Selena menghela napas, berjalan menuju tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah. Ada sedikit rasa kecewa di dalam hatinya, namun dia tahu, ini adalah hidupnya sekarang—sebuah hidup yang terkekang oleh tuduhan yang tak adil. "Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan," gumamnya dalam hati. "Aku akan buktikan kebenaran, bahkan jika aku harus bertahan dengan perlakuan ini."
Begitu sampai di ruang bawah tanah yang dingin dan gelap, Selena langsung menuju tempat tidurnya. Hanya ada selembar selimut lusuh yang menjadi temannya di malam hari. Dia merebahkan diri, menatap langit-langit yang kosong. "Tuan Kael... jika kamu benar-benar mencintai Nyonya,kamu juga harus percaya padaku," pikir Selena, namun pikirannya segera terganggu dengan suara langkah kaki yang terdengar di lantai atas. "Apa mereka masih terus membicarakanku?" Selena bergumam dengan kesal, namun dia segera menenangkan diri. Tidak ada gunanya terlalu memikirkan mereka. "Yang penting sekarang, aku harus buktikan kebenaran. Aku harus tahu siapa yang benar-benar membunuh Nyonya Arlena." Namun, ada satu hal yang masih mengganggu pikirannya: wanita yang melompat dari jendela itu. Selena masih bisa melihatnya dengan jelas di dalam ingatannya—wanita itu tampak tergesa-gesa, penuh ketakutan, dan berlari sebelum melompat ke luar jendela. "Siapa dia? Dan apa hubungannya dengan Nyonya Arlena?"pikir Selena, namun semakin banyak dia mencoba untuk mengingat, semakin samar bayangan wanita itu. Dengan tubuh yang lelah dan pikiran yang kacau, Selena menutup matanya dan mencoba tidur. Namun, meskipun matanya terpejam, tidur itu terasa sangat jauh. Rasa ketakutan dan kecemasan terus mengganggu pikirannya. "Jika aku tidak bisa membuktikan diriku tidak bersalah, apakah aku akan terus dihukum seperti ini?" Tapi Selena tahu satu hal: dia tidak akan menyerah. Apapun yang terjadi, dia akan mencari tahu kebenaran dan membuktikan bahwa dia bukanlah pembunuh itu. Di dalam kegelapan ruang bawah tanah yang sunyi, Selena memejamkan matanya dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah menyerah, meskipun dunia terus menuduhnya. -------------- Di kamar Kael yang besar dan sunyi, ruangan itu terasa begitu sepi, meskipun ada pelayan yang bekerja di sekitar rumah. Kael duduk di tepi ranjang, menatap sebuah foto yang diletakkan di meja samping tempat tidur. Foto itu menunjukkan senyum hangat Arlena, istrinya yang kini sudah tiada. Kael menggenggam foto itu erat, matanya berkaca-kaca, namun dia berusaha keras untuk tidak menangis. "Arlena..." bisiknya pelan, suaranya serak. "Aku tak tahu harus bagaimana tanpa kamu di sini." Sejak pemakaman Arlena, Kael merasa seperti bagian dirinya hilang. Setiap langkah yang dia ambil, setiap ruangan yang dia masuki, semuanya terasa kosong. "Selena..." Kael memejamkan mata sejenak, menahan gejolak emosi yang kembali muncul. "Apakah kamu benar-benar yang melakukannya?" Namun, entah kenapa, meskipun semua bukti yang ada mengarah pada Selena, Kael merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan semua itu. Sikap Selena yang canggung, konyol, dan bahkan kadang menggelikan, membuat Kael merasa bahwa dia bukan tipe orang yang bisa melakukan hal mengerikan seperti itu. "Kamu... bahkan tak bisa memasak tanpa membuatnya jadi berbahaya." Kael terkekeh pelan, meskipun hatinya masih penuh kesedihan. Tatapan Kael kembali jatuh ke foto Arlena. "Aku tahu aku harus membalas dendammu, tapi... bagaimana aku bisa membenci Selena yang begitu bodoh? Dia bahkan tak tahu bagaimana membuat nasi yang benar." Dia menghela napas panjang dan mengusap wajahnya dengan tangan. Setiap kali Kael mencoba untuk mempercayai bahwa Selena adalah pelakunya, ada sesuatu yang menahannya. Mungkin itu karena dia terlalu sering melihat sisi lain dari Selena yang jujur dan tidak berdosa—seperti ketika dia terkaget-kaget