Selena pun berhenti dan menoleh ke arah Kael.
"Sebelum kamu pergi,buatkan dulu kopi untukku! Tapi jangan salah lagi seperti masakan tadi." Selena hanya mengangguk kemudian pergi ke dapur. Selena berjalan perlahan menuju kamar Kael dengan segelas kopi ditangannya sambil bergumam "Di malam begini dia ingin minum kopi,apa tidak takut insomnia?ini kan waktunya tidur.Aku saja sudah mengantuk." Selena kembali menguap. Kael yang mendengar langkah kaki Selena langsung berdiri di depan pintu dan menegurnya dari jauh. "Kenapa lama sekali? Kamu malah berbicara sendiri.Cepat bawa kesini!" "Ah iya Tuan..maaf." Selena segera membawa kopi yang sudah ia buat dengan hati-hati. Kopi tersebut sudah tercium aromanya yang harum, meski di dalam hati Selena masih merasa cemas akan reaksi Kael terhadap segala hal yang ia lakukan. Ia berjalan cepat menuju ruang tempat Kael duduk, berharap kali ini tak ada yang salah. Sesampainya di depan Kael, ia menyodorkan cangkir kopi dengan kedua tangan. **"Ini kopinya, Tuan. Saya sudah pastikan rasanya sesuai."** Selena berkata dengan suara rendah, berharap kael puas dengan apa yang telah ia buat. Kael menerima kopi itu tanpa menatap Selena. Matanya masih tampak kosong, seolah tidak tertarik pada apapun di sekitarnya. Dengan kasar, ia mengambil cangkir kopi dari tangan Selena dan meneguknya dengan cepat. Selena menunggu dengan cemas, tidak berani bergerak dari tempatnya. Tiba-tiba Kael meletakkan cangkirnya dengan suara keras di atas meja, membuat Selena terkejut. "Rasanya... lumayan,"ucap Kael datar, tanpa menunjukkan ekspresi. "Tapi kalau kamu sampai mengacaukannya lagi, aku tak tahu apa yang akan terjadi." Selena merasa lega, namun masih ada kekhawatiran di hatinya. "Tuan, saya hanya mencoba yang terbaik," jawabnya pelan, matanya menatap lantai. "Terima kasih telah memberi saya kesempatan untuk memperbaiki diri." Kael menghela napas dan meliriknya sebentar. "Kamu harus tahu, aku tidak akan tinggal diam jika semuanya berakhir dengan buruk. Dan jika ada kesalahan, kamu harus siap menanggungnya." Selena mengangguk cepat, seolah mengerti. "Saya mengerti, Tuan." Namun dalam hati, Selena merasa ada yang ganjil. Kael sepertinya mulai kehilangan kendali, namun ia juga tidak bisa memungkiri bahwa ada sisi manusiawi dalam dirinya yang mulai muncul kembali, meskipun itu sangat samar. Selena tahu dia harus lebih berhati-hati dan tidak kehilangan kesempatan untuk mencari bukti yang akan membebaskannya. Setelah beberapa saat yang hening, Selena pun pamit. "Jika Tuan Kael sudah selesai, saya akan kembali ke ruang bawah tanah." Kael hanya mengangguk pelan, tidak mengatakan apapun. Selena pun keluar dari ruangan itu dan kembali ke ruang bawah tanah, berharap besok akan ada secercah harapan baru bagi dirinya. Saat menutup pintu, Selena teringat tentang kata-kata Kael sebelumnya. "Jika kamu tidak bisa membuktikan dirimu, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi padamu." Kalimat itu bergaung di pikirannya, mengingatkan betapa tegang dan penuh risikonya keadaan yang tengah ia hadapi. Selena yang sedang berjalan perlahan menuju ruang bawah tanah mendengar namanya kembali dipanggil lagi. Tentu saja, kali ini dia sudah merasa sangat lelah dan mengantuk,Selena berusaha menahan rasa kesal namun dia tahu jika Tuan Kael memanggilnya, dia tidak bisa menunda. Dengan wajah lesu, Selena kembali berbalik dan berjalan menuju ruangan Kael. "Ya, Tuan?" Selena menyapa dengan suara yang terdengar berat, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan kelelahan di wajahnya. Kael sedang duduk di kursinya, tampak lebih tenang dari sebelumnya. Cangkir kopi yang tadi ia minum sudah kosong, dan wajahnya tampak sedikit lebih relaks daripada tadi. Dia menatap Selena dengan mata yang tidak bisa dibaca. "Kopi ini... enak juga," ujarnya pelan. Selena merasa kaget."Eh?" Dia hampir tidak percaya mendengar pujian itu. "Maksud Tuan, kopi saya?" Kael mengangguk tanpa ekspresi. "Iya, bahkan lebih enak dari yang dibuat oleh istriku," katanya dengan suara rendah. Selena terkejut dan sedikit terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Pujian itu datang begitu saja, tanpa diduga, dan membuat perasaan campur aduk. Kael, yang selama ini hanya menuntut, kini memberi sedikit pujian padanya, meskipun kalimat itu disampaikan tanpa emosi yang jelas. Namun, bagi Selena, itu cukup membuatnya merasa sedikit lebih baik. "Terima kasih, Tuan." Selena berusaha tersenyum meskipun rasa kantuk yang sangat besar mengancam untuk membuatnya jatuh tertidur seketika. Kael menatapnya sebentar, lalu berdiri dari kursinya dan meletakkan cangkir kopi kosong itu di atas meja. "Kamu... mungkin bukan pembunuh yang aku kira," ujarnya dengan nada yang lebih pelan, seolah berpikir sendiri. "Tapi jangan berharap terlalu banyak. Kamu tetap harus membuktikan dirimu." Selena merasa sedikit lega, tapi dia tahu ini bukan akhir dari semuanya. "Saya akan berusaha, Tuan." Dengan jawaban itu, ia berbalik, berusaha menyembunyikan kelelahan yang jelas terlihat di wajahnya. Namun sebelum dia pergi, Kael memanggilnya sekali lagi. "Selena," suaranya terdengar lebih dalam, lebih serius dari sebelumnya. Selena berhenti dan menoleh. "Ya, Tuan?" Kael diam sejenak, lalu berkata, "Jaga diri baik-baik. Aku masih tidak tahu apakah kamu benar-benar bersalah atau tidak, tapi jangan coba-coba mengacaukan kesempatan ini." Selena mengangguk pelan, merasa bingung dengan ucapan Kael yang sepertinya penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. "Baik Tuan. Terima kasih." Dengan itu, Selena meninggalkan Kael, pergi ke ruang bawah tanah untuk kembali beristirahat. Meskipun rasa kantuk yang luar biasa membuat tubuhnya terasa berat, di dalam hati, dia masih berharap. Harapan itu menjadi satu-satunya yang bisa membuatnya bertahan di tengah semua kebingungan dan kesedihan yang menyelimuti hidupnya. Kael pun duduk kembali di kursinya, memikirkan semuanya dalam diam. Mungkin, hanya ada sesuatu yang lebih dalam dari apa yang dia kira tentang Selena. ---------- Keesokan harinya, Kael merasa sedikit lebih tenang. Setelah malam yang penuh dengan pikiran dan perasaan yang bergejolak, dia memutuskan untuk beristirahat di ruang kerjanya, memeriksa beberapa dokumen yang belum sempat dia urus. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sejenak. Pintu ruangannya diketuk pelan, dan suara seorang pelayan terdengar dari luar. "Tuan Kael, ada tamu yang datang untuk bertemu." Kael mengangkat wajahnya, sedikit terkejut, tapi dia mengangguk. "Siapa dia?" "Seorang wanita Tuan, bernama Bianca. Dia ingin mengucapkan belasungkawa atas kepergian Nyonya Arlena." "Bianca?" Kael mengernyitkan kening, mencoba mengingat. Namun, wajah Bianca datang begitu saja ke pikirannya. Seorang wanita cantik, berani, dan selalu tampak mencari perhatian, yang beberapa kali tampaknya memperlihatkan minat pada dirinya. "Bukankah dia sudah cukup mengatakan belasungkawa di makam? Untuk apa datang kemari? Apa dia tahu sesuatu tentang Arlena,aku harus mendapat informasi darinya,"gumam Kael bingung sekaligus penasaran. "Biarkan dia masuk!" "Baik Tuan."