Apa Perbedaan Utama Kraton Surakarta Dan Yogyakarta Tahun 1769-1874?

2025-11-22 20:42:54 115

3 Jawaban

Juliana
Juliana
2025-11-24 00:26:59
Menelusuri perbedaan dua keraton Jawa ini seperti membuka lembaran sejarah yang hidup. Surakarta Hadiningrat, meski sama-sama pewaris Mataram, memilih jalur diplomasi ketat dengan Belanda pasca Perjanjian Giyanti 1755. Arsitekturnya lebih 'terkungkung'—tembok tinggi dengan pola geometris ketat, simbol kepatuhan pada aturan kolonial. Sementara Yogyakarta di bawah Hamengkubuwono I justru mempertahankan semangat pemberontakan dalam balutan budaya. Candi Bentar di Plered dan gerbang tanpa pintu menjadi metafora keterbukaan. Uniknya, sistem kepatihan di Yogya lebih dinamis, melahirkan tokoh seperti Pangeran Diponegoro yang kelak memicu Perang Jawa 1825-1830.

Faktor ekonomi juga menarik. Surakarta mengandalkan perdagangan gula dan kopi lewat tanah apanage, sementara Yogya mempertahankan sistem agraris tradisional dengan lumbung-lumbung raksasa. Ini tercermin dari relief di Bangsal Kencana yang penuh motif tanaman pangan versus ukiran kapal dagang di Sasana Sewaka Solo. Perbedaan paling menyolok? Surakarta melarang rakyatnya memakai keris di era 1840-an, sedangkan Yogya justru menggelar festival keris tiap malam 1 Suro sebagai bentuk resistensi kultural.
Mila
Mila
2025-11-25 03:45:02
Kalau bicara tata pemerintahan 1769-1874, dua kraton ini bagai dua sisi mata uang. Yogya memberlakukan sistem 'pradikan' dimana desa tertentu bebas pajak sebagai pusat pendidikan agama—jejaknya masih terlihat di Pathok Negoro seperti Mlangi. Surakarta justru memusatkan kuasa di tangan patih dengan 12 biroket yang mirip birokrasi Eropa. Upacara Grebeg pun berbeda: di Solo lebih megah dengan gunungan berbentuk istana, sementara Yogya mempertahankan gunungan asli berisi hasil bumi.

Di bidang seni, pengaruh Belanda membuat Surakarta mengembangkan gaya lukis kaligrafi Islam dan portret raja ala Eropa. Tembang macapat di Solo juga mulai diiringi biola. Sebaliknya, Yogya mempertahankan gending-gending kuno seperti 'Udan Mas' dengan gamelan slendro penuh. Perbedaan ini masih bisa dirasakan sekarang—wayang kulit Surakarta pakai kelir biru dengan gaya pakeliran ketat, sedangkan Yogya merah menyala dengan improvisasi dalang lebih bebas.
Elijah
Elijah
2025-11-28 16:39:04
Dari sudut keseharian masyarakat, dua keraton ini punya warna berbeda. Surakarta di era Pakubuwono IV (1788-1820) terkenal dengan keputren ketat dimana putri raja harus mahir menulis Jawa dan berhitung. Sementara di Yogya, perempuan bangsawan justru diajarkan bela diri dan filosofi Serat Centhini. Pakaian abdi dalem Solo lebih formal dengan surjan lurik dan blangkon model soloan, sementara Yogya mempertahankan kampuh beludru dan udeng gaya Mataram kuno.

Pasar tradisionalnya juga mencerminkan perbedaan. Pasar Gedhe Solo penuh barang impor seperti kaca Belanda dan tekstil India, sementara Beringharjo Yogya tetap jadi pusat rempah-rempah dan kerajinan perak. Pola permukiman di Solo lebih teratur dengan kampung-kampung berdasarkan profesi (Pasar Kliwon, Kauman), sedangkan Yogya mempertahankan pola radiocentris dengan kraton sebagai pusatnya.
Lihat Semua Jawaban
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Buku Terkait

Setelah 17 Tahun
Setelah 17 Tahun
Laura dan Launa harus terpisah saat seorang mantan pembantu bernama Weny menculiknya. Dua kepribadian mereka sangat berbeda setelah berumur 17 tahun. Launa mempunyai bakat melihat hantu. Launa selalu ditindas di sekolah sampai akhirnya menemukan sosok hantu tampan Ardiaz yang menemuinya. beda dengan Laura sifat manja dan angkuh ada di dirinya. Sampai sebuah kejadian menjijikkan menimpanya. Akankah mereka bisa bertemu kembali? bagaimana Launa bisa lari dari kekejaman Weny.
10
72 Bab
SETELAH 17 TAHUN PERNIKAHAN
SETELAH 17 TAHUN PERNIKAHAN
[Menantumu sakit, Bu Nur? Sayang sekali. Padahal aku suka cara dia bekerja. Terpaksa aku harus cari karyawan lain,] Suara wanita di rekaman itu terdengar jelas. [Iya, Amira sudah sebulan hanya bisa berbaring saja. Kedua kakinya lumpuh. Kata dokter gejala stroke ringan. Oleh karena ini aku sangat terpukul. Sedih sekali rasanya, sebab kasihan sekali melihat Habib, karena istrinya sakit begini, Habib harus mengurus dirinya sendiri.] [Semoga Amira lekas sembuh, ya. Amiin.] [Amira tidak akan sembuh, Bu Sarah. Dia terserang stroke. Tidak mungkin sembuh lagi. Oleh karena ini aku memilih untuk menyuruh Habib menghalalkan Laila. Aku dan Habib sudah bicara soal ini dan dia setuju. Selanjutnya aku akan membicarakan hal ini pada Amira] "Ya Allah," Amira mengelus dada, lebih tepatnya ia terkesiap. [Apa? Menikahi Laila maksudnya?] [Apalagi kalau bukan? Itu bukan dosa, kenapa kau harus terkejut?]
10
45 Bab
Dibalik perbedaan
Dibalik perbedaan
Berikut sinopsis yang sesuai: **Judul: Di Balik Perbedaan** Alaric, seorang pesulap jalanan yang miskin, hidup dari panggung ke panggung dengan trik-trik sulapnya yang sederhana. Ia menjalani kehidupan yang keras, mencari nafkah dengan caranya sendiri di antara hiruk pikuk pasar malam. Di sisi lain, Putri Seraphina hidup di balik tembok istana yang megah dan penuh kemewahan. Meskipun hidupnya serba berkecukupan, ia merasa terjebak dalam peraturan kerajaan yang kaku dan perjodohan yang sudah diatur. Seraphina mendambakan kebebasan yang tidak pernah ia rasakan, Pertemuan tak terduga ini mengubah hidup keduanya. Alaric terpesona oleh kecantikan dan keberanian Seraphina, sementara Seraphina terkesima dengan pesona dan trik-trik magis Alaric. Namun, cinta mereka harus menghadapi rintangan besar: status sosial yang sangat berbeda, ancaman dari para penjaga kerajaan, dan rahasia kelam tentang asal-usul Alaric yang perlahan terungkap. "Di Balik Perbedaan" adalah kisah epik tentang cinta terlarang, keberanian, dan impian yang berusaha diraih meski dunia berusaha memisahkan mereka. Apakah cinta seorang pesulap miskin cukup kuat untuk melawan takdir yang telah ditetapkan bagi sang putri? Ataukah perbedaan di antara mereka akan menjadi tembok yang tak terjangkau selamanya?
Belum ada penilaian
25 Bab
Excite 17
Excite 17
Aku hanya gadis belia, yang masih mencari jati diri. Yang luluh saat dia memberikanku kenyamanan. Namun, aku tidak tahu ini cinta atau bukan, kami tidak pernah mengatakan saling mencintai. Mungkin hanya sebuah ego, karena di antara kami hanya ada hasrat saling membutuhkan. Aku selalu mengabaikan hal itu, yang penting aku selalu bisa bersamanya. Hingga semuanya terasa semakin sulit, selain umur kami yang terpaut sangat jauh, dia juga guruku dan majikan Ibu.
10
51 Bab
ARTI SEBUAH PERBEDAAN
ARTI SEBUAH PERBEDAAN
Perbedaan status yang memisahkan mereka yang diakhiri dengan kerelaan gadis itu melihat pasangannya memiliki kehidupan yang bahagia bersama dengan keluarganya, itulah cerminan cinta sejati dari gadis lugu itu.
10
111 Bab
Surakarta, Aku Cinta Dia
Surakarta, Aku Cinta Dia
Gienka Neyza Jace, 18 tahun, mahasiswi cantik yang berkuliah di salah satu Universitas Swasta di Madiun, sebuah kota kecil yang sering disebut sebagai kota "Pecel". Gienka yang belum pernah berpacaran sebelumnya, jatuh hati pada seorang pria berparas tampan. Pria itu adalah pemilik sebuah kedai di kota kecil tersebut. Setelah memutuskan untuk berpacaran, dia menyadari ada yang salah dengan pacarnya tersebut. Di tengah keraguan hatinya, dia bertemu dengan mahasiswa yang membuatnya merasa nyaman hanya dengan melihat senyumnya.
10
17 Bab

Pertanyaan Terkait

Rekomendasi Toko Buku Bagus Di Yogyakarta Untuk Mahasiswa?

4 Jawaban2025-09-28 04:16:43
Ketika berbicara tentang toko buku di Yogyakarta, satu tempat yang selalu terlintas di pikiranku adalah 'Gado-Gado Bookshop'. Tempat ini memiliki suasana yang sangat cozy, cocok untuk mahasiswa yang ingin mencari referensi buku atau sekadar santai. Dengan berbagai genre buku, dari fiksi hingga non-fiksi, kamu pasti akan menemukan sesuatu yang menarik. Selain itu, mereka sering mengadakan acara diskusi dan bedah buku yang pastinya keren untuk menambah wawasan. Hal yang membuat Gado-Gado makin spesial adalah koleksi buku-buku indie dan zine yang sering kali nggak ditemukan di tempat lain. Mereka juga punya café kecil yang menyajikan kopi enak, jadi kamu bisa duduk dan menikmati sebentar setelah berkeliling. Aku sering menghabiskan waktu di sini, duduk sambil membaca atau ngobrol dengan teman-teman tentang buku yang kami temukan. Tempat ini benar-benar menjadi sanctuary bagi para pecinta buku dan mahasiswa yang butuh inspirasi!

Bagaimana Perajin Batik Menggunakan Ragam Hias Yogyakarta Pada Kain?

3 Jawaban2025-10-22 06:26:35
Ritme membatik di workshop kecil itu selalu bikin aku fokus: bau malam yang meleleh, suara canting yang kecipak, dan kain putih yang berubah jadi peta motif. Aku sering ikut dari tahap paling awal, jadi aku tahu betul bagaimana perajin Yogyakarta menerapkan ragam hiasnya ke kain. Pertama, kain dipersiapkan—dicuci supaya tidak ada minyak atau kotoran yang mengganggu penyerapan warna. Setelah kering, desain ditandai; kadang pakai pensil tipis, tapi lebih sering langsung pakai cap tembaga atau canting. Di Yogyakarta, pola seperti 'parang', 'kawung', 'ceplok', dan tumpal sering jadi pilihan. Untuk motif yang berulang, perajin pakai cap supaya rapi dan konsisten; untuk detail halus, canting tangan yang kecil dipakai. Teknik wax-resist itu krusial: lilin panas digambar pada kain sesuai pola, lalu kain dicelup dari warna muda ke gelap berurutan sehingga motif yang terlindungi tetap cerah. Setelah pewarnaan selesai, kain direbus atau disetrika di atas rak panas untuk menghilangkan malam. Tahap finishing ini penting supaya warna keluar sempurna dan tekstur kain lembut. Aku suka bagian ini karena motif yang tadinya samar tiba-tiba muncul jelas—langsung keliatan identitas Yogyakarta: keseimbangan bentuk, palet warna 'sogan' cokelat-kuning, dan penempatan motif yang memperhatikan tata letak kain seperti bagian tengah, tepi, dan tumpal. Rasanya selalu memuaskan menyentuh kain yang sudah jadi, karena setiap lekuk motif ada cerita tangan perajin di situ.

Bagaimana Kehidupan Budaya Di Kraton Surakarta Dan Yogyakarta 1769-1874?