karena garam atau ketika dia sangat takut melihat wajah Kael yang marah. "Apa ini... beban yang harus aku tanggung?" pikir Kael. "Aku merasa kehilangan dua orang. Arlena, dan sekarang... Selena yang aku tak tahu harus bagaimana." Kael meletakkan foto itu kembali di meja, berjalan menuju jendela, dan menatap langit yang gelap. Dia merasa bingung dan terperangkap dalam keputusan yang sulit. "Selena... jika kamu benar-benar yang melakukan itu, bagaimana aku bisa menghukummu? Tapi jika kamu tidak melakukannya, bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi begitu saja?" Di dalam hatinya, Kael masih bergulat dengan perasaan yang berat—perasaan sakit kehilangan Arlena, perasaan marah dan bingung atas kematian istrinya, dan juga perasaan yang mulai tumbuh untuk Selena, yang meskipun konyol, membuatnya merasa sedikit terhibur dalam kekosongan yang ada. Namun, Kael tahu, dia harus memilih jalan yang benar, apapun itu. Kael menatap bayangan dirinya di cermin. "Aku harus tegas, tapi hati ini... selalu saja ragu." ---------- Di ruang bawah tanah Selena pun mulai tertidur namun terkejut saat mendengar suara pengawal yang memanggilnya dengan tegas. Matanya yang baru saja hendak terpejam kini terbuka lebar. Dengan perasaan berat, dia menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. "Apa lagi sekarang?" gumamnya dalam hati. Pengawal yang berdiri di pintu ruang bawah tanah itu menunggu dengan sikap tegas. "Tuan Kael meminta kamu untuk datang sekarang!" Suaranya tidak menunjukkan sedikitpun belas kasihan. Selena tahu, ini adalah perintah yang tak bisa ditolak, meski hatinya merasa lelah dan tertekan. Dengan langkah lambat, Selena bangkit dari tempat tidurnya yang keras dan dingin. Badannya terasa kaku setelah berbaring dalam posisi yang tidak nyaman sepanjang malam. Ia merapikan rambut yang kusut dan menatap pintu besi yang mengarah keluar. Tak ada pilihan lain selain pergi dan mengikuti perintah Tuan Kael, meskipun hatinya penuh dengan keraguan. "Kenapa Tuan Kael memanggilku? Apa yang ingin dia lakukan sekarang?" pikirnya, berjalan menaiki tangga menuju lantai atas. Setiap langkahnya terasa berat, seperti beban yang semakin menambah rasa lelah di pundaknya. Sesampainya di ruang utama, Selena melihat Tuan Kael duduk di kursi, tampak masih dipenuhi dengan amarah dan kesedihan. Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini—ada sedikit kehati-hatian di matanya. "Tuan," Selena menyapa dengan suara rendah, mencoba tidak menunjukkan rasa takut meskipun tubuhnya terasa gemetar. Kael menatapnya dengan tajam, matanya penuh dengan emosi yang sulit terbaca. "Selena." suaranya keras namun dipenuhi dengan keletihan. "Aku ingin kamu menjelaskan semuanya. Aku sudah terlalu lama menanggung kebenaran yang tidak aku ketahui." Selena bisa merasakan ketegangan yang mengalir di udara. Dia tahu ini adalah kesempatan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi, namun keraguan masih menghantui dirinya. "Tuan Kael, saya tidak tahu siapa yang membunuh Nyonya Arlena. Saya tidak bersalah, Tuan. Saya hanya melayani seperti yang saya perintahkan," ucapnya, berusaha untuk berbicara dengan jujur meskipun hatinya bergetar. Kael bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat, tatapannya semakin tajam. "Kalau begitu, siapa yang bisa aku percayai?" tanyanya, suaranya bergetar dengan frustasi yang mendalam. "Ku bilang kamu tidak bersalah, tapi bukti-bukti itu... semuanya mengarah kepadamu. Dan aku tidak bisa menahan rasa sakit ini. Semua orang mengatakan bahwa kamu pembunuhnya." Selena terdiam, merasa dirinya terpojok. "Tuan, saya tidak bisa mengubah apa yang orang lain katakan, tapi saya bisa menjelaskan kepada Tuan kalau saya benar-benar tidak melakukannya," ucapnya dengan penuh harap. Kael menarik napas panjang, matanya menunjukkan kelelahan yang mendalam. "Mungkin... mungkin