Apa Peninggalan Sejarah Kraton Surakarta Dan Yogyakarta 1769-1874?

2025-11-22 19:37:19 64

4 Jawaban

Tessa
Tessa
2025-11-23 11:47:26
Dari sudut pandang kolektor artefak, peninggalan fisik seperti naskah 'Serat Sastra Miruda' (1814) dari Surakarta sungguh memukau. Naskah ini berisi ajaran moral menggunakan metafora wayang. Di Yogyakarta, ada 'Baju Kiai Antakusuma'—baju perang Sultan Hamengkubuwono I yang diyakini bisa membuat pemakainya 'hilang' dari musuh. Periode 1769-1874 juga menghasilkan kerajinan perak Kotagede yang motifnya dipengaruhi Belanda tetapi tetap mempertahankan filosofi Jawa. Beberapa tembikar kuno dari era ini sekarang dipajang di Museum Ullen Sentalu dengan glaze khas yang sudah punah teknik pembuatannya.
Finn
Finn
2025-11-25 15:46:03
Mengunjungi Surakarta dan Yogyakarta selalu membuatku terkagum-kagum dengan warisan budayanya. Di Kraton Surakarta, ada 'Gamelan Kyai Guntur Sari' yang legendaris—instrumen abad ke-18 ini masih dimainkan dalam upacara adat. Sementara itu, Yogyakarta menyimpan 'Keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek' di Museum Sonobudoyo, yang konon memiliki kekuatan spiritual. Yang paling menyentuh adalah tembok-tembok kuno di kedua kraton yang masih mempertahankan ukiran motif parang rusak, simbol perjuangan melawan penjajahan. Aku pernah mendengar cerita dari pemandu lokal bahwa lukisan-lukisan di Bangsal Witana di Surakarta menggambarkan perjanjian politik era 1800-an.

Kalau ke Yogyakarta, jangan lewatkan 'Regol Gadhing' (Gerbang Gading) dengan arsitektur campuran Jawa-Portugisnya. Periode 1769-1874 memang meninggalkan jejak dalam bentuk seni pertunjukan wayang kulit dengan gaya Surakarta yang khas, berbeda dengan gaya Yogyakarta yang lebih tegas. Aku selalu merasa periode ini seperti jembatan antara tradisi Mataram Kuno dengan modernitas.
Chloe
Chloe
2025-11-28 03:35:53
Sebagai pecinta arsitektur, aku terpesona oleh transformasi gaya bangunan selama periode ini. Kraton Yogyakarta punya 'Gedong Kuning' dengan atap tajug tumpang tiga yang menjadi prototype rumah Jawa modern. Sementara itu, Surakarta mengembangkan 'Panggung Sangga Buwana' yang unik—menara berbentuk lingga-yoni sebagai lambang kesuburan. Materialnya dari kayu jati tua yang umurnya sudah ratusan tahun! Yang menarik, di masa ini mulai muncul pengaruh Eropa seperti penggunaan kaca patri di 'Kebun Binatang Sriwedari' yang dibangun 1870-an. Aku sering sketsa detail ukiran 'Kori Kamandhungan' di kedua kraton yang motifnya berbeda meski berasal dari era yang sama.
Chloe
Chloe
2025-11-28 13:46:34
Bagi penikmat kuliner sejarah, warisan paling nyata dari periode ini adalah resep-resep kuno yang tercatat di 'Serat Centhini'. Beberapa hidangan seperti 'Sega Liwet' dan 'Gudeg Manggar' sudah ada sejak 1800-an dan tetap dipertahankan di dapur kraton. Aku pernah mencoba membuat versi modernnya berdasarkan catatan dari perpustakaan Pakualaman! Periode ini juga meninggalkan tradisi 'Uba Rampe' (hiasan sesaji) dengan perlengkapan khusus seperti 'Kendi Kraton' berhiaskan relief Ramayana—benda-benda ini masih digunakan dalam upacara Sekaten.
Lihat Semua Jawaban
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Buku Terkait

