik ayahnya.

"Mau ke mana?" ujar mamanya membuat anaknya berhenti.

"Biarkan ayah membersihkan keluarga Beton," jawabnya dengan tegas, lalu melanjutkan berjalan.

"Akara, jangan lakukan itu," ujar mamanya sambil perlahan berjalan ke arah anaknya.

"Kenapa mama!? Mereka telah membuat kita seperti ini, ayah juga terlihat sangat kuat untuk menghancurkan mereka." Akara tetap ngotot, walau telah dilarang oleh mamanya.

Melihat hal itu, ayahnya langsung berjongkok di depannya.

"Akara, pernah melihat pohon padi?" ujarnya dan dijawab anggukan oleh Akara.

"Pohon padi akan semakin menunduk bila biji atau isinya semakin banyak. Kita harus mencontoh pohon itu. Kalau manusia mempunyai kekuatan besar, lalu seenaknya sendiri, apa yang akan terjadi? Pasti akan merugikan orang lain, contohnya seperti keluarga Beton. Itu baru satu, coba kalau setiap orang kuat seperti itu, pasti dunia ini akan hancur," 

Akara kini mulai tenang, dan mendengarkan penjelasan ayahnya dengan begitu hikmat.

"Jadi orang kuat tidak harus secara kekuatan, tapi juga kuat hati dan pikiran. Kuat hati berarti sabar dan bisa mengendalikan amarah, lalu kuat pikiran berarti harus memiliki ilmu yang bermanfaat. Semua itu juga harus digunakan dengan baik dan benar, baik atau benar saja belum cukup, haruslah baik dan benar. Biarkan saja keluarga Beton, mereka juga kemungkinan telah jera,"

"Baik ayah." Akara sudah kembali tenang dan menuruti ucapan ayahnya.

"Baiklah kalau begitu, ayah ingin membawa Akara dan mama ke suatu tempat. Kita akan pindah ke sana," ujar ayah Akara sambil berdiri kembali, lalu istrinya memeluk lengannya dan menyenderkan kepala.

"Pindah? Ahh, tunggu dulu di sini, Akara mau ke suatu tempat!" Akara langsung berlari terburu-buru, meninggalkan ayah dan mamanya.

"Mau ke mana? Jangan,"

"Biarkan saja," ujar wanita itu, memotong ucapan suaminya sambil tersenyum.

..

Di sungai tempat Akara dan Lisa bertemu, ia berlari hingga tersandung beberapa kali dan hampir jatuh.

"Cewek aneh!" teriaknya, memanggil gadis bergaun merah muda.

Lisa, gadis itu sedang berdiri di dahan pohon sambil mengusap sepasang pedang kayu. Setelah mendengar teriakan anak itu, ia segera melompat dan mendarat tepat di depannya.

"Jaga dengan baik!" Lisa melemparkan kedua pedang kayunya ke arah Akara.

"Kenapa bisa ada di kamu?" Akara cukup terkejut, lalu mengamati dengan seksama kedua pedang kayunya.

"Aku harus pergi," ujar Lisa dengan suara lesu, membuat Akara terbelalak dan langsung menundukkan kepalanya.

"Maaf, tadi aku lupa sebagaian ingatan dan tidak bisa mengendalikan emosi," 

"Dengar!" Lisa begitu serius memegang kedua pipi bocah itu.

"10 tahun lagi, temui aku di akademi Amerta," lanjutnya membuat bocah itu kebingungan.

"Baiklah." Lisa kini melepaskan topengnya, lalu muncul kilatan listrik berwarna merah muda di sekujur tubuhnya. Kilatan yang semakin lama semakin banyak hingga membuat silau mata yang memandangnya.

"Ingat, 10 tahun lagi di akademi Amerta! Lain kali kendalikan emosimu dengan baik." suara teriakan Lisa bergema walau dirinya sudah tidak berada di sana, kini Akara kembali berlari menuju tempat kedua orangtuanya menunggu.

"Akara!" seru mamanya begitu anaknya terlihat kembali. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya lemas dan tidak sadarkan diri saat berlari.

Aldho Alfina

Untuk sementara update 1 bab/hari dulu ya. Terima Kasih sudah membaca karya saya :D

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status