“Mau sampai kapan sih, Yud? Kamu sudah tiga puluh lima tahun.”
Yudha yang hendak menyuapkan nasi ke dalam mulutnya itu sontak menghela napas panjang, meletakkan kembali sendok berisi nasi ke atas piring dan menatap ibunya dengan saksama. Ningsih yang ditatap sedemikian serius oleh sang anak pun membalas tatapan itu, netra mereka beradu untuk sepersekian detik, hingga kemudian Yudha yang mengalah dan menundukkan kepalanya.
“Kariermu sudah oke banget. Dokter iya, dosen iya, terus kamu mau cari apa lagi sih?”
Yudha membisu, dia tahu betul sia-sia berdebat melawan ibunya dalam kondisi seperti ini. Semuanya akan dilibas wanita paruh baya itu dengan begitu mudah dan Yudha? Tentu akan kalah telak!
“Mau cari calon yang kayak siapa? Maudy Ayunda? Atau Mikha Tambayong? Apa malah yang kayak Cinta Laura?” Ningsih melirik Yudha yang tampak jemu itu. “Kalau yang kamu bidik mereka, harusnya kamu jadi pengusaha saja, jangan jadi dokter.”
“Bu ....” Yudha akhirnya bersuara. “Tujuan Ibu kesini cuma buat terus nekan Yudha biar nikah?”
Ningsih meletakkan pisau rotinya, ditatapnya anak bungsunya itu dengan saksama. “Ya jelaslah! Kamu itu ya, kenapa sih nggak das-des cari jodoh? Masih mau cari apa lagi sih, Yud? Rumah segede gini, mobil ada dua di garasi, karier cemerlang, pasien banyak. Lantas kamu masih mau cari apa?” Suara Ningsih mulai melengking, membuat Yudha auto sakit kepala.
“Nggak malu sama anak-anak kemarin sore pada udah nikah, punya anak? Kamu yang sudah mau kepala empat malah pacar aja nggak punya. Kamu nggak punya penyimpangan seksual, kan Yud?”
Sontak Yudha melotot, ia menatap gemas pada sang ibu. Penyimpangan seksual? Yang benar saja! Dia masih doyan wanita! Yudha meneguk isi gelasnya, lalu memijit keningnya perlahan-lahan. Selalu begini, tiap ibunya mengunjungi dirinya di Solo, selalu keributan macam ini yang terjadi. Membuat Yudha selalu sakit kepala berkepanjangan.
“Yudha normal, Bu. Masih doyan cewek.”
“Nah, makanya itu! Kamu emang nggak kebelet kawin apa? Nggak pengen ngerasain kawin itu kayak gimana rasanya? Heran Ibu sama kamu, Yud!” Kembali Ningsih mengoceh, membuat Yudha rasanya ingin kabur melarikan diri dari meja makan saat ini juga.
“Nggak sayang apa dulu yang sunat? Sampai sekarang burungnya malah kamu anggurin nggak dipakai.”
Yudha yang mencoba kembali fokus sarapan sontak tersedak nasi yang memenuhi mulutnya. Sebuah insiden yang makin membuat Ningsih mengomel panjang-lebar.
“Nah, gitu aja keselek. Makanya cari bini biar kamu ada yang ngurusin. Kelamaan jomblo sih,” omel Ningsih sambil menyodorkan gelas miliknya yang masih penuh.
Yudha meneguk gelas itu hingga isinya kandas. Ia segera meletakkan gelas itu dan menatap sang ibu dengan mata membulat.
“Bu, korelasinya keselek, jomblo sama punya istri itu apa sih, Bu? Emang orang keselek itu tanda kalau dia sudah harus nikah?” Yudha benar-benar tidak mengerti.
Sebagai anak, ia tentu akan sangat merindukan sang ibu, terlebih sekarang mereka tinggal di beda kota. Tetapi kalau tiap datang ke sini mengunjungi dirinya selalu hal ini yang dipermasalahkan dan diributkan oleh Ningsih, rasanya Yudha tidak sanggup.
“Lagian Yudha sunat itu wajib, kan, Bu, sesuai ajaran agama? Di dunia medis juga dianjurkan untuk menjaga kebersihan. Nggak melulu orang sunat itu terus cuma buat kawin aja tujuannya.” Gerutu Yudha dengan wajah memerah.
“Ya rugi sakit-sakit sunat kalau burungnya nggak dipakai kawin.”
Yudha menggelengkan kepalanya dengan gemas, rasanya ia sudah menyerah menghadapi ibunya ini.
