Membandingkan historiografi Indonesia dan Barat itu seperti membandingkan dua lukisan dari zaman berbeda—satu dipengaruhi oleh warna lokal yang kental, sementara yang lain mengusung teknik perspektif yang ketat. Historiografi Indonesia sering kali dibangun di atas narasi kolektif, di mana mitos, tradisi lisan, dan 'babad' berperan besar. Contohnya, '
Babad Tanah Jawi' tidak sekadar mencatat fakta, tapi juga menyulam nilai spiritual dan legitimasi kekuasaan. Sementara itu, historiografi Barat modern cenderung menekankan objektivitas, sumber primer yang diverifikasi, dan analisis kritis seperti dalam karya Leopold von Ranke. Uniknya, di Indonesia, sejarah sering 'hidup' dalam wayang atau ritual, bukan hanya di teks kering.
Perbedaan lain terletak pada tujuan penulisan. Jika Barat banyak memakai sejarah untuk memahami pola perubahan sosial (seperti 'The Decline and Fall of the Roman Empire'-nya Edward Gibbon), historiografi Indonesia kerap berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa—liat saja bagaimana Soekarno menggunakan narasi Majapahit dan Sriwijaya untuk membangun identitas nasional. Barat mungkin skeptis pada meta-narasi, tapi kita justru melihatnya sebagai perekat.