Rein perlahan melangkahkan kakinya keluar dari kamar Shinta. Saat ini Raka lebih berhak atas diri Shinta. Dia tak punya hak apapun untuk menjauhkan Shinta dari suaminya. Sementara Raka tersenyum senang melihat Rein tak lagi berdekatan dengan istrinya. Setelah menutup pintu, Raka kembali menghampiri Shinta. "Sayang, Aku akan merawatmu di sini sampai kamu pulih, kemudian kita pulang." Raka merubah rencana untuk segera kembali ke Jakarta. Mungkin beberapa hari berdua saja dengan istrinya itu akan memperbaiki hubungannya kembali. Shinta tak menjawab. Dia masih tak percaya dengan kehamilan keduanya ini. Bagaimana nanti dengan perusahaannya. Apa dia masih bisa terjun mengawasi perusahannya secara langsung? Lalu bagaimana dengan skandal antara suaminya dengan wanita bernama Aina itu? "Sayang, kamu mau makan apa? Biar nanti aku pesankan. Kamu pasti belum sarapan." Raka terus berbicara sambil mengompres istrinya. Sesekali mengecup mesra kening Shinta dan membelainya dengan lembut. "Aku ing
"Maira Sayang, kamu dimana?" Shinta yang baru saja kembali masuk ke kamar mandi, bernapas lega. Ternyata yang datang adalah suaminya. Perlahan melangkah keluar masih menggunakan jubah mandinya. "Aku di sini, Mas," sahutnya dingin seraya melepas jubah mandi dan kembali menggantungnya di dekat pintu kamar mandi. "Kenapa tidak tunggu Aku?" Raka menghampiri Shinta yang kini hanya berbalut handuk. Dirinya hanya bisa menelan saliva melihat pemandangan yang memancing hasratnya. Andai saja Shinta sedang tidak sakit, tentu ia sudah tak sabar ingin membawanya ke ranjang. Raka akui, Shinta jauh lebih cantik dari pada Aina. Hanya saja Aina sangat pandai memuaskannya di ranjang. Shinta adalah wanita yang sangat lembut dan sangat menjaga kehormatannya. Oleh sebab itu, Shinta tidak pernah berskap seliar Aina dimanapun dia berada. Kadang Raka merasa menyesal, kenapa tak pernah bisa menolak Aina dalam masalah ranjang. Istri simpanannya itu sukses membuatnya candu pada tubuhnya. Namun untuk cinta
"Maira, ada apa?" Sontak Shinta menoleh ke belakang. Ternyata Raka telah terjaga dan duduk di belakangnya. Raka kembali hendak meraihnya. Namun Shinta beringsut mundur. Merasa tak sudi jika Raka kembali memeluknya. Shinta menghapus air mata dengan punggung tangan. Dadanya naik turun menahan emosi. "Maira ... kenapa ...?" "Cukup, Mas! Lebih baik kamu kembali ke Jakarta dan temui perempuan itu!" Shinta berkata tegas dengan gemuruh hebat di dadanya. "Sayang ... kamu bicara apa? Perempuan apa?" Raka pura-pura bingung dengan senyum yang dibuat-buat. Padahal di dalam hatinya dia merasa sangat cemas mendengar perkataan Shinta. Dari mana istrinya itu tau kalau Aina ada di Jakarta? Tanpa menjawab, Shinta bangkit ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya sebentar, kemudian merapikan pakaiannya dan mengenakan hijabnya. "Kamu mau ke mana, Sayang?" Wajah Raka terlihat panik melihat Shinta sudah rapi. Setelah meraih tasnya yang berada di meja rias, Shinta melangkah menuju pintu keluar t
Raka masih menahan emosinya. Ingin rasanya menyusul Shinta dan mengajaknya kembali ke kamar. Namun itu tak mungkin dia lakukan. Shinta akan semakin marah. Hubungan mereka pun akan semakin buruk. Dia tak ingin kehilangan Shinta. Cintanya pada Shinta tak pernah berubah. Susah payah Raka menahan emosinya. Menekan sikap egonya sebagai laki-laki. Mengesampingkan rasa cemburu yang membabi-buta. Padahal tangannya sudah gatal sejak tadi ingin menghajar Rein. Tak peduli tubuh pria setengah bule itu jauh lebih besar darinya. Namun dia tak ingin ceroboh. Biarlah saat ini mengalah, demi keutuhan rumah tangganya bersama dengan Shinta. Raka merasakan getaran di saku celana yang ternyata berasal dari ponselnya. Perlahan diraihnya telepon genggam itu dan membukanya.Ternyata panggilan pada ponselnya itu dari Aina. Wanita yang tak bisa dia hindari. Kemanapun Raka pergi, Aina akan terus mengejar dan mengancamnya. "H-hallo!" "Raka, kamu di mana? Aku menunggumu di hotel sejak kemarin. Jangan main-mai