“Bu, tapi kan--.”
“Dah begini aja,” potong Ningsih cepat. “Ibu kasih kamu waktu satu bulan buat bawa calon istri kamu ke Ibu. Kalau sampai satu bulan kamu nggak bawain calon ke rumah, ibu nikahin kamu sama Tere.”
Kembali mata Yudha terbelalak, Tere? Tere siapa? Jangan bilang kalau ....
“Tere anaknya Pak Kadus itu? Yang suka ingusan sampai ingusnya seijo lumut?” Hampir Yudha berteriak. Gila aja!
“Sekarang dia cantik, udah nggak ingusan lagi,” tukas Ningsih sambil tersenyum jahil.
“DIA UMUR BERAPA, BU?” Kini Yudha berteriak. Pasalnya bocah itu lahir ketika Yudha lulus SMA.
“Tujuh belas tahun.” jawab Ningsih santai.
“TUJUH BELAS TAHUN?” Yudha sontak lemas. Pria matang dan mapan seperti dia harus menikahi bocah 17 tahun? Astaga, apakah tidak ada calon lain yang lebih potensial untuk menyandang gelar sebagai nyonya Yudha Anggara Yudhistira?
“Pokoknya Ibu nggak mau tahu! Bulan depan bawa calonmu ke rumah! Bulan berikutnya biar Ibu lamarkan dia dan bulan depannya lagi kamu sudah harus nikah. TITIK.”
Yudha kembali membelalakkan matanya, “APA?”
***
Yudha membawa mobilnya dengan sedikit gusar. Menikahi Tere? Mimpi apa Yudha semalam sampai dia harus menikahi bocah kemarin sore macam Tere itu? Yudha bukan hanya seorang dokter bedah, melainkan juga seorang dosen di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri yang ada di kota ini. Dan dia harus menikahi gadis macam Tere itu? Ya ampun!
“Dikira cari istri itu cuma tinggal comot doang? Ya ampun, Bu ... Bu ...,” Yudha mendesis kesal, dia dalam perjalanan ke kampus, ada kuliah pagi sebelum dia harus praktik di rumah sakit.
Menikah.
Siapa sih yang tidak ingin menikah? Hanya saja berkali-kali gagal menjalin hubungan membuat Yudha menyerah dan tidak ingin membuang waktunya dengan percuma. Hal yang kemudian membuat Yudha lebih asyik kembali sekolah dan fokus pada karier.
Dan tahun ini, dia sudah genap 35 tahun. Sebuah angka yang membuat Ningsih, sang ibu, kelabakan karena sampai detik ini tidak pernah Yudha menceritakan jika ia tengah dekat dengan wanita, suka terhadap wanita.
“Cari bini di mana, ya Allah?” desisnya frustrasi.
Sebenarnya banyak kok yang mau dengan sosok dokter bedah satu itu. Postur tinggi-tegap dengan rahang kokoh, hidung mancung dan kulit putih membuat pesona Yudha hampir mirip aktor-aktor Korea yang bermain di Hospital Playlist. Para mahasiswi baik di kampus maupun di rumah sakit selalu bersemangat ketika sosok ini mengajar, tidak peduli Yudha begitu killer dan judes, di mata para mahasiswi itu Yudha bagaikan perwujudan Dewa Hermes dalam mitologi Yunani dan Arjuna dalam mitologi Mahabharata.
Namun Yudha cenderung cuek dan abai pada setiap mata yang memandang dan berharap bisa lebih dekat dengan dirinya. Ia sudah kehilangan gairahnya menjalin hubungan dengan lawan jenis. Fokusnya hanya pada karier, pasien dan penelitian-penelitiannya.
“Sama dokter internship ... nggak ada yang cocok.”
“Dokter definitif ... sudah punya anak semua yang cewek.”
“Dokter residen ... nggak ada yang menarik.”
Yudha baru sadar, selama ini dia bahkan tidak punya waktu untuk sekadar menatap dan memperhatikan wanita-wanita di sekelilingnya.
“Ya Allah ... jodohnya Yudha kemana sih ya Allah?”