Peninggalan Sang Bima
Peninggalan Sang Bima
Novel ini berkisah tentang bagaimana sebuah keris pusaka diburu oleh orang-orang yang percaya akan kekuatan atau powernya dalam dunia politik.
10
15 Bab
Surakarta, Aku Cinta Dia
Surakarta, Aku Cinta Dia
Gienka Neyza Jace, 18 tahun, mahasiswi cantik yang berkuliah di salah satu Universitas Swasta di Madiun, sebuah kota kecil yang sering disebut sebagai kota "Pecel". Gienka yang belum pernah berpacaran sebelumnya, jatuh hati pada seorang pria berparas tampan. Pria itu adalah pemilik sebuah kedai di kota kecil tersebut. Setelah memutuskan untuk berpacaran, dia menyadari ada yang salah dengan pacarnya tersebut. Di tengah keraguan hatinya, dia bertemu dengan mahasiswa yang membuatnya merasa nyaman hanya dengan melihat senyumnya.
10
17 Bab
Sejarah Cinta Alicia (Indonesia)
Sejarah Cinta Alicia (Indonesia)
Demi membiayai rumah sakit ibunya, Alicia rela menikah kontrak dengan seorang pria yang terkenal kejam di Los Angeles bernama Jackson William, Alicia mempertaruhkan nyawanya, demi mendapatkan uang 50.000 dollar dari sayembara yang dilaksanakan oleh Jack. "Sebenarnya kamu bukan type wanitaku, tapi aku suka gadis pemberani sepertimu," ucap Jack dengan tatapan nakalnya kepada Alicia.
10
11 Bab
Transmigrasi Gadis Terkaya dalam Sejarah
Transmigrasi Gadis Terkaya dalam Sejarah
Yuna adalah gadis terkaya dalam sejarah, semua itu bukan berasal dari hasil kerja kerasnya sendiri. Melainkan karena harta warisan yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. Ia adalah anak tunggal yang memiliki aset kekayaan yang berlimpah. Hanya saja sangat disayangkan, setelah orang tuanya meninggal banyak orang mengincar kekayaannya. Yuna meninggal dalam rencana jahat keluarga jauhnya. Akan tetapi setelah ia meninggal, ia terikat pada sesuatu yang disebut sistem. Sistem menawarkan misi pada Yuna agar Yuna dapat hidup kembali. Misi ini hanya satu, melahirkan anak dari seorang pemuda miskin dalam novel...
7
10 Bab
Jika Istri Majikan dan Anaknya Memaksa, Aku Bisa Apa?
Jika Istri Majikan dan Anaknya Memaksa, Aku Bisa Apa?
Napasnya terengah, keringat bercampur air hujan menguarkan aroma yang meletupkan panas tubuh keduanya! Di dalam mobil mewah yang baru saja berhenti di gerbang, Firzan merasakan cengkeraman jari-jari Miliana, sang majikan sekaligus mamah muda yang memabukkan, di kemejanya. "Kamu tahu kamu mau aku, Firzan," desis Miliana, suaranya parau. Jarak beberapa meter dari rumah sang suami terasa bagai jurang yang memisahkan mereka dari bahaya dan kenikmatan terlarang. Pertarungan antara godaan memabukkan dan bayangan Chantika yang tulus mengoyak Firzan, namun sentuhan panas ini terlalu kuat, terlalu nyata untuk dihindari.
10
192 Bab
Apa Warna Hatimu?
Apa Warna Hatimu?
Kisah seorang wanita muda yang memiliki kemampuan istimewa melihat warna hati. Kisah cinta yang menemui banyak rintangan, terutama dari diri sendiri.
10
151 Bab

Pertanyaan Terkait

Rekomendasi Toko Buku Bagus Di Yogyakarta Untuk Mahasiswa?

