Raka masih menahan emosinya. Ingin rasanya menyusul Shinta dan mengajaknya kembali ke kamar. Namun itu tak mungkin dia lakukan. Shinta akan semakin marah. Hubungan mereka pun akan semakin buruk. Dia tak ingin kehilangan Shinta. Cintanya pada Shinta tak pernah berubah. Susah payah Raka menahan emosinya. Menekan sikap egonya sebagai laki-laki. Mengesampingkan rasa cemburu yang membabi-buta. Padahal tangannya sudah gatal sejak tadi ingin menghajar Rein. Tak peduli tubuh pria setengah bule itu jauh lebih besar darinya. Namun dia tak ingin ceroboh. Biarlah saat ini mengalah, demi keutuhan rumah tangganya bersama dengan Shinta. Raka merasakan getaran di saku celana yang ternyata berasal dari ponselnya. Perlahan diraihnya telepon genggam itu dan membukanya.Ternyata panggilan pada ponselnya itu dari Aina. Wanita yang tak bisa dia hindari. Kemanapun Raka pergi, Aina akan terus mengejar dan mengancamnya. "H-hallo!" "Raka, kamu di mana? Aku menunggumu di hotel sejak kemarin. Jangan main-mai
Shinta merasakan tubuhnya sangat lelah. Mungkin seharusnya dia memang istirahat. Tapi berlama-lama bersama Raka di kamar hotel membuatnya kembali mengingat wanita yang bernama Aina itu. Dengan bekerja, masalah dapat dia lupakan walau sesaat. "Wajahmu pucat. Sebaiknya kita makan dulu!" ajak Rein saat perjalanan kembali ke hotel. "Boleh. Sepertinya Aku memang sering lapar belakangan ini Bisa bahaya kalau berat badanku naik banyak," sahut Shinta terkekeh. "Wajarlah. kamu makan bukan untuk dirimu sendiri. Tapi ada seseorang di dalam sana yang juga harus sehat." Rein berkata lembut sambil melirik sekilas pada perut wanita di sampingnya.Shinta tersentuh karena merasa Rein lebih perhatian ketimbang Raka. Padahal anak yang sedang dikandungnya saat ini adalah anak Raka. "Arman, kita berhenti di restoran depan!""Baik, Pak!" Arman menuruti permintaan Rein dan berhenti di depan sebuah restoran padang yang cukup mewah. "Mau makan apa, hum ..? Soto padang atau sup iga?" Tawaran Rein membu
"Mesra apanya? Ah, kamu ada-ada aja, Sayang. Kamu pasti salah dengar." Raka mencoba tertawa untuk menutupi kecerobohannya barusan. Dalam hati dia merutuki kebodohannya. Semoga saja istrinya itu tidak marah lagi padanya. Shinta menatap Raka dengan ekspresi datar. Entahlah, saat ini dia sedang tidak berminat untuk bicara lebih banyak dengan suaminya itu. "Jelas-jelas Aku mendengar nada bicaranya yang begitu lembut tadi," bathin Shinta kesal. Tanpa kata, Shinta melangkah melewati Raka menuju lift. Di belakangnya menyusul Rein dan Arman. "Sayang ..., tunggu sebentar! Aku ada kejutan untukmu." Raka meraih tangan Shinta dan menahannya tepat di depan lift. Tak jauh dari tempat mereka, Rein dan Arman berdiri menunggu lift terbuka. "Maaf, Mas. Aku lelah. Mau istirahat," sahut Shinta singkat masih dengan ekspresi datar. "Sebentar saja. Aku hanya ingin mengajakmu makan malam. Mau, Ya? Kamu pasti belum makan." Raka hampir putus aja melihat sikap Shinta yang masih saja dingin dan acuh pa
Hafiz merasa ada sesuatu yang tidak beres pada rumah tangga adiknya. Sejak Shinta menceritakan munculnya kembali wanita bernama Aina padanya waktu itu, dirinya tak tenang. Dalam beberapa hari ini Pratama meminta Hafiz untuk mengawasi Eternal Group selama kepergian Shinta dan Raka ke Sumatera. Untuk itu hari ini Hafiz datang menghampiri Dewi-sekretaris pribadi Shinta. "Apa ada masalah?" tanya Hafiz seraya membuka agenda pertemuan yang seharusnya dihadiri oleh Raka hari ini. "Untuk sementara tidak ada, Pak!" Hafiz mengangguk. Namun sejak tadi dia melihat Said sangat sibuk, bahkan tidak keluar untuk makan siang. Perlahan Hafiz menghampiri meja Said yang berada di depan ruangan Raka. "Said, apa ada masalah?" Hafiz melihat Said sangat terkejut dan gugup. "Ah, ti-tidak, Pak. Tidak ada masalah, Kok!" Entah kenapa Hafiz melihat ada yang sedang disembunyikan oleh asisten pribadi Raka itu. "Baiklah. Jika ada sesuatu yang bisa aku bantu, katakan saja!" pesan Hafiz sebelum meninggalkan
