Akara kini berada di atas altar pemurnian bersama dengan mama Lia dan juga Alice, sedangkan yang lainnya sudah tidak ada di sana. "Mama buatkan ramuan dulu." Mama Lia terlihat sedang menggerus beberapa tanaman obat menggunakan cobek kecilnya. "Terima kasih mama Lia," "Kak, tidak apa-apa?" ujar Alice kepada kakaknya yang telah telanjang dada, memperlihatkan luka lebam di tubuhnya. "Ahahaha sudah biasa, latihan dengan mama sering membuatku seperti ini," ujarnya dengan riang, padahal banyak luka lebam di tubuhnya. "Kalau terbiasa kenapa tidak bisa mengontrol emosimu?" ujar mama Lia yang masih menggerus tanaman obat. "Habisnya, ayah menjengkelkan!" "Kamu ini!" Mama Lia mendekati Akara, lalu mengoleskan ramuan obat yang ia buat pada lukanya. "Agh." Ia sedikit meringis menahan sakit, sedangkan adiknya terus melihat ke arah mama Lia yang tengah mengoleskan ramuan. "Mama, tolong ajari aku tentang obat-obatan!" seru Akara di tengah-tengah pengolesan ramuan. "Yakin?" ujar mama Lia sam
Saat malam hari, Akara berjalan melewati lorong rumah ditemani cahaya bulan dari dinding kaca. "Akara?" Mama Serin yang tengah berjalan melihatnya, lalu langsung mengikutinya. Akara menuju ke arah ruang makan, namun berhenti saat berada di depan kamar. Pintu dengan gantungan bunga-bunga, juga bertuliskan 'Alice'. Setelah melihat ke sekeliling dan memastikan tidak ada yang melihatnya, ia kemudian masuk ke dalam kamar adiknya. Kamar bernuansa merah muda yang begitu feminim, lalu tempat tidur dengan kasur dan selimut berwarna putih bersih. Di sana, Alice tengah terlelap dalam tidurnya. Dengan perlahan-lahan, ia mulai mendekati tempat tidur adiknya, lalu berdiri tepat di sampingnya. Disingkapnya selimut bagian atas hingga berada di perut adiknya, setelah itu kedua tangannya mengarah ke dada. Mama Serin yang tadi mengikuti Akara, kini membuat sebuah portal pada dinding. Portal terbentuk hingga seolah-olah dindingnya berlubang, lalu ia perhatikan apa yang anaknya lakukan. Aura ranah A
Saat hari sudah gelap dan keadaan mulai sunyi, Akara kembali mengendap-endap masuk ke dalam kamar adiknya. Hal yang sama ia lakukan, menyalurkan energi miliknya menuju ke dalam tubuh Alice. Kegiatan yang terus ia lakukan setiap malam hingga genap satu minggu. .. Esok harinya, saat kakak dan keempat mamanya akan melakukan sarapan, tiba-tiba saja pintu kamar Alice terbuka dengan keras, lalu sang pemilik kamar berlari keluar. "Ada apa!?" "Kenapa cantik!?" Mama Rani dan mama Serin begitu panik dan segera berdiri untuk mendekati anaknya. "Mama, ranahku naik!" seru Alice sambil berlari menuju ruang makan dan mengeluarkan aura ranahnya. Aura 2 bintang energi diperlihatkan kepada kakaknya dan keempat mamanya. Tangan kanannya diulurkan ke depan, lalu muncul aliran listrik berwarna merah muda. Listrik yang menyelimuti tangannya, lalu menyebar ke segala arah. "Wahh akhirnya!" Mama Serin langsung memeluk anaknya, sambil mengusap-usap rambut hitam lurusnya. Melihat usahanya berhasil, senyuma
Saat matahari berada tepat di atas ubun-ubun, Akara berjalan sendirian di tengah hutan. Hutan tropis yang berada di lembah belakang rumahnya, belum cukup jauh karena masih terlihat jelas rumah di belakangnya. "Kak Akara!" teriak seorang gadis kecil dari kejauhan, ia sedang berlari mengejar kakaknya. Akar dan pohon tumbang yang lalu-lalang di hadapannya tidak menjadi rintangan, ia dengan mudah melompatinya walau setinggi dan sebesar apapun. "Kenapa mengikuti kakak?" ujar Akara begitu Alice sampai di sisinya. "Kak Akara ini! Setidaknya tanya dulu 'Cantik kenapa di sini?' 'Cantik mau ke mana?' belum tentu juga ke sini mengikuti kakak, tidak basa-basi sama sekali!" Alice cemberut kesal, namun langsung berubah ketika melihat kakaknya tersenyum. Gadis kecil ini langsung meraih lengan kakaknya dan memeluknya. "Mau cari tanaman obat apa kak?" lanjutnya. "Adek Alice ini! Setidaknya tanya dulu 'Kakak mau ke mana?' 'Ngapain di sini?' belum tentu juga ke sini mencari tanaman obat, tidak basa-
Ada sesuatu yang mengenai air rawa hingga membuat air menyiprat, namun setelah itu tidak ada apa-apa lagi, baik di darat maupun di dalam air. "Ada apa kak?" Alice masih di gendongan kakaknya dan membawa kantong semar di tangannya. "Tidak tau, ada yang menyerang tiba-tiba," ujar Akara dengan begitu serius mengamati ke sekitarnya. "Ada yang datang lagi." Akara kembali melompat, bertepatan dengan hancurnya tanah di bawahnya. "Keluar kalau berani!" Alice kesal, lalu mengeluarkan aura ranah Maskumambang 1 bola energi. Dibuatnya penghalang untuk menyelimuti tubuh mereka, lalu mengumpulkan energi petir di tangannya. Begitu mendarat, Akara melompat lagi, diikuti oleh hancurnya dahan pohon di belakangnya. Tanpa berfikir lagi, Alice meluncurkan serangan petir ke arah tempatnya sebelumnya. Blarrr!! Petir merah muda menyambar tanah, lalu menyebar ke segala sisi dengan jangkauan lebih dari 3 meter. Sekarang terlihat sesuatu dari dahan pohon yang hancur, sesuatu yang panjang menjulur beberap
Walau ularnya sangat besar, tapi di dalamnya sangat sempit. Lubang yang berlendir dan terus bergerak seolah-olah mencengkeramnya. Akara tidak dapat membuka mata maupun bernafas, ia hanya merangkak untuk mencari keberadaan tubuh adik nya. Setelah menemukan, Akara segera memeluk adiknya, lalu mengeluarkan aura ranahnya dan membuat penghalang. Secara paksa, penghalang itu melebarkan perut phiton raksasa, lalu Akara menggunakan energi dinginnya. "Akhhh!!" teriak Akara karena frustasi sekaligus emosi hingga membuat dirinya diselimuti energi dingin. Aura ranah 9 bintang energi berputar dengan cepat dan bertambah cepat. Perut ular yang menggembung karena adanya penghalang di dalamnya, mulai membeku di bagian itu saja. Beberapa saat kemudian, ada pedang kayu yang menusuk perut ular dari dalam. Karena membeku dengan sempurna, perut ular berlubang seperti bongkahan kaca. "Akhhh!" dengan frustasi Akara menebas perut ular hingga terbelah, lalu dirinya keluar. Sebelum aura ranahnya padam, 9 bi
Di ruang keluarga lantai 2, keluarga Akara berkumpul, kecuali kepala keluarga mereka. "Benar mama, Alice sendiri yang mengambilnya kok!" seru Alice yang berada di samping kakaknya, sedang berdebat dengan mama Lia yang ada di depannya. "Kalau beneran ada, pasti sudah mama Lia ambil dari dulu," "Mama Lia tidak percaya? Kak, keluarkan kak!" Alice begitu ngotot. "Memang benar itu kantong semar merah, tapi tidak ada fluktuasi energi sama sekali." Akara menjelaskannya, lalu mengeluarkan tanaman yang ia maksud. "Tidak mungkin!" Mama Lia cukup terkejut dan langsung mengambil tanaman dari tangan Akara. Setelah mengamatinya, ia langsung melihat ke arah Alice dengan tatapan tajam, lalu bertanya dengan pelan, namun menakutkan. "Kenapa dicabut!?" Merasa bersalah, Alice langsung memalingkan wajahnya dan pura-pura tidak tau. "Ituu, tidak sengaja kepleset masuk ke dalam rawa saat mau mengambilnya," "Hahaha, si cantik kenapa ceroboh sekali?" sahut mama Rani yang duduk di samping mama Lia, dan
“Wohh, senjata yang bagus paman!” Akara langsung melompat ke atas altar, dan mengagetkan pria tua tersebut. “Ehh!? Siapa kau bocah!? Kenapa bisa masuk ke dalam sini!?” bentak sang penempa dengan suara garangnya, ia berbalik badan, memperlihatkan armor berwarna kehijauan yang ia kenakan. Seorang pria tua berbadan berbadan besar, memiliki kumis dan janggut yang panjang. “Tadi penasaran saja dengan rumah ini, lalu masuk, mmm pintunya tidak dikunci.” Akara menjelaskannya dengan begitu santai sambil menunjuk ke arah pintu masuk. “Benarkah?” ujar sang laki-laki sambil menengok ke arah pintu masuk, lalu pandangannya tertuju pada Alice yang ada di bawah altar. "Kalian berdua! Kalau bermain jangan di sini, berbahaya!" bentaknya setelah melihat Alice, namun gadis kecil itu malah ikut melompat ke atas altar. "Tenang saja paman, kakak dan aku tidak akan merusak satu senjata pun," ujar Alice dengan nada tenang dan santai. “Paman, boleh ajari aku menempa senjata?” ujar Akara dengan senyum leba