“Nggak mungkin!” Billy mendorong Julia, lalu menjatuhkannya ke lantai tanpa memedulikannya sama sekali. Dia seperti menggila saja hendak berdiri. “Aku mau pergi melihatnya. Aku mau melihat Nana ….”Hanya saja, tidak peduli bagaimana Billy berusaha, dia tetap berkali-kali jatuh di lantai. Luka di lututnya telah merembes. Darah merah menodai lantai.
Julia memapah Billy ke atas ranjang. Air mata memenuhi matanya. Suaranya terdengar terisak-isak. “Kak Billy, kamu jangan begini, ya. Melihat kamu begitu kesakitan, hatiku juga nggak nyaman. Setidaknya … setidaknya Kak Siena masih hidup. Asalkan memikirkan cara, dia pasti akan sadar. Kamu tenangkan dirimu dulu, ya?”
Usai mendengar, Billy yang tadinya menggila mulai menenangkan dirinya. Dia segera memanggil pengawal, “Aku mau kembali ke Kediaman Keluarga Juman, cepat! Dengar-dengar cara membangunkan pasien yang sedang dalam keadaan koma adalah dengan rangsangan emosional. Selama bisa menemukan barang-barang peninggalan milik Nana dulu, pasti bisa membangunkannya”
Di bawah kawalan para pengawal, Billy kembali ke Kediaman Keluarga Juman.
Begitu masuk rumah, Billy merasa vila ini tampaknya tidak lagi sama seperti sebelumnya.
Keset pintu kucing berwarna merah muda yang dulu dibeli oleh Siena telah diganti dengan keset cokelat biasa. Meja tamu yang biasanya selalu dihiasi dengan rangkaian bunga hasil guntingan tangan Siena, kini juga tampak kosong melompong.
Billy membuka pintu kamar Siena, dia malah menyadari semuanya telah kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
Biasanya, Nana suka tidur dengan memeluk boneka. Di atas meja rias terhadap parfum yang sering digunakannya, ada juga pot tanaman di samping jendela yang selama ini dia rawat dengan penuh perhatian ….
Semuanya telah menghilang, seolah-olah tidak pernah ada saja.
Billy langsung membelalakkan mata dan bertanya dengan keras kepada pengurus rumah, “Ada apa ini? Di mana barang Nana? Siapa suruh kalian sembarangan sentuh!”
Pengurus rumah dikagetkan oleh aura menekan Billy yang mendadak itu. Dia pun menjawab dengan gugup, “Semua ini perintah Tuan dan Nyonya. Nyonya berpesan kepada kami untuk membakar semua barang yang ditinggalkan Nona Siena.”
Tangan Billy yang diletakkan di atas lututnya dikepal erat. Bahkan sendinya juga memucat. “Se … semuanya?”
Billy mendapat jawaban dari pengurus rumah yang mengalihkan tatapannya. Matanya spontan memerah. Dia melayangkan tinjuan keras ke daun pintu.
Kenapa … mereka begitu membenci Siena?
Saat ini, terdengar suara buka dan tutup pintu dari lantai bawah, disusul terdengar suara obrolan yang santai.
“Dengar-dengar Siena sudah koma?”
“Hmph, selain bisa bikin masalah, apa lagi yang bisa dia lakukan kepada Keluarga Juman kita? Baguslah sekarang, akhirnya kita bisa mengusirnya dari rumah.”
“Billy nggak mungkin akan menikah dengan orang koma. Perjanjian pernikahan itu dibatalkan saja. Beberapa hari ini, coba carikan calon lain untuknya. Mengenai Siena, biarkan dia lenyap sendiri di rumah sakit.”
Tiba-tiba terdengar suara suram Billy. “Apa yang lagi kalian katakan?”
Ariana menatap Billy dengan tatapan menyalahkan. Dia spontan mengomel, “Kenapa kamu bukan merawat lukamu di rumah sakit? Kenapa kamu malah ke sini?”
Suara jeritan Billy memotong ucapannya. “Batalkan perjanjian pernikahan apaan? Asal kamu tahu, aku nggak setuju! Siapa suruh kalian bakar barang Siena? Dia itu calon istriku. Kenapa kalian nggak minta izin dariku!”
Rasa kecewa dan gusar memenuhi tatapan Billy. “Dulu kalian meremehkan Siena, meremehkannya dinafkahi oleh Keluarga Juman. Tapi, apa kalian nggak pernah berpikir, kalau bukan demi menyelamatkan kalian, apa mungkin orang tuanya akan meninggal? Apa mungkin dia akan menumpang tinggal di rumah orang lain! Apa kalian nggak memikirkan perasaanku?”
Saat berbicara sampai di sini, suara Billy bahkan terdengar agak bergetar.
Billy tahu orang tuanya tidak puas dengan calon istrinya, Siena, hanya saja dia tidak menyangka mereka bahkan bersikap begitu dingin ketika dihadapkan dalam soal nyawa.
Leo menunjukkan raut serius. “Kamu itu putra semata wayang Keluarga Juman. Kamu mesti selalu memikirkan keluargamu! Dia hanyalah seorang anak yatim piatu yang nggak punya uang dan kekuasaan. Karakternya sangat buruk dan nggak punya kemampuan apa-apa. Apa dia bisa membantumu? Bisa nggak kamu bersikap lebih dewasa!”
Billy menjerit dengan marah, “Selain keuntungan, apa nggak ada yang lain lagi di mata kalian? Siena, dia hampir saja mati! Kenapa aku bisa punya orang tua berdarah dingin seperti kalian!”
Kali ini, Billy juga tidak bisa bersabar lagi. Dia segera membalikkan tubuhnya meninggalkan kediaman. Dia ingin menjaga Siena di rumah sakit.
Entah sejak kapan mulai turun hujan. Billy memandang ke luar jendela mobil. Hatinya bagai terkena air hujan saja, membuat hatinya terasa sedih dan menyesal.
Billy teringat pertama kali Siena tiba di Kediaman Keluarga Juman, sikap orang tuanya masih tidak seperti ini. Orang pertama yang menunjukkan ekspresi benci terhadap Siena malah adalah Billy sendiri.
Billy merasa Siena terlalu ceroboh dan tidak cukup tenang. Dia selalu merendahkan Siena dengan kata-kata pedas. Orang tuanya bisa membenci Siena sebenarnya hanya meniru sikapnya saja.
Andai saja Billy tahu semuanya akan berakhir seperti ini, dia pasti akan membiarkan seluruh dunia tahu bahwa Siena adalah orang yang paling penting dan paling dia cintai, sama seperti bagaimana dulu Siena mencintainya tanpa syarat.
Ternyata beginilah rasanya kehilangan orang yang paling dicintai di dunia ini ….
Setetes air mata hangat mengalir dari ujung mata Billy. Akhirnya Billy mengerti alasan Siena suka memamerkan kemesraan waktu itu, karena Siena mencintainya. Saking cintanya, dia baru takut untuk kehilangan, baru kepikiran segala cara untuk mendapatkannya.
Namun, apa yang Billy lakukan waktu itu?
Billy merasa kesal karena Siena dianggap suka membuat keributan tanpa alasan dan karena Siena tidak tahu cara memberi ruang pribadi untuknya.
Penyesalan yang luar biasa deras menghujani dirinya, nyaris membuat Billy kesulitan untuk bernapas.
Namun untungnya, Tuhan tidak terlalu kejam. Siena masih hidup. Billy masih memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya.
Dengan kedua tangan terkatup, Billy berdoa dengan sungguh-sungguh di tengah derasnya hujan.
Nana, kumohon … buka matamu sekali lagi untuk melihatku, ya?