4 Jawaban2025-09-28 04:16:43
Ketika berbicara tentang toko buku di Yogyakarta, satu tempat yang selalu terlintas di pikiranku adalah 'Gado-Gado Bookshop'. Tempat ini memiliki suasana yang sangat cozy, cocok untuk mahasiswa yang ingin mencari referensi buku atau sekadar santai. Dengan berbagai genre buku, dari fiksi hingga non-fiksi, kamu pasti akan menemukan sesuatu yang menarik. Selain itu, mereka sering mengadakan acara diskusi dan bedah buku yang pastinya keren untuk menambah wawasan. Hal yang membuat Gado-Gado makin spesial adalah koleksi buku-buku indie dan zine yang sering kali nggak ditemukan di tempat lain. Mereka juga punya café kecil yang menyajikan kopi enak, jadi kamu bisa duduk dan menikmati sebentar setelah berkeliling. Aku sering menghabiskan waktu di sini, duduk sambil membaca atau ngobrol dengan teman-teman tentang buku yang kami temukan. Tempat ini benar-benar menjadi sanctuary bagi para pecinta buku dan mahasiswa yang butuh inspirasi!

Bagaimana Perajin Batik Menggunakan Ragam Hias Yogyakarta Pada Kain?

3 Jawaban2025-10-22 06:26:35
Ritme membatik di workshop kecil itu selalu bikin aku fokus: bau malam yang meleleh, suara canting yang kecipak, dan kain putih yang berubah jadi peta motif. Aku sering ikut dari tahap paling awal, jadi aku tahu betul bagaimana perajin Yogyakarta menerapkan ragam hiasnya ke kain. Pertama, kain dipersiapkan—dicuci supaya tidak ada minyak atau kotoran yang mengganggu penyerapan warna. Setelah kering, desain ditandai; kadang pakai pensil tipis, tapi lebih sering langsung pakai cap tembaga atau canting. Di Yogyakarta, pola seperti 'parang', 'kawung', 'ceplok', dan tumpal sering jadi pilihan. Untuk motif yang berulang, perajin pakai cap supaya rapi dan konsisten; untuk detail halus, canting tangan yang kecil dipakai. Teknik wax-resist itu krusial: lilin panas digambar pada kain sesuai pola, lalu kain dicelup dari warna muda ke gelap berurutan sehingga motif yang terlindungi tetap cerah. Setelah pewarnaan selesai, kain direbus atau disetrika di atas rak panas untuk menghilangkan malam. Tahap finishing ini penting supaya warna keluar sempurna dan tekstur kain lembut. Aku suka bagian ini karena motif yang tadinya samar tiba-tiba muncul jelas—langsung keliatan identitas Yogyakarta: keseimbangan bentuk, palet warna 'sogan' cokelat-kuning, dan penempatan motif yang memperhatikan tata letak kain seperti bagian tengah, tepi, dan tumpal. Rasanya selalu memuaskan menyentuh kain yang sudah jadi, karena setiap lekuk motif ada cerita tangan perajin di situ.

Apa Perbedaan Utama Kraton Surakarta Dan Yogyakarta Tahun 1769-1874?

3 Jawaban2025-11-22 20:42:54
Menelusuri perbedaan dua keraton Jawa ini seperti membuka lembaran sejarah yang hidup. Surakarta Hadiningrat, meski sama-sama pewaris Mataram, memilih jalur diplomasi ketat dengan Belanda pasca Perjanjian Giyanti 1755. Arsitekturnya lebih 'terkungkung'—tembok tinggi dengan pola geometris ketat, simbol kepatuhan pada aturan kolonial. Sementara Yogyakarta di bawah Hamengkubuwono I justru mempertahankan semangat pemberontakan dalam balutan budaya. Candi Bentar di Plered dan gerbang tanpa pintu menjadi metafora keterbukaan. Uniknya, sistem kepatihan di Yogya lebih dinamis, melahirkan tokoh seperti Pangeran Diponegoro yang kelak memicu Perang Jawa 1825-1830. Faktor ekonomi juga menarik. Surakarta mengandalkan perdagangan gula dan kopi lewat tanah apanage, sementara Yogya mempertahankan sistem agraris tradisional dengan lumbung-lumbung raksasa. Ini tercermin dari relief di Bangsal Kencana yang penuh motif tanaman pangan versus ukiran kapal dagang di Sasana Sewaka Solo. Perbedaan paling menyolok? Surakarta melarang rakyatnya memakai keris di era 1840-an, sedangkan Yogya justru menggelar festival keris tiap malam 1 Suro sebagai bentuk resistensi kultural.

Bagaimana Kehidupan Budaya Di Kraton Surakarta Dan Yogyakarta 1769-1874?

3 Jawaban2025-11-22 17:33:19
Membicarakan kehidupan budaya di Kraton Surakarta dan Yogyakarta antara 1769-1874 itu seperti menyelami samudra tradisi yang masih terasa hidup sampai sekarang. Dua kerajaan ini, meski memiliki akar yang sama, berkembang dengan warna budaya yang unik. Surakarta, misalnya, menjadi pusat perkembangan sastra Jawa modern dengan karya-karya seperti 'Serat Centhini' yang digarap secara masif di era Pakubuwana IV. Sementara itu, Yogyakarta lebih kental dengan seni pertunjukan seperti wayang kulit dan tari klasik, yang sering dipentaskan untuk ritual kerajaan. Yang menarik, kedua kraton juga menjadi tempat percampuran budaya Islam-Jawa yang harmonis. Di Surakarta, kaligrafi Jawa-Islam menghiasi banyak bagian keraton, sementara di Yogyakarta, tradisi Sekaten yang berakar dari perayaan Maulid Nabi menjadi event akbar tahunan. Periode ini juga mencatat bagaimana seni batik keraton mulai berkembang pesat, dengan motif-motif khusus yang hanya boleh dipakai keluarga kerajaan.

Apakah Ada Kafe Buku Yang Buka 24 Jam Di Yogyakarta?

3 Jawaban2025-11-13 18:44:24
Kafe buku 24 jam di Yogyakarta masih cukup langka, tapi ada beberapa spot yang bisa memenuhi kebutuhan pecinta literasi sampai larut malam. Salah satu yang pernah kujelajahi adalah 'Literate Coffee' di sekitar UGM—meski bukan 24 jam, mereka sering buka hingga pukul 23.00 dan atmosfernya sangat cozy dengan rak buku penuh karya lokal. Aku suka menghabiskan waktu di sini sambil baca 'Pulang' karya Leila S. Chudori sembari menyeruput kopi susu gula aren. Kalau mencari yang benar-benar 24 jam, mungkin perlu eksplorasi ke coworking space seperti 'Jogja Digital Valley' yang kadang menyediakan sudut baca. Meski bukan kafe buku murni, suasana tenang dan koleksi buku digitalnya bisa jadi alternatif. Dulu pernah ketemu komunitas bookclub yang rutin kumpul di sini sampai subuh!

Apa Tempat Kencan Nomin Favorit Pasangan Muda Di Yogyakarta?

3 Jawaban2025-11-26 11:48:27
Minggu lalu, seorang teman bercerita tentang nongkrong di 'Klinik Kopi' di Jalan Timoho. Tempat ini punya vibes yang sempurna buat pasangan muda: lampu temaram, musik jazz yang nggak terlalu keras, dan menu kopi kreatif seperti 'Affogato Pandan' yang instagramable banget. Yang bikin special, ada sudut baca berisi komik indie dan novel lokal—cocok buat yang mau ngobrol santai sambil saling tunjukin selera literasi. Di lantai dua, ada space outdoor dengan view kota yang romantis banget pas sunset. Plus, harganya ramah kantong anak kuliahan! Mereka juga sering adain open mic night, jadi bisa jadi ide kencan yang nggak cuma minum kopi doang.

Bagaimana Ornamen Keraton Menjelaskan Ragam Hias Yogyakarta Asli?

3 Jawaban2025-10-22 04:47:48
Di lorong-lorong kayu Keraton aku sering berhenti lama, menatap ukiran yang seolah punya bahasa sendiri. Ornamen-ornamen itu sebenarnya kamus visual ragam hias Yogyakarta asli: tiap lengkungan, segitiga tumpal, dan pola kawung punya fungsi lebih dari sekadar cantik. Dari ukiran pintu sampai motif kain prada, ada konsistensi prinsip desain—pengulangan, simetri, dan stilisasi flora-fauna—yang menandai estetika keraton. Motif seperti 'kawung' dan 'sekar jagad' sering muncul sebagai lambang kemurnian dan alam semesta yang teratur; bentuk-bentuk tajam seperti 'tumpal' di pinggiran memberi ritme dan batas, menunjukkan relasi antara ruang suci dan ruang umum. Cara ornamen itu dibuat juga penting: pahatan kayu diberi warna emas dan merah, teknik prada pada kain menambah kilau yang menegaskan status. Bukan hanya soal warna, tapi juga skala dan tempat—ornamen di ambang pintu atau pada soko guru (tiang utama) dipilih untuk membisikkan nilai-nilai Keraton, seperti hierarki sosial dan kosmologi Jawa yang mengaitkan manusia dengan jagad raya. Ketika aku memperhatikan sisi repetitif pola, aku menangkap bagaimana para perajin memecah bentuk alami menjadi modul-modul geometri yang bisa dipakai ulang, inilah yang menjaga ragam hias tetap konsisten dan mudah dikenali sebagai Yogyakarta asli. Dari perspektif historis, kombinasi pengaruh Hindu-Buddha lama dan estetika Islam lokal membentuk bahasa visual ini—tak heran ornamen Keraton jadi rujukan bagi batik, wayang, hingga arsitektur rumah tradisional. Bagi aku, melihat ornamen itu seperti membaca cerita panjang: estetika, filosofi, dan teknik bertemu jadi satu, dan itu yang membuat ragam hias Yogyakarta terasa hidup dan otentik.

Siapa Perancang Kontemporer Yang Mengadaptasi Ragam Hias Yogyakarta?

3 Jawaban2025-10-22 21:28:31
Menyebut pereka kontemporer yang memanfaatkan ragam hias Yogyakarta selalu bikin aku semangat, karena pola dan filosofi di balik motif itu kaya banget dan gampang diplesetkan ke banyak medium. Dari sudut pandang aku yang suka ngulik busana dan tekstil, nama Iwan Tirta langsung nongol—dia bukan asli dari kebijakan keraton tapi reputasinya sebagai maestro batik modern nggak bisa dipandang sebelah mata. Iwan Tirta sering mengangkat motif-motif Jawa klasik (termasuk yang berakar dari tradisi keraton Yogya dan Solo) ke panggung internasional, mengadaptasi ragam hias itu jadi koleksi haute couture yang tetap terasa sangat Jawa. Di lintas yang lebih muda dan street/urban, Eko Nugroho dan Heri Dono adalah contoh bagaimana ragam hias Yogya dimodernisasi lewat seni rupa kontemporer. Mereka nggak sekadar menempelkan motif; mereka mereinterpretasi wayang, ukir, dan ornamen keraton menjadi narasi visual yang bisa muncul di kanvas, mural, bahkan kolaborasi fashion. Di ranah fashion komersial ada juga desainer seperti Didit Hediprasetyo atau Sebastian Gunawan yang sesekali memasukkan elemen batik dan ragam hias tradisional ke koleksi mereka—bukan hanya literal, tapi juga bermain pada struktur, palet warna, dan makna simbolik. Kalau kamu pengin lihat adaptasi yang lebih aplikatif, cari kolaborasi antara rumah batik lokal atau studio desain Yogya dengan label fashion atau furnitur kontemporer. Intinya, ragam hias Yogya hidup terus—bukan cuma di kain, tapi di karya seni, produk lifestyle, sampai instalasi—selama perancangnya paham konteks budaya dan berani memodifikasi tanpa mengabaikan asal-usulnya.
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status