aku sudah terlalu lama menutup mata terhadap kebenaran." Dia berjalan menjauh dan duduk kembali di kursi, seolah berpikir keras. "Namun, aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja tanpa bukti." Selena hanya bisa diam, merasa jantungnya berdegup cepat. Setiap kata yang keluar dari mulut Kael membuatnya semakin ragu, semakin terhimpit. Dia tahu jika ini adalah saat yang menentukan—antara hidup dan mati, antara pembenaran dan penghukuman. Namun, Selena juga tahu satu hal: dia tidak bisa menyerah begitu saja. Dia harus menemukan cara untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Tapi di tengah semua ketegangan ini, ada satu perasaan yang mulai tumbuh di hatinya—perasaan yang tak terungkapkan, perasaan yang mungkin sudah lama ia pendam sejak pertama kali bekerja untuk Tuan Kael. "Apakah aku masih punya harapan?" pikirnya. Dengan segenap kekuatan, Selena berusaha mengendalikan dirinya. "Tuan Kael... saya janji saya akan mencari bukti yang akan membuktikan saya tidak bersalah,"** ucapnya dengan penuh tekad. "Tolong beri saya kesempatan." Kael menatapnya lama, seakan menimbang setiap kata yang keluar dari mulut Selena. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, dia mengangguk perlahan. "Aku beri kesempatan. Tapi ingat, jika kamu tidak bisa membuktikan dirimu, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi padamu." Selena mengangguk dengan penuh tekad, meskipun rasa takut masih mengendap di dalam hatinya. "Terima kasih, Tuan. Saya akan mencari bukti itu, saya janji." Kael hanya mengangguk,Selena pun melangkah pergi hendak meninggalkan ruangan Kael namun Kael kembali memanggilnya. "Selena!"Sore itu, suasana villa mewah di pusat kota dipenuhi oleh obrolan ringan dan tawa. Ronald dan Bianca baru saja tiba, sedikit terlambat dari jadwal. "Maaf, kami terlambat," ucap Ronald sambil menggandeng tangan Bianca. "Tidak apa-apa," balas Jason, salah satu teman Ronald. "Maklum, pengantin baru," timpal Christine, istri Jason, sambil tertawa kecil. Bianca tersenyum sambil melirik Arlena, yang dengan ramah berkata, "Bianca, duduk saja di sini." Bianca segera duduk di samping Arlena, sementara Ronald memilih untuk tetap di dekatnya. "Arlena, suamimu ke mana? Kenapa dia tidak pernah terlihat mendampingimu?" tanya Christine penasaran. Arlena tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa sesak di dadanya. "Dia sibuk sekali akhir-akhir ini. Pekerjaannya menumpuk." "Ya ampun, aku beruntung Ronald selalu bisa mendampingiku," celetuk Bianca sambil menyender di bahu Ronald dengan bangga. Ronald ikut menimpali, "Suamimu pasti juga punya waktu luang. Kamu harus bangga dia berjuang
Di siang hari yang hangat, Kael duduk di kursi ruangannya dengan wajah serius. Dia telah memanggil Selena untuk membahas sesuatu yang terus menghantui pikirannya. Ketika Selena masuk, Kael memulai pembicaraan dengan nada rendah, namun tegas. "Selena... tolong jawab dengan jujur. Ada masalah apa kamu dengan Arlena dalam rekaman CCTV itu?" tanyanya, sorot matanya tajam, tapi suaranya berusaha menenangkan. Selena menunduk, menggenggam jemarinya yang gemetar. "Tuan... maaf, aku tidak bisa menceritakannya. Itu adalah rahasia Nyonya," jawabnya pelan. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Kael mendesah, mencoba menahan emosinya. "Rahasia Arlena adalah rahasiaku juga, Selena. Aku suaminya. Jadi, aku berhak tahu," tegas Kael, nadanya sedikit mengeras. Selena menggeleng pelan, lalu menghapus air matanya dengan tisu. "Bukan seperti itu, Tuan... tapi..." ucapnya, suaranya terhenti di tengah kalimat. Air matanya makin deras, membuat Kael semakin bingung dan cemas. Kael memanda