3 Jawaban2025-11-22 17:33:19
Membicarakan kehidupan budaya di Kraton Surakarta dan Yogyakarta antara 1769-1874 itu seperti menyelami samudra tradisi yang masih terasa hidup sampai sekarang. Dua kerajaan ini, meski memiliki akar yang sama, berkembang dengan warna budaya yang unik. Surakarta, misalnya, menjadi pusat perkembangan sastra Jawa modern dengan karya-karya seperti 'Serat Centhini' yang digarap secara masif di era Pakubuwana IV. Sementara itu, Yogyakarta lebih kental dengan seni pertunjukan seperti wayang kulit dan tari klasik, yang sering dipentaskan untuk ritual kerajaan. Yang menarik, kedua kraton juga menjadi tempat percampuran budaya Islam-Jawa yang harmonis. Di Surakarta, kaligrafi Jawa-Islam menghiasi banyak bagian keraton, sementara di Yogyakarta, tradisi Sekaten yang berakar dari perayaan Maulid Nabi menjadi event akbar tahunan. Periode ini juga mencatat bagaimana seni batik keraton mulai berkembang pesat, dengan motif-motif khusus yang hanya boleh dipakai keluarga kerajaan.

Apakah Ada Kafe Buku Yang Buka 24 Jam Di Yogyakarta?

3 Jawaban2025-11-13 18:44:24
Kafe buku 24 jam di Yogyakarta masih cukup langka, tapi ada beberapa spot yang bisa memenuhi kebutuhan pecinta literasi sampai larut malam. Salah satu yang pernah kujelajahi adalah 'Literate Coffee' di sekitar UGM—meski bukan 24 jam, mereka sering buka hingga pukul 23.00 dan atmosfernya sangat cozy dengan rak buku penuh karya lokal. Aku suka menghabiskan waktu di sini sambil baca 'Pulang' karya Leila S. Chudori sembari menyeruput kopi susu gula aren. Kalau mencari yang benar-benar 24 jam, mungkin perlu eksplorasi ke coworking space seperti 'Jogja Digital Valley' yang kadang menyediakan sudut baca. Meski bukan kafe buku murni, suasana tenang dan koleksi buku digitalnya bisa jadi alternatif. Dulu pernah ketemu komunitas bookclub yang rutin kumpul di sini sampai subuh!

Apa Tempat Kencan Nomin Favorit Pasangan Muda Di Yogyakarta?

3 Jawaban2025-11-26 11:48:27
Minggu lalu, seorang teman bercerita tentang nongkrong di 'Klinik Kopi' di Jalan Timoho. Tempat ini punya vibes yang sempurna buat pasangan muda: lampu temaram, musik jazz yang nggak terlalu keras, dan menu kopi kreatif seperti 'Affogato Pandan' yang instagramable banget. Yang bikin special, ada sudut baca berisi komik indie dan novel lokal—cocok buat yang mau ngobrol santai sambil saling tunjukin selera literasi. Di lantai dua, ada space outdoor dengan view kota yang romantis banget pas sunset. Plus, harganya ramah kantong anak kuliahan! Mereka juga sering adain open mic night, jadi bisa jadi ide kencan yang nggak cuma minum kopi doang.

Bagaimana Ornamen Keraton Menjelaskan Ragam Hias Yogyakarta Asli?

3 Jawaban2025-10-22 04:47:48
Di lorong-lorong kayu Keraton aku sering berhenti lama, menatap ukiran yang seolah punya bahasa sendiri. Ornamen-ornamen itu sebenarnya kamus visual ragam hias Yogyakarta asli: tiap lengkungan, segitiga tumpal, dan pola kawung punya fungsi lebih dari sekadar cantik. Dari ukiran pintu sampai motif kain prada, ada konsistensi prinsip desain—pengulangan, simetri, dan stilisasi flora-fauna—yang menandai estetika keraton. Motif seperti 'kawung' dan 'sekar jagad' sering muncul sebagai lambang kemurnian dan alam semesta yang teratur; bentuk-bentuk tajam seperti 'tumpal' di pinggiran memberi ritme dan batas, menunjukkan relasi antara ruang suci dan ruang umum. Cara ornamen itu dibuat juga penting: pahatan kayu diberi warna emas dan merah, teknik prada pada kain menambah kilau yang menegaskan status. Bukan hanya soal warna, tapi juga skala dan tempat—ornamen di ambang pintu atau pada soko guru (tiang utama) dipilih untuk membisikkan nilai-nilai Keraton, seperti hierarki sosial dan kosmologi Jawa yang mengaitkan manusia dengan jagad raya. Ketika aku memperhatikan sisi repetitif pola, aku menangkap bagaimana para perajin memecah bentuk alami menjadi modul-modul geometri yang bisa dipakai ulang, inilah yang menjaga ragam hias tetap konsisten dan mudah dikenali sebagai Yogyakarta asli. Dari perspektif historis, kombinasi pengaruh Hindu-Buddha lama dan estetika Islam lokal membentuk bahasa visual ini—tak heran ornamen Keraton jadi rujukan bagi batik, wayang, hingga arsitektur rumah tradisional. Bagi aku, melihat ornamen itu seperti membaca cerita panjang: estetika, filosofi, dan teknik bertemu jadi satu, dan itu yang membuat ragam hias Yogyakarta terasa hidup dan otentik.