Yudha memarkirkan mobilnya di area pakir Fakultas Kedokteran universitas tempat dia mengajar. Tas ranselnya sudah naik ke punggung, ia sudah mematut diri dan semuanya tampak rapi. Yudha melangkah dengan begitu tenang, beberapa kali menyungginkan senyum tipis ketika ada yang menyapanya. Dia hendak melangkah keluar dari area parkir ketika kakinya menginjak sesuatu.Yudha menundukkan tubuhnya, meraih benda berwarna pink dengan gambar babi itu.“Flashdisk?”Alis Yudha berkerut, ia menggeleng dan membawa flashdisk itu dalam genggmannya. Mungkin milik salah satu mahasiswinya. Ia terus melangkah, sambil menghilangkan perlahan-lahan rasa dongkol yang bercokol di dalam hatinya, efek obrolan membosankan bersama sang ibu.***“Cari yang bener dong, Rin!”Karina sontak mendengus, memutar bola matanya dengan gemas sambil menatap Heni yang tampak ikut panik.Bagaimana tidak panik kalau 30 menit lagi Karina harus sidang skrip
Dan di sinilah Yudha berada sekarang, duduk di sebelah Karina, mahasiswi paling menjengkelkan dalam sepanjang karier Yudha menjadi dosen. Ya ... walaupun baru 2 tahun ini dia menjadi tenaga pengajar di universitas, tetapi sungguh baru kali ini dia bertemu dengan makhluk semenyebalkan Karina.“Jadi bagaimana, Karina?” tanya Profesor Pamudji, dekan Fakultas Kedokteran itu sambil menatap keduanya secara bergantian.“Saya mau mengajukan protes, Prof!” ujar gadis itu tanpa takut, yang sontak membuat Yudha melonjak kaget. Edan! Berani benar rupanya makhluk satu ini!“Protes yang seperti?” tampak Profesor Pamudji menatap Yudha yang terkejut itu, ia masih mencoba tenang dan hendak menyimak apa yang hendak mahasiswi semester 4 itu keluhkan.“Saya keberatan dengan para dosen yang seenaknya bikin peraturan tidak boleh ikut kelas ketika ada mahasiswa yang terlambat! Itu sangat merugikan. Kami di sini bayar SPP juga, Prof. Uan
"Si Joni kemarin istrinya lahiran loh, Yud!"Yudha sontak lemas. Benar, kan? Di hari kedua ibunya di sini, pasti itu yang bakalan dia bahas! Sudah Yudha tebak!"Ya baguslah, Bu. Nambah personil, nambah rejeki." Begitu, kan, kata orang tua zaman dulu? Semboyan yang membuat satu KK sampai punya belasan anggota keluarga, banyak anak banyak rejeki!"Ya makanya itu ... Kamu kapan nikah, Yud?"Skakmat!Kepala Yudha langsung berputar, rasanya ia ingin melesat masuk ke dalam kamar, tapi meninggalkan ibunya seorang diri di depan TV seperti ini? Itu mencari ribut namanya!"Nanti lah, kerjaan Yudha lagi padet, Bu." Jawab Yudha berharap ibunya tidak lagi membahas hal itu. Namun agaknya Yudha salah, karena sedetik kemudian, Ningsih langsung membelalak dan nampak tidak kesal dengan jawaban yang keluar dari mulut sang anak."Nanti terus! Dari kamu lulus jadi dokter sampai sekarang sudah spesialis tiap ditanya kapan nika
"Mimpi apa sih aku semalam, Hen?" Desah Karina sambil menyusut air mata.Heni menghela nafas panjang, ia menyodorkan tissu pada Karina. "Sudahlah, kamu sepuluh menit lagi sidang dan malah nangis sesegukan kayak gini? Kan file presentasi kamu udah ketemu, Rin."Karina menghentakkan kakinya ke lantai, tampak terlihat dia begitu frustasi."Ketemu sih, cuma aku bayarnya harus pakai masa depan, Hen!" Kembali Karina terisak, sungguh simalakama sekali. Tidak ketemu flashdisk itu sama saja dia harus menunda wisuda S1-nya, dan sekarang ketemu, dia harus menukarnya dengan masa depan cemerlang yang sudah Karina rancang sejak lama, tidak adakah pilihan lain?"Kamu sih!" Heni menggebuk punggung Karina dengan gemas, "Siapa suruh asal njeplak ngomong tadi? Pakai bawa-bawa nama Tuhan lagi, rasain sekarang!"Tangis Karina makin kencang, membuat Heni kembali menggebuk punggung itu dengan kesal."Aku lagi kena sial kenapa kamu malah nyalahin
