Indah mundur. Bukan hanya beberapa langkah tapi ia mundur sampai kembali masuk ke lobi gedung. Ia tahu bahwa apa yang didengarnya barusan bukan hal yang harusnya ia dengar. Arsya yang biasa selalu bicara tenang, pasti tidak sadar sempat menaikkan nada bicaranya di depan wanita tadi.
“Arsya sampai nggak sadar ada orang di sekitar mereka," lirih Indah.
Mendiang Fanny memiliki kembaran? Arsya berurusan dengan kembaran Fanny? Apa wanita itu yang katanya beberapa kali makan malam bersama Arsya? Indah menggeleng. Tidak. Ia tidak perlu tahu dan harusnya tidak boleh tahu. Tapi … kenapa namanya disebut-sebut? Kenapa wanita tadi terlihat marah saat menyebut namanya.
Sambil mengatur napas dan mengira-ngira apa Arsya sudah selesai bicara dengan wanita bernama Riri atau belum, Indah berpura-pura menyibukkan diri dengan ponsel.
Dan menit berikutnya, sesuai harapan Indah, Arsya menelepon.
“Indah di mana? Saya tunggu di mobil, ya. Sekarang.” Arsya bicara sambil mengawasi pintu masuk gedung.
“Saya bar