Siapa Perancang Kontemporer Yang Mengadaptasi Ragam Hias Yogyakarta?

3 Jawaban2025-10-22 21:28:31
Menyebut pereka kontemporer yang memanfaatkan ragam hias Yogyakarta selalu bikin aku semangat, karena pola dan filosofi di balik motif itu kaya banget dan gampang diplesetkan ke banyak medium. Dari sudut pandang aku yang suka ngulik busana dan tekstil, nama Iwan Tirta langsung nongol—dia bukan asli dari kebijakan keraton tapi reputasinya sebagai maestro batik modern nggak bisa dipandang sebelah mata. Iwan Tirta sering mengangkat motif-motif Jawa klasik (termasuk yang berakar dari tradisi keraton Yogya dan Solo) ke panggung internasional, mengadaptasi ragam hias itu jadi koleksi haute couture yang tetap terasa sangat Jawa. Di lintas yang lebih muda dan street/urban, Eko Nugroho dan Heri Dono adalah contoh bagaimana ragam hias Yogya dimodernisasi lewat seni rupa kontemporer. Mereka nggak sekadar menempelkan motif; mereka mereinterpretasi wayang, ukir, dan ornamen keraton menjadi narasi visual yang bisa muncul di kanvas, mural, bahkan kolaborasi fashion. Di ranah fashion komersial ada juga desainer seperti Didit Hediprasetyo atau Sebastian Gunawan yang sesekali memasukkan elemen batik dan ragam hias tradisional ke koleksi mereka—bukan hanya literal, tapi juga bermain pada struktur, palet warna, dan makna simbolik. Kalau kamu pengin lihat adaptasi yang lebih aplikatif, cari kolaborasi antara rumah batik lokal atau studio desain Yogya dengan label fashion atau furnitur kontemporer. Intinya, ragam hias Yogya hidup terus—bukan cuma di kain, tapi di karya seni, produk lifestyle, sampai instalasi—selama perancangnya paham konteks budaya dan berani memodifikasi tanpa mengabaikan asal-usulnya.

Perajin Merekomendasikan Bahan Apa Untuk Ragam Hias Yogyakarta?

3 Jawaban2025-10-22 21:28:43
Denger-denger motif Jogja itu kaya harta karun, jadi aku selalu pilih bahan yang berakar dari lokal dan mudah dikerjakan di tangan sendiri. Sebagai seseorang yang suka menguliti teknik tradisional, aku paling sering merekomendasikan kain mori katun untuk pemula—serbaguna, mudah dicelup, dan menerima malam batik dengan baik. Untuk proyek yang mau tampak lebih mewah, aku pakai sutra atau katun primisima. Kalau mau tone yang lebih tradisional, cari pewarna alam: nila untuk biru, secang atau kayu secang untuk merah-cokelat, dan warna tanah dari soga. Agar warna nempel kuat, gunakan tawas (alum) sebagai mordant dan jangan lupa uji noda dulu. Untuk alat, canting dan malam itu wajib bila mau batik tulis; kalau mau cepat, cap tembaga dan stempel kayu (cap) mempermudah pengulangan motif seperti Parang, Kawung, atau Ceplok. Di luar tekstil, ragam hias Jogja juga hidup di media lain—ukiran kayu cocok pakai kayu jati atau sonokeling yang padat, anyaman pandan atau bambu untuk ornamen, serta tanah liat lokal untuk gerabah dengan glasir sederhana. Untuk detail halus pada kayu, pahat kecil dan amplas lembut jadi teman setia. Intinya: pilih bahan yang sesuai tujuan (pakaian, pajangan, atau furnitur), pakai pewarna alami kalau mau otentik, dan praktikkan teknik finishing agar motif tahan lama. Aku senang melihat motif-motif ini tetap hidup karena bahan lokal memang punya karakter yang nggak bisa ditiru asal-asalan.
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status