Karina menatap gelisah pintu ruangan itu. Beberapa mahasiswa menatapnya sambil berbisik-bisik. Tentu tanpa perlu mendengarkan apa yang tengah mereka bisikkan, Karina sudah tahu mereka tengah membicarakan dirinya perihal nasib sial yang harus dia terima akibat sembarangan mengucap sumpah beberapa jam yang lalu.Ia sudah selesai sidang skripsi, dan sesuai yang sudah tadi sosok itu bicarakan, Karina hendak membicarakan hal itu. Membicarakan sumpahnya, ah tidak ... Lebih tepatnya hendak memohon sosok itu agar tidak menganggap semua tadi serius.Karina hendak melangkah masuk ketika suara langkah kaki itu memaksanya menoleh. Sosok itu -dokter Yudha- tampak melangkah dengan penuh percaya diri dan begitu gagah. Membuat Karina tertegun sesaat karena baru menyadari bahwa sosok itu luar biasa mempesona."Cari saya?" Tanya sosok itu sambil tersenyum.'Iya lah cari kamu, memang siapa lagi?' Karina mengumpat dalam hati, hanya berani di dalam
"Bismillah dulu sebelum buka amplopnya."Pandangan Karina yang semula tertuju pada amplop di tangannya sontak beralih pada sosok berjilbab itu. Dokter Rasya tersenyum begitu manis, membuat jantung Karina makin kencang berdegub. Di dalam amplop itu ada secarik kertas yang menentukan hidupnya setelah ini. Ah ... maksudnya menentukan nasib perjalanan pre-kliniknya yang sudah tiga setengah tahun dia lalui."Bismillah, ya Allah," desis Karina lirih lalu membuka amplop itu.Ia mengambil kertas yang terlipat di dalamnya, membukanya perlahan-lahan dengan jantung yang berdisko ria. Harus lulus! Kalau tidak bisa habis Karina nanti. Mana dia harus izin nikah lagi, ah! Kenapa malah mikirin nikah sih? Karina memaki dirinya sendiri, semoga...Karina tertegun, surat itu sudah dia buka dan tak selang lama terdengar suara teriakan riuh teman-teman yang berjuang sidang bersamanya hari ini. Karina LULUS! Dia sudah lulus dan berhak menyandang gelar Sarjana Kedokt
Yudha meletakkan ponselnya, sedetik kemudian senyum Yudha merekah sempurna. Wajah cantik yang nampak manyun tadi kembali terngiang di dalam benak Yudha. Dia harus menekan sosok itu agar membujuk sang ayah merestui lamaran Yudha. Kalau tidak, bisa dipastikan lamaran Yudha bakal ditolak mengingat Karina masih cukup belia dan baru saja lulus S1 kedokteran. Dan jangan lupa, usia Karina dan Yudha terpaut cukup jauh! Tiga belas tahun! Dan kalau lamaran Yudha ditolak, tahu kan apa yang akan terjadi pada Yudha ini? Dia akan dipaksa sang ibu menikahi Tere! Dan Yudha tidak mau itu terjadi. "Mau tidak mau, kita harus menikah, Rin! Dan kamu harus pastikan papamu setuju!" desis Yudha lirih. Dan malam nanti, dia harus bicara banyak hal pada Karina. Sebelum nanti Yudha datang ke rumah gadis itu dan memintanya langsung kepada sang ayah. Perlu dicatat, Yudha tidak mau pulang dengan tangan kosong dari sana. Tidak! Dia harus bawa Karina ikut pulang bersamanya, menjadi istrinya
"Dokter mau ngajar?" komentar Karina asal ketika sudah masuk ke dalam Pajero Dakar berwarna putih itu. Pasalnya penampilan Yudha begitu rapi malam ini, seperti ketika sedang mengajar di kelas.Celana bahan dan kemeja itu terus terang menampilkan kharisma yang begitu kuat, hanya saja di mata Karina, penampilan Yudha bapak-bapak sekali! Ah! Agaknya Karina lupa bahwa dia dan laki-laki ini beda generasi.Tampak sosok itu mendengus kesal, menoleh ke arahnya dan langsung mengomel."Ngajar katamu! Memang saya nggak boleh istirahat apa?" gerutunya dengan bibir manyun. "Saya mau ajak kamu makan malam, sekalian mau bahas masa depan."Karina tertegun sejenak, bahas masa depan? Bahas masa depan yang seperti apa? Kenapa dosen jutek dan menyebalkan ini jadi begitu bernafsu ingin menikahi dirinya? Jangan-jangan ..."Rin, tolong pakai sabuk pengamanmu!" titah Yudha membuyarkan lamunan Karina.Karina sontak nyengir, menarik seat