Shinta merasakan tubuhnya sangat lelah. Mungkin seharusnya dia memang istirahat. Tapi berlama-lama bersama Raka di kamar hotel membuatnya kembali mengingat wanita yang bernama Aina itu. Dengan bekerja, masalah dapat dia lupakan walau sesaat. "Wajahmu pucat. Sebaiknya kita makan dulu!" ajak Rein saat perjalanan kembali ke hotel. "Boleh. Sepertinya Aku memang sering lapar belakangan ini Bisa bahaya kalau berat badanku naik banyak," sahut Shinta terkekeh. "Wajarlah. kamu makan bukan untuk dirimu sendiri. Tapi ada seseorang di dalam sana yang juga harus sehat." Rein berkata lembut sambil melirik sekilas pada perut wanita di sampingnya.Shinta tersentuh karena merasa Rein lebih perhatian ketimbang Raka. Padahal anak yang sedang dikandungnya saat ini adalah anak Raka. "Arman, kita berhenti di restoran depan!""Baik, Pak!" Arman menuruti permintaan Rein dan berhenti di depan sebuah restoran padang yang cukup mewah. "Mau makan apa, hum ..? Soto padang atau sup iga?" Tawaran Rein membu
"Mesra apanya? Ah, kamu ada-ada aja, Sayang. Kamu pasti salah dengar." Raka mencoba tertawa untuk menutupi kecerobohannya barusan. Dalam hati dia merutuki kebodohannya. Semoga saja istrinya itu tidak marah lagi padanya. Shinta menatap Raka dengan ekspresi datar. Entahlah, saat ini dia sedang tidak berminat untuk bicara lebih banyak dengan suaminya itu. "Jelas-jelas Aku mendengar nada bicaranya yang begitu lembut tadi," bathin Shinta kesal. Tanpa kata, Shinta melangkah melewati Raka menuju lift. Di belakangnya menyusul Rein dan Arman. "Sayang ..., tunggu sebentar! Aku ada kejutan untukmu." Raka meraih tangan Shinta dan menahannya tepat di depan lift. Tak jauh dari tempat mereka, Rein dan Arman berdiri menunggu lift terbuka. "Maaf, Mas. Aku lelah. Mau istirahat," sahut Shinta singkat masih dengan ekspresi datar. "Sebentar saja. Aku hanya ingin mengajakmu makan malam. Mau, Ya? Kamu pasti belum makan." Raka hampir putus aja melihat sikap Shinta yang masih saja dingin dan acuh pa
Hafiz merasa ada sesuatu yang tidak beres pada rumah tangga adiknya. Sejak Shinta menceritakan munculnya kembali wanita bernama Aina padanya waktu itu, dirinya tak tenang. Dalam beberapa hari ini Pratama meminta Hafiz untuk mengawasi Eternal Group selama kepergian Shinta dan Raka ke Sumatera. Untuk itu hari ini Hafiz datang menghampiri Dewi-sekretaris pribadi Shinta. "Apa ada masalah?" tanya Hafiz seraya membuka agenda pertemuan yang seharusnya dihadiri oleh Raka hari ini. "Untuk sementara tidak ada, Pak!" Hafiz mengangguk. Namun sejak tadi dia melihat Said sangat sibuk, bahkan tidak keluar untuk makan siang. Perlahan Hafiz menghampiri meja Said yang berada di depan ruangan Raka. "Said, apa ada masalah?" Hafiz melihat Said sangat terkejut dan gugup. "Ah, ti-tidak, Pak. Tidak ada masalah, Kok!" Entah kenapa Hafiz melihat ada yang sedang disembunyikan oleh asisten pribadi Raka itu. "Baiklah. Jika ada sesuatu yang bisa aku bantu, katakan saja!" pesan Hafiz sebelum meninggalkan
"Maira, boleh Ayah bicara sebentar?" Pratama duduk tak jauh dari putrinya itu. Saat ini mereka masih berada di ruang keluarga bersama Bu Nuri dan Kaisar. "Ada apa, Yah?" Seorang babysitter meraih Kaisar dari pangkuan Shinta dan membawanya ke dalam. Bu Nuri yang tidak ingin ikut campur dalam perbincangan yang sepertinya serius, pamit hendak membantu menyiapkan makan siang mereka yang telah tertunda. "Tadi di bandara Ayah melihat Reinhard-putra Robert berjalan tak jauh di depan kalian. Apa kalian satu pesawat?" Tenggorokan Shinta seakan tercekat. Apa yang harus dia katakan? Apakah sang Ayah akan murka jika dia berterus terang? "Maira ..., kenapa diam?" Shinta mendesah cemas. "Iy-iya, Ayah. Rein adalah relasi bisnisku sekarang ini." Shinta memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. "Apaa? Relasi bisnis? Kamu tidak salah?" Kepanikan mulai merasuki Pratama. Dia menganggap Rein dapat mengancam keselamatan putri satu-satunya itu. "Rein kini mengelola sebuah perusahaan. Aku yakin,