Ada sesuatu yang bikin cerita terasa seperti napas pendek: tokoh yang datang, menunggu, lalu pergi — dan aku selalu suka rasa pahit-manisnya itu.
Kalau ngomong tentang apa artinya, intinya tokoh semacam ini berfungsi sebagai katalisator emosional atau naratif. Dia muncul di momen tertentu, sering tanpa banyak penjelasan, melakukan sesuatu yang mengubah arah hidup tokoh utama atau menyingkap kebenaran kecil, kemudian menghilang begitu saja. 'Datang' di sini bukan cuma fisik; bisa berupa kehadiran emosional atau peran sementara dalam kehidupan orang lain. 'Menunggu' lebih ke fase di mana dia diam, memberi ruang, mengamati, atau membuat orang lain bersikap — kadang menunggu penebusan, jawaban, atau
kesempatan terakhir. Lalu 'pergi' menandakan bahwa hubungan itu tidak bersifat permanen; pergi bisa jadi nyata, simbolis, atau bahkan kematian. Intinya: tokoh itu adalah titik fokus sementara yang memicu perubahan dan meninggalkan bekas.
Motivasinya beragam dan itulah yang membuat trope ini menarik. Beberapa datang karena tugas atau misi — misalnya pemandu jiwa atau pengembara yang membantu lalu melanjutkan perjalanan. Ada juga yang datang karena rasa bersalah atau penyesalan, menunggu kesempatan menebus sebelum menghilang. Seringkali mereka takut berkomitmen dan memilih meninggalkan agar tidak menyakiti atau dirugikan. Dari sisi penulisan, peran mereka bisa sangat berguna: membuka rahasia, mempercepat pertumbuhan
karakter utama, atau memberi momen emosional intens tanpa harus menjadi fokus panjang. Contoh yang sering terlintas di kepalaku adalah 'Mushishi' — Ginko datang ke desa, membantu dengan masalah ghaib, lalu pergi lagi; keberadaannya berfungsi sebagai jembatan antara dunia manusia dan yang tak terlihat. Di sisi lain, film seperti '5 Centimeters per Second' menangkap nuansa pertemuan singkat yang membekas selama hidup, walau tokohnya tidak selalu kembali.
Buat penulis yang ingin memakai trope ini, kunci agar tidak terasa klise adalah memberi alasan emosional yang jelas dan konsekuensi nyata terhadap tokoh lain. Jangan cuma biarkan mereka datang dan pergi tanpa meninggalkan dampak; tunjukkan bagaimana satu percakapan kecil, satu tindakan, atau satu hadiah bisa mengubah cara tokoh utama melihat diri sendiri. Visual dan detail kecil bekerja baik: aroma kopi yang tersisa, jejak di jalan, fragmen dialog yang diulang di kepala tokoh lain. Untuk pembaca, tokoh seperti ini sering membuat resonansi kuat karena mereka mirip kenangan manusia nyata — datang tiba-tiba, membuat kita berubah, lalu pergi dan tak bisa dipegang lagi.
Akhirnya, saya selalu merasa tokoh yang muncul sebentar lalu menghilang itu seperti catatan kecil di buku harian hidup: singkat, intens, dan tak terlupakan. Mereka mengajarkan kita tentang kehilangan, peluang, dan bagaimana satu momen bisa mengubah segalanya — dan kadang justru karena mereka tidak menetap, kenangan itu jadi lebih berharga.