"Dia benar-benar tidak masuk akal!"gumam Selena, menendang ember kecil di sudut ruangan. Ember itu meluncur dan menabrak tembok, membuat suara gaduh yang mengganggu keheningan.
Selena jatuh terduduk di lantai dingin, air matanya mulai mengalir lagi. Ia menatap langit-langit ruangan yang penuh debu, mencoba mencari cara untuk membebaskan dirinya dari situasi ini. "Bagaimana aku bisa membuktikan apa pun kalau aku terkunci di sini? Orang itu jelas berada di luar. Apakah dia ingin aku berbicara dengan tembok?" Selena berbicara sendiri, nada sarkastis dalam suaranya semakin menonjol. Namun, di balik rasa putus asanya, Selena mulai menyusun rencana. "Kalau aku tidak bisa keluar, aku harus membuat mereka yang ada di luar masuk ke sini." Selena mengusap air matanya dan mulai berpikir keras. Dia tahu bahwa tidak ada jalan keluar kecuali dia menggunakan akalnya. "Aku harus memanfaatkan setiap orang yang datang ke tempat ini. Mungkin penjaga, mungkin siapa pun. Aku harus membuat mereka membantuku." Malam itu, meskipun tubuhnya lelah dan pikirannya kalut, Selena tetap bertekad. Dalam hatinya, dia bersumpah untuk menemukan kebenaran dan membersihkan namanya, tidak peduli seberapa keras usaha yang dibutuhkan. ---------- Keesokan Harinya.. Langit mendung menggantung rendah di atas pemakaman keluarga. Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah basah dan bunga layu. Orang-orang berpakaian hitam berkumpul di sekitar peti mati yang dihiasi mawar putih, simbol kesucian yang tak akan pernah mereka temui lagi dari Arlena. Kael berdiri tegap di tepi liang lahat, wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun, namun matanya yang merah dan gelap menceritakan segalanya. Ia tidak tidur selama berhari-hari sejak tragedi itu terjadi. Di balik topeng ketegaran, hatinya terkoyak melihat tubuh wanita yang dicintainya beristirahat untuk terakhir kalinya. Seorang pendeta membaca doa, tetapi suara itu seperti jauh di kejauhan bagi Kael. Pikirannya terus berputar, mencoba memahami bagaimana hidupnya bisa berubah begitu cepat. Dia mengingat senyum hangat Arlena, tawa ringannya, dan cara dia memanggil namanya dengan penuh cinta. Semua itu kini hanyalah bayangan di masa lalu. Ketika akhirnya peti mulai diturunkan, Kael mengepalkan tangannya. Tubuhnya tegang, namun dia tetap diam. Hanya satu kali, dia membiarkan air matanya jatuh. Satu tetes kecil yang segera dia seka dengan cepat, seolah malu menunjukkan kelemahan di depan orang banyak. Setelah semua orang mulai membubarkan diri, Kael tetap di tempatnya. Dia tidak peduli dengan tatapan simpati para tamu atau bisikan lirih yang membicarakan tragedi ini. "Kenapa...?"gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan."Kenapa ini harus terjadi padamu?" Seorang pria tua, penasihat keluarga Kael, mendekat perlahan. "Tuan muda, Anda perlu istirahat. Nona Arlena pasti tidak ingin melihat Anda seperti ini." Kael tidak menjawab. Matanya masih terpaku pada nisan yang baru dipasang, dengan ukiran nama Arlena yang indah. "Semua bukti sudah jelas, bukan?" akhirnya Kael berkata, suaranya bergetar."Selena... dia yang melakukannya." Penasihat itu mengangguk perlahan."Ya, Tuan. Sayangnya, semua bukti mengarah padanya. Tidak ada keraguan dalam penyelidikan." Kael menghela napas panjang. Awalnya, dia tidak percaya bahwa Selena, pelayan setia mereka, bisa melakukan hal sekejam itu. Tapi saksi, sidik jari, dan fakta-fakta lainnya seperti melukiskan gambaran yang tak terbantahkan. "Dia yang terakhir terlihat bersama Arlena. Dia yang masuk ke kamar itu. Dia yang melarikan diri saat orang-orang datang... Bagaimana mungkin aku tidak percaya?" Kael bergumam lagi, kali ini lebih kepada dirinya sendiri. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada rasa tidak nyaman yang tidak bisa dia abaikan. Selena telah bekerja di rumahnya selama bertahun-tahun. Dia tahu bagaimana wanita itu mencintai Arlena seperti saudara perempuan sendiri. Apakah mungkin dia menyimpan dendam yang begitu dalam hingga tega menghabisi nyawa Arlena? Kael menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir keraguan yang mengganggu pikirannya. "Tidak ada gunanya. Aku harus fokus pada kebenaran yang ada di depan mataku." Dengan langkah berat, dia berbalik meninggalkan makam itu. Hatinya yang penuh duka kini bercampur dengan rasa frustasi dan kemarahan. Jika Selena benar-benar pelakunya, maka dia tidak akan berhenti sampai wanita itu mendapatkan hukuman yang setimpal. Namun, jika ada yang tidak beres, jika ada sesuatu yang luput dari penglihatannya, Kael tahu, dia harus mencari tahu kebenaran itu, apa pun risikonya. Langit yang mendung semakin gelap, mengiringi suasana muram pemakaman Nona Arlena. Hujan tipis mengguyur tanah basah, menciptakan suara samar yang berpadu dengan gumaman pelayat yang mulai bubar. Kael berdiri diam di depan nisan istrinya, tubuhnya seperti patung, dingin dan tak bergerak. Hanya suara hujan dan angin yang menjadi saksi keheningan itu. Dalam kepalanya, tawa lembut Arlena terus berputar, mengingatkannya akan kehilangan yang baru saja ia alami. Dunia terasa kosong, seperti kehilangan warna. Saat itulah, dia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. “Kael...” Suara itu lembut, tapi ada kehangatan yang sulit dijelaskan. Kael menoleh perlahan, mendapati seorang wanita berdiri di bawah payung merah terang, kontras dengan gelapnya suasana pemakaman. Wanita itu memancarkan aura yang berbeda dari para pelayat lainnya. Gaun hitam yang ia kenakan sangat pas di tubuhnya, menonjolkan lekukannya tanpa terlihat berlebihan. Sepatu hak tinggi berkilauan basah oleh hujan, dan rambutnya yang panjang berwarna gelap tergerai sempurna di bahunya. Wanita itu memandang Kael dengan sorot mata tajam, penuh perhatian. Kael tidak mengenalinya. “Maaf,” Kael berkata datar, suaranya serak. “Aku tidak mengenalmu.” Wanita itu tersenyum kecil, bibir merahnya melengkung sempurna. “Bianca,” katanya sambil mendekat. “Aku... temannya Arlena.” Kael memandangnya dengan penuh selidik. Tidak ada kenangan tentang wanita ini dalam pikirannya, tapi cara Bianca berbicara terdengar akrab, seolah dia benar-benar tahu Arlena. “Aku turut berduka,”lanjut Bianca. “Arlena adalah wanita yang luar biasa. Kehilangannya... pasti sangat berat untukmu.” Kael menahan napas, matanya kembali menatap nisan. Dia tidak ingin berbicara, apalagi dengan seseorang yang tidak dia kenal. “Kamu tidak harus mengatakan apa pun,” Bianca melanjutkan, suaranya rendah dan lembut. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.” Kael mendengus pelan, hampir terdengar seperti tawa getir. “Baik-baik saja?” Dia memandang Bianca dengan mata lelah. “Apa menurutmu aku terlihat baik-baik saja?” Bianca tidak menjawab. Sebaliknya, dia melangkah lebih dekat, kini hanya beberapa inci dari Kael. Aromanya—campuran mawar dan sesuatu yang manis—menguar samar, membuat Kael tanpa sadar menegang. “Aku tidak ingin terlihat lancang,” kata Bianca dengan suara lembut yang nyaris seperti bisikan. “Tapi kamu tidak pantas menghadapi ini sendirian.” Kael memandangnya dengan tajam, mencoba membaca niat di balik kata-katanya. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan?” tanyanya dingin. Bianca tersenyum lagi, kali ini lebih samar. “Aku hanya ingin membantumu, Kael. Arlena pasti juga ingin kamu tidak tenggelam dalam kesedihan. Aku bisa menjadi... seseorang yang ada di sisimu.” Mata Kael menyipit. Dia merasakan sesuatu yang aneh—campuran antara daya tarik dan kecurigaan. Bianca terlalu tenang, terlalu percaya diri, dan kehadirannya terlalu mencolok untuk sebuah pemakaman. Kael menarik napas dalam, kemudian menggeleng pelan. “Maaf,” katanya sambil melangkah mundur. “Tapi aku tidak membutuhkan siapa pun.” Saat Kael hendak masuk mobil.Wanita itu kembali mendekat,dan menyentuh bahu pria itu. "Kael.." "Jangan menyentuhku! Aku tidak nyaman disentuh wanita lain selain istriku." Kael menghempaskan tangan yang membuat Bianca hampir jatuh. "Kael aku memaklumi kondisimu,namun ada satu hal yang harus kamu tahu,terutama tentang Selena,dia wanita berbahaya." "Bagaimana kamu bisa tahu tentang pegawaiku?" Wanita itu tertawa,suara tawanya menyeramkan yang membuat kuping Kael terasa sakit mendengarnya.