"Maira, boleh Ayah bicara sebentar?" Pratama duduk tak jauh dari putrinya itu. Saat ini mereka masih berada di ruang keluarga bersama Bu Nuri dan Kaisar. "Ada apa, Yah?" Seorang babysitter meraih Kaisar dari pangkuan Shinta dan membawanya ke dalam. Bu Nuri yang tidak ingin ikut campur dalam perbincangan yang sepertinya serius, pamit hendak membantu menyiapkan makan siang mereka yang telah tertunda. "Tadi di bandara Ayah melihat Reinhard-putra Robert berjalan tak jauh di depan kalian. Apa kalian satu pesawat?" Tenggorokan Shinta seakan tercekat. Apa yang harus dia katakan? Apakah sang Ayah akan murka jika dia berterus terang? "Maira ..., kenapa diam?" Shinta mendesah cemas. "Iy-iya, Ayah. Rein adalah relasi bisnisku sekarang ini." Shinta memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. "Apaa? Relasi bisnis? Kamu tidak salah?" Kepanikan mulai merasuki Pratama. Dia menganggap Rein dapat mengancam keselamatan putri satu-satunya itu. "Rein kini mengelola sebuah perusahaan. Aku yakin,
"Makan yang banyak bumil, biar kuat!" Hafiz menambahkan sesendok tumisan capcai ke piring Shinta. Sontak membuat adik tirinya itu melotot melihat isi piringnya semakin penuh. "Kuat ngapain? Kamu pikir aku mau melahirkan sekarang?" sanggah Shinta. "Agar kamu kuat menghadapi kenyataan hidup nantinya!" sahut Hafiz santai, namun sukses membuat Raka tersedak minuman yang sedang diteguknya. "Kamu kenapa, Mas?" Shinta menoleh pada wajah Raka yang memerah. "Nggak, nggak apa-apa. Hanya tersedak," jawab Raka sedikit gugup. Makan siang kali ini cukup hangat karena kehadiran Pratama bersama Bu Nuri dan Hafiz.Shinta memiliki kesempatan bermanja-manja dengan Ayahnya. Sementara Hafiz beberapa kali menggoda adik tirinya. "Lusa Aku mau ke Bandung. Rencananya Aku dan para managerku akan mengadakan meeting di sana selama tiga hari." Hafiz mulai berbicara serius. "Oh ya, Aku dengar Raka memiliki beberapa hotel mewah di sana. Bisa rekomendasikan padaku, hotel mana saja dan fasilitasnya?"lanjut Ha
"Telpon dari siapa, Mas? Dari Aina?" Wajah Raka memucat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Apa kali ini dia jujur saja pada istrinya itu? "Loh, kamu sudah bangun, Sayang?" Raka segera berusaha menguasai diri dari kegugupan dan mencoba untuk mengalihkan perhatian Shinta. "Jawab aku dulu, Mas! Apa itu dari Aina?" Tatapan tajam Shinta menghunus tepat pada manik mata Raka. Suami Shinta itu menghela napas panjang sebelum memjawab. "Iy-iyaaa. Aina mengabarkan ada sedikit masalah di salah satu hotelku." "Benarkah?" selidik Shinta tanpa memindahkan tatapannya, hingga membuat Raka semakin gugup dan gelisah "Iy-iyaa. Benar." "Harus di kamar mandi terima telponnya?" cecar Shinta lagi. "Maira, tadi itu aku memang sakit perut. Lagian aku nggak mau kamu berpikir yang tidak-tidak jika tau panggilan ini dari Aina. Aku takut kandunganmu kenapa-kenapa." "Huh, alasan!" bathin Shinta. Wanita itu mendengkus kesal. Emosinya selalu tersulut setiap mendengar nama Aina. "Kenapa kamu memilih bekerja
"Selamat pagi, Tuan Rein!" Rein yang belum lama terjaga dari tidurnya tersentak melihat seorang gadis berdiri di dapurnya ."Siapa kamu?" tanya Rein seraya mengernyitkan dahinya "Saya Ayu, anaknya Mbok Sum, Tuan." sahut gadis belia itu tertunduk saat melihat wajah Rein. Dia tak menyangka majikan ibunya adalah pria yang sangat tampan. Bahkan dia belum pernah bertemu pria setampan ini sebelumnya. "Memangnya Mbok Sum kemana?" tanya Rein kembali seraya duduk di depan televisi dan mengutak-atik remot mencari saluran yang pas untuknya. "Ibu sedang pulang kampung. Nenek saya sakit. Untuk sebulan ke depan saya yang menggantikannya beres-beres di sini." "Ya. Ibu kamu sudah menjelaskan apa saja pekerjaanmu di sini?" tanya Rein lagi tanpa menoleh sedikitpun pada gadis bernama Ayu itu. "Sudah, Tuan." Rein mengangguk. "Buatkan aku sarapan. Aku akan berangkat ke kantor pagi ini." Rein berkata seraya masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap. Pagi ini Rein berencana hendak langsung menemui Shin