Gendhis menyipitkan pandangannya, rasa haus yang amat sangat memenuhi mulut dan tenggorokannya. Samar ia dengar suara orang tengah mengobrol, tapi kantuk yang menggantung di matanya memaksa Gendhis kembali memejamkan mata.
"Semisal saya tinggal pulang dan nggak ada yang nemenin, apa aman, Dok?" Suara berisik di sebelahnya semakin terdengar jelas oleh Gendhis. Seseorang tengah mengobrol dengan dokter, membicarakan kondisinya. "Silakan, ada perawat kami yang bisa diandalkan. Pasien juga baru boleh makan setelah lewat tengah malam," balas suara berat lain. Gendhis mengenal suara bariton seksi ini, milik sebuah nama yang menghuni sisi lain hatinya. Kali ini, Gendhis berusaha lagi membuka mata. Kantuk seketika menyerang, tapi ia tak menyerah. Ia harus tahu, siapa pemilik suara berat yang mengobrol di sampingnya. "Kalau gitu, gue balik dulu, bisa berantakan kerjaan kalau gue lama-lama di sini. Nanti gue kirim orang buat jagain lo," pamit si perempuan paruh baya berdandan menor, saat melihat Gendhis membuka matanya. Gendhis mengangguk lemah, ia tatap langkah perempuan itu hingga menghilang di balik pintu. Lalu, pandangan buramnya beralih pada sosok dokter bertubuh tinggi tegap yang berdiri di sebelahnya. "Ada keluhan pengin muntah?" tanya dokter yang menangani dan bertanggungjawab atas Gendhis. Gendhis menggeleng, "Rai, ini kamu ya?" tebaknya masih belum yakin. Adalah dokter yang menangani Gendhis sejak dari IGD hingga kini dirawat pasca operasi, lelaki familiar di ingatan Gendhis. Sosok masa lalu yang masih membekas sangat kentara di hati dan pikiran Gendhis. Muda, tampan, pintar, misterius, adalah 'imej' yang melekat pada sosok Rai Damian Christopher Wisanggeni. Tumbuh dalam didikan keras keluarga besar mafia, Rai tak hanya mewarisi sifat dingin dan kaku ayah tirinya. Sosok sang ibu yang menjadi tenaga medis dengan kemampuan sangat mumpuni pun menurun pada Rai. Bakat dan kecerdasannya membawa Rai sukses menjadi dokter spesialis obgyn di usia yang sangat muda, 30 tahun. "Saya harap Mbak lebih berhati-hati ke depannya, K.E.T bukan kasus sepele, jangan sampai Mbak dibawa ke IGD lagi karena kasus yang sama," ucap dokter itu, terdengar gemas tapi juga khawatir. "Sebenarnya saya harus bicara dengan wali Mbak, entah siapapun itu, tapi sepertinya Mbak memang hanya mengandalkan diri sendiri. Tugas saya sebagai wali Mbak akan selesai setelah Mbak diijinkan pulang," tuturnya lebih lanjut. "Kenapa Dokter mau nolongin saya?" tanya Gendhis berubah sopan. Meski jauh di lubuk hatinya, ia yakini bahwa dokter di sebelahnya ini adalah orang yang sama dengan cinta pertamanya belasan tahun lalu. Sikap antipatif dan canggung yang Rai tunjukkan membuatnya merasa perlu untuk balas bersikap sopan. "Saya harus karena situasi kemarin sangat mengancam nyawa Mbak. Orang yang mengantar Mbak ke sini tidak berani dimintai tanda tangan persetujuan operasi. Sepertinya dia juga kaget waktu tau mengenai kondisi kesehatan Mbak Gendhis," terang Rai. Dalam getir, Gendhis tersenyum miris. "Nggak ada yang tau kalau saya hamil," terang Gendhis, "nggak ada yang boleh tau," tandasnya. Terdengar helaan napas panjang dari dokter itu sekarang. Gendhis menutup kembali matanya. Tubuhnya yang semula ia paksakan untuk kuat, kini mulai melemah seiring rasa kantuk kuat yang kembali menyerang. Samar-samar, saat sebelum Gendhis masuk ke alam mimpi, Rai menatap Gendhis dengan tatapan yang sulit diartikan. Diusapnya lembut punggung telapak tangan Gendhis dengan sentuhan yang mengambang. "Kalau malam itu nggak pernah terjadi, apa mungkin kamu hidup normal dan jadi perempuan yang bahagia tanpa harus menderita kayak gini?" ###