Malam telah larut, dan suasana rumah Kael terasa hening, hanya diiringi oleh suara jarum jam yang berdetak pelan di dinding ruang tamu. Selena duduk di sofa dengan posisi gelisah, tangannya memegang cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Tatapannya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan berbagai prasangka yang membuncah tanpa kendali. "Kenapa dia belum pulang juga?" gumam Selena dengan nada lirih, tetapi penuh kekesalan. "Apa yang mereka lakukan selama ini? Restoran apa yang buka sampai selarut ini? Apakah... apakah dia benar-benar tidak peduli lagi dengan Nyonya?" Selena menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan perasaan marah dan kecewa yang semakin meluap. Pikiran-pikirannya mulai liar, membayangkan hal-hal yang tak seharusnya ia pikirkan. "Bianca itu... wanita licik. Dia pasti memanfaatkan keadaan. Dan Tuan... dia bahkan tidak menghormati kematian istrinya! Baru saja istrinya meninggal, dia sudah sibuk dengan wanita lain!" suara Selena semakin kesal. Ia berdiri dari sofa, m
Ruangan Kael dipenuhi dengan keheningan yang menyesakkan. Hanya suara jarum jam di dinding yang terdengar, seolah menghitung setiap detik dari rasa bersalah yang kini memenuhi hatinya. Duduk di kursi kerjanya, Kael bersandar dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Pikirannya berputar tanpa arah, mencoba memahami setiap teka-teki yang menggantung di sekelilingnya. "Sepertinya aku terlalu keras padanya… Aku bahkan belum selesai bertanya padanya tentang masalah Arlena." Kael menghela napas panjang. Penyesalan menyelimuti hatinya. Bayangan wajah Selena, yang berlinang air mata dan penuh luka, terus menghantuinya. Selama ini, ia hanya melihat Selena sebagai sosok yang penuh teka-teki, tersangka yang paling mudah untuk disalahkan. Namun, ada satu hal yang tak bisa ia abaikan: tekad dan keberanian Selena saat mencoba menjelaskan sesuatu kepadanya. Dia bukanlah seorang pengecut yang akan bersembunyi jika bersalah. "Besok aku akan berbicara dengannya secara baik-baik. Aku harus memberikan
Suasana di rumah Kael berubah mencekam setelah penemuan jejak kaki misterius di halaman. Langit gelap mulai menyelimuti, namun ketegangan di dalam rumah terasa semakin pekat. Kael berdiri dengan tangan mengepal, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam memandang Dave yang baru saja melaporkan temuannya."Aku menemukan jejak kaki pria dewasa yang mencurigakan. Jejak ini berasal dari halaman pagar dan mengarah ke lorong. Tampaknya seseorang berusaha menyelinap ke rumah Anda, tapi untungnya benda berharga di sekitar sini masih aman. Sepertinya bukan itu tujuannya," ujar Dave dengan nada serius.Kael menghela napas dalam, matanya menyipit saat memikirkan kemungkinan yang baru saja Dave utarakan."Berarti yang Selena lihat itu memang benar," gumamnya pelan, rasa bersalah merayap di hatinya."Apa ada lagi?" tanyanya dengan suara rendah namun tegas."Tidak ada, Tuan. Hanya jejak kaki itu saja. Saya tidak tahu pasti apa tujuannya karena tidak ada petunjuk lain yang mencurigakan."Kael memi
Langit mulai berubah kelam ketika matahari sepenuhnya tenggelam di balik cakrawala. Lampu halaman depan rumah Kael mulai menyala, memberikan cahaya redup yang membingkai wajah tegang Selena. Dengan tubuh yang masih kotor dan tangan yang berlumuran tanah, ia berdiri di tengah halaman dengan pandangan penuh kewaspadaan."Aku tahu kamu pasti muncul lagi," gumam Selena, matanya tajam menatap ke arah gerbang yang mulai diselimuti bayangan malam.Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar samar dari balik pagar besi yang menjulang tinggi. Selena memicingkan mata, melihat sosok pria berjas hitam yang bergerak perlahan di balik pagar, seolah sedang mengendap-endap. Wajahnya tertutup bayangan, dan gerak-geriknya tampak mencurigakan."Dasar pengecut! Aku tahu kamu akan kembali!" pikir Selena geram.Dengan cepat, ia merunduk dan mengangkat sebongkah batu besar di dekat kakinya. Napasnya memburu, tangannya bergetar oleh tenaga yang ia kumpulkan."Akhirnya dapat juga! Kamu membuatku kes