"Hahaha..tentu saja,dia pernah bekerja padaku dan menggoda suamiku,dia berniat membunuhku namun salah sasaran yang terbunuh adalah suamiku,hatiku begitu pedih." Ucap wanita itu berakting menangis penuh drama.
"Dan kematian istrimu bisa jadi rencananya untuk mendapatkanmu,apalagi kamu seorang pria kaya dan tampan pewaris segalanya." Kael semakin kesal mendengar cerita itu,dia langsung masuk ke mobilnya.Berniat akan menghancurkan Selena,Kael seolah terhipnotis oleh cerita bohong yang dibuat Bianca yang belum tentu ada bukti kebenarannya. Dia berbalik dan berjalan menuju mobilnya, meninggalkan Bianca berdiri di bawah payung merahnya. Saat Kael masuk ke mobil dan menutup pintu, dia sempat menatap kaca spion. Bianca masih berdiri di sana, menatap ke arahnya dengan senyum kecil yang penuh arti. Hujan semakin deras, menyamarkan sosok wanita itu. Tapi entah kenapa, ada sesuatu tentang Bianca yang terus mengganggu pikirannya, seolah dia membawa misteri yang belum terpecahkan. Kael memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir pikiran itu, sebelum akhirnya melajukan mobil meninggalkan pemakaman. Namun, jauh di lubuk hatinya, dia tahu bahwa pertemuan ini mungkin bukan yang terakhir. Bianca bukan hanya seorang pelayat biasa. ---------- Kael pun ke ruang bawah tanah untuk kembali menginterogasi Selena,Selena yang sedang tertidur tampak kaget dengan suara dentuman pintu yang keras. "Selena!!" Selena yang masih tertidur samar-samar mendengar suara itu dan dia malah terlelap kembali.Sontak membuat Kael semakin marah dan langsung menjambak rambutnya. "Heh!! Kamu dengar saya tidak?" "Ambilkan air satu ember."ucap Kael memerintah pegawainya. "Baik Tuan." Byuurr! Selena basah kuyup. "Uhuk uhuk!"matanya langsung terbangun dan terbatuk. "Tu-tuan? Ada apa?"Selena ketakutan. "Jam segini kamu masih tidur?!" Kael tampak kesal dan melanjutkan, "Ini adalah hari pemakaman istriku,aku dan yang lainnya sedang sedih,kamu tidak terlihat peduli sama sekali dengan kepergian istriku, malah tertidur pulas di siang bolong." "Sa-saya lupa Tuan..Dan Tuan tidak membangunkan saya." "Kenapa aku harus membangunkanmu,memangnya kamu siapa?" Selena pun terdiam tidak mampu berkata-kata. "Naiklah ke atas! Aku akan menghukummu,kamu harus menerima penderitaan yang dirasakan istriku." Selena hanya diam, berdiri dengan tubuh menggigil, pakaian basah kuyup, dan wajah pucat. Ia hanya bisa menunduk tanpa berani menatap Kael yang memandangnya dengan tatapan penuh amarah. "Cepat naik ke atas! Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi," bentak Kael sambil berjalan keluar dari ruang bawah tanah. Selena mengangguk pelan, lalu mengikuti Kael dengan langkah berat. Sesampainya di atas, Kael menunjuk ke arah lorong yang panjang, di mana terdapat belasan kamar yang besar dan mewah. "Bersihkan semuanya, dari lantai hingga langit-langit. Tidak ada satu pun debu yang boleh tersisa," perintah Kael dengan nada dingin. Selena tertegun. "Tu-Tuan, semuanya? Itu bisa memakan waktu seharian penuh!" Kael menoleh dengan tatapan menusuk. "Aku tidak peduli. Istriku tidak lagi bisa menikmati rumah ini. Kamu akan memastikan rumah ini tetap sempurna untuk menghormatinya. Mulailah bekerja sekarang!" Selena menghela napas panjang. Ia tahu berdebat tidak akan ada gunanya. Dengan perasaan sedih, ia mulai membersihkan kamar demi kamar, meski tubuhnya masih lemas akibat kurang tidur dan rasa dingin yang menusuk. Ketika ia sampai di kamar utama yang pernah dihuni Arlena, air mata Selena mulai mengalir tanpa ia sadari. Ia teringat bagaimana Arlena selalu bersikap baik kepadanya. Nyonya itu bahkan sering membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah jika melihat Selena kelelahan. "Nyonya Arlena..." gumam Selena lirih sambil memegang gagang pintu kamar. "Saya tidak tahu mengapa mereka menuduh saya. Saya tidak pernah berniat menyakiti Anda..." Selena mencoba menguatkan dirinya. Saat membuka pintu, ia langsung disambut aroma khas lavender yang selalu digunakan Arlena. Hatinya terasa semakin berat. Ia mulai membersihkan kamar itu dengan hati-hati, seperti menghormati kenangan terakhir Arlena. Tapi di tengah-tengah pekerjaannya, Selena tiba-tiba menemukan sesuatu yang tidak biasa di bawah tempat tidur: sebuah syal merah dengan noda darah. Selena terdiam, matanya membulat. "Ini... bukan milik Nyonya Arlena," gumamnya sambil memegang syal itu. Pikirannya langsung melayang pada wanita misterius yang ia lihat melompat dari jendela malam itu. "Apa ini miliknya? Tapi kenapa ada di sini?" Selena menggigit bibirnya, rasa takut dan penasaran bercampur aduk. Ia tahu menemukan syal ini bisa menjadi awal untuk membersihkan namanya, tapi ia juga sadar bahwa menunjukkan benda ini pada Kael mungkin akan membuatnya semakin marah. Dengan tangan gemetar, Selena menyelipkan syal itu ke balik pakaian basahnya. Ia memutuskan untuk menyembunyikannya sementara, hingga ia bisa memikirkan langkah selanjutnya. Sambil melanjutkan pekerjaannya, Selena berbisik pelan, "Saya akan membuktikan kebenaran ini, Nyonya. Demi Anda, dan demi diri saya sendiri." Setelah membersihkan semuanya,Selena tampak lelah dia memutuskan untuk tidur sebentar di sofa.Tak lama kemudian datanglah Kael yang langsung menegurnya. "Heh! Aku menyuruhmu kerja bukan tidur." Selena langsung bangkit kembali dan menjelaskan. "Saya sudah selesai Tuan.Anda bisa melihatnya sendiri." "Kamu bahkan berani tidur di sofaku,sofa yang penuh kenangan aku dan istriku memadu kasih." "Maaf tuan,saya tidak tahu,tadinya saya kira ini sudah tak terpakai karena sudah jelek,dekil dan kumal.Jadi tidak mungkin...." "CUKUP! Kamu malah menghina barang-barang di rumahku.Pergi sana! Bersihkan dirimu." Selena pun patuh dan melangkah perlahan ke ruang kamar mandi.Sementara itu para pelayan yang berada di sekitar tidak tahan menahan tawa.Namun tawa mereka terhenti ketika melihat tatapan tajam dari tuan Kael. "Fokus bekerja!" Teriak Tuan Kael pada semuanya. "Baik Tuan." Mereka melanjutkan sambil tertawa pelan. Selena berjalan lesu menuju kamar mandi, berusaha menenangkan diri dari kejadian tadi. Ia mengomel pelan, "Sofa itu jelek,kenapa dia sangat emosi? Apa iya penuh kenangan? Aneh sekali." Setelah membersihkan dirinya dan mengganti pakaian, Selena keluar dari kamar mandi dengan wajah sedikit segar. Namun, ia langsung mendapati Kael berdiri di depan pintu, menyilangkan tangan dengan alis terangkat. "Kamu bicara apa tadi?" tanya Kael dingin. Selena tersentak, tapi berusaha mengelak. "Bicara apa, Tuan? Tidak ada, saya hanya diam." Kael mempersempit matanya. "Jangan coba-coba membohongiku. Aku mendengar sesuatu tentang 'sofa jelek.' Apa itu maksudmu?" Selena mencoba tersenyum canggung. Selena mencoba menjelaskan dengan hati-hati, tapi justru keceplosan, "Oh maksud saya tadi, sofanya memang kelihatan... ya, agak tua dan kusam terlihat seperti sofa gembel. Jadi saya pikir tidak apa-apa kalau saya tidu—eh," Para pelayan yang mendengar dari kejauhan tak kuasa menahan tawa mereka. Beberapa mencoba menutup mulut, tapi suara cekikikan tetap terdengar. Kael menatap Selena dengan mata tajam, tapi justru membuat suasana makin lucu bagi yang menyaksikan. "Sofa itu adalah kenangan! Kamu tahu, aku dan istriku dulu—" Kael menghentikan ucapannya, tampaknya malu jika lanjut bercerita. Namun, Selena malah menambah komentar, "Ah, Tuan, kalau memang kenangan, seharusnya dirawat. Ini malah sudah seperti sofa yang disimpan di gudang atau lebih tepatnya di tempat sampah." Tawa para pelayan semakin pecah, salah satu bahkan tersedak karena terlalu keras tertawa. Kael menghela napas panjang, menahan amarah yang bercampur frustrasi. "Kalian semua, kembali bekerja!"Sore itu, suasana villa mewah di pusat kota dipenuhi oleh obrolan ringan dan tawa. Ronald dan Bianca baru saja tiba, sedikit terlambat dari jadwal. "Maaf, kami terlambat," ucap Ronald sambil menggandeng tangan Bianca. "Tidak apa-apa," balas Jason, salah satu teman Ronald. "Maklum, pengantin baru," timpal Christine, istri Jason, sambil tertawa kecil. Bianca tersenyum sambil melirik Arlena, yang dengan ramah berkata, "Bianca, duduk saja di sini." Bianca segera duduk di samping Arlena, sementara Ronald memilih untuk tetap di dekatnya. "Arlena, suamimu ke mana? Kenapa dia tidak pernah terlihat mendampingimu?" tanya Christine penasaran. Arlena tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa sesak di dadanya. "Dia sibuk sekali akhir-akhir ini. Pekerjaannya menumpuk." "Ya ampun, aku beruntung Ronald selalu bisa mendampingiku," celetuk Bianca sambil menyender di bahu Ronald dengan bangga. Ronald ikut menimpali, "Suamimu pasti juga punya waktu luang. Kamu harus bangga dia berjuang
Di siang hari yang hangat, Kael duduk di kursi ruangannya dengan wajah serius. Dia telah memanggil Selena untuk membahas sesuatu yang terus menghantui pikirannya. Ketika Selena masuk, Kael memulai pembicaraan dengan nada rendah, namun tegas. "Selena... tolong jawab dengan jujur. Ada masalah apa kamu dengan Arlena dalam rekaman CCTV itu?" tanyanya, sorot matanya tajam, tapi suaranya berusaha menenangkan. Selena menunduk, menggenggam jemarinya yang gemetar. "Tuan... maaf, aku tidak bisa menceritakannya. Itu adalah rahasia Nyonya," jawabnya pelan. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Kael mendesah, mencoba menahan emosinya. "Rahasia Arlena adalah rahasiaku juga, Selena. Aku suaminya. Jadi, aku berhak tahu," tegas Kael, nadanya sedikit mengeras. Selena menggeleng pelan, lalu menghapus air matanya dengan tisu. "Bukan seperti itu, Tuan... tapi..." ucapnya, suaranya terhenti di tengah kalimat. Air matanya makin deras, membuat Kael semakin bingung dan cemas. Kael memanda
Malam telah larut, dan suasana rumah Kael terasa hening, hanya diiringi oleh suara jarum jam yang berdetak pelan di dinding ruang tamu. Selena duduk di sofa dengan posisi gelisah, tangannya memegang cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Tatapannya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai prasangka yang membuncah tanpa kendali. "Kenapa dia belum pulang juga?" gumam Selena dengan nada lirih, tetapi penuh kekesalan. "Apa yang mereka lakukan selama ini? Restoran apa yang buka sampai selarut ini? Apakah... apakah dia benar-benar tidak peduli lagi dengan Nyonya?" Selena menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan marah dan kecewa yang semakin meluap. Pikiran-pikirannya mulai liar, membayangkan hal-hal yang tak seharusnya ia pikirkan. "Bianca itu... wanita licik. Dia pasti memanfaatkan keadaan. Dan Tuan... dia bahkan tidak menghormati kematian istrinya! Baru saja istrinya meninggal, dia sudah sibuk dengan wanita lain!" suara Selena semakin kesal. Ia berdiri dari sofa, m
Ruangan Kael dipenuhi dengan keheningan yang menyesakkan. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar, seolah menghitung setiap detik dari rasa bersalah yang kini memenuhi hatinya. Duduk di kursi kerjanya, Kael bersandar dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Pikirannya berputar tanpa arah, mencoba memahami setiap teka-teki yang menggantung di sekelilingnya. "Sepertinya aku terlalu keras padanya… Aku bahkan belum selesai bertanya padanya tentang masalah Arlena." Kael menghela napas panjang. Penyesalan menyelimuti hatinya. Bayangan wajah Selena, yang berlinang air mata dan penuh luka, terus menghantuinya. Selama ini, ia hanya melihat Selena sebagai sosok yang penuh teka-teki, tersangka yang paling mudah untuk disalahkan. Namun, ada satu hal yang tak bisa ia abaikan: tekad dan keberanian Selena saat mencoba menjelaskan sesuatu kepadanya. Dia bukanlah seorang pengecut yang akan bersembunyi jika bersalah. "Besok aku akan berbicara dengannya secara baik-baik. Aku harus memberikan
Suasana di rumah Kael berubah mencekam setelah penemuan jejak kaki misterius di halaman. Langit gelap mulai menyelimuti, namun ketegangan di dalam rumah terasa semakin pekat. Kael berdiri dengan tangan mengepal, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam memandang Dave yang baru saja melaporkan temuannya."Aku menemukan jejak kaki pria dewasa yang mencurigakan. Jejak ini berasal dari halaman pagar dan mengarah ke lorong. Tampaknya seseorang berusaha menyelinap ke rumah Anda, tapi untungnya benda berharga di sekitar sini masih aman. Sepertinya bukan itu tujuannya," ujar Dave dengan nada serius.Kael menghela napas dalam, matanya menyipit saat memikirkan kemungkinan yang baru saja Dave utarakan."Berarti yang Selena lihat itu memang benar," gumamnya pelan, rasa bersalah merayap di hatinya."Apa ada lagi?" tanyanya dengan suara rendah namun tegas."Tidak ada, Tuan. Hanya jejak kaki itu saja. Saya tidak tahu pasti apa tujuannya karena tidak ada petunjuk lain yang mencurigakan."Kael memi
Langit mulai berubah kelam ketika matahari sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala. Lampu halaman depan rumah Kael mulai menyala, memberikan cahaya redup yang membingkai wajah tegang Selena. Dengan tubuh yang masih kotor dan tangan yang berlumuran tanah, ia berdiri di tengah halaman dengan pandangan penuh kewaspadaan."Aku tahu kamu pasti muncul lagi," gumam Selena, matanya tajam menatap ke arah gerbang yang mulai diselimuti bayangan malam.Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar samar dari balik pagar besi yang menjulang tinggi. Selena memicingkan mata, melihat sosok pria berjas hitam yang bergerak perlahan di balik pagar, seolah sedang mengendap-endap. Wajahnya tertutup bayangan, dan gerak-geriknya tampak mencurigakan."Dasar pengecut! Aku tahu kamu akan kembali!" pikir Selena geram.Dengan cepat, ia merunduk dan mengangkat sebongkah batu besar di dekat kakinya. Napasnya memburu, tangannya bergetar oleh tenaga yang ia kumpulkan."Akhirnya dapat juga! Kamu membuatku kes