"Argh… Sakit, sakit banget!"
"Mbak, Mbak masih bisa denger suara saya?" Sekuat tenaga Gendhis berusaha mengangguk saat guncangan di Pundak dan pertanyaan itu ditujukan padanya. “Sakit sekali, Dokter.” Lagi-lagi, hanya erangan kesakitan yang Gendhis beri sebagai tambahan jawabannya. Tangannya tergerak mencengkeram perut bagian bawahnya, keringat dingin membasahi sekujur tubuh. "Dari kapan sakitnya?" tanya perawat di sebelah Gendhis. Gendhis menggeleng, "Semalam…" gumamnya tak yakin. "Ada bercak darah?" Gendhis mengangguk kali ini, ia berusaha membuka matanya. Tak jauh dari ranjangnya sekarang, seorang perempuan berusia 40 tahunan tengah menatapnya dari kejauhan. Tampak cemas, tapi juga tak berani mendekat. "S-saya hamil. Test pack saya positif," ungkap Gendhis terbata. Tak ada jawaban, semua orang yang menangani Gendhis di Instalasi Gawat Darurat itu tampak sibuk melakukan tugasnya masing-masing setelah mendengar pengakuannya. Air mata Gendhis menetes, ia ingin menjadi gila saja setelah semua yang dialaminya. Di tengah rasa sakit yang menyerang sekujur tubuh, ia kumpulkan kekuatan untuk lebih membuka matanya, meski sulit. Obrolan orang-orang di sekitarnya masih bisa Gendhis dengar dengan baik meski menggunakan bahasa medis yang asing, berusaha memanggil dokter kandungan dengan cepat. Napas Gendhis makin tak teratur, rasa sakit menghujam perut bagian bawahnya semakin kuat. “Status?” Sebuah suara berat membuat kegaduhan yang tadi Gendhis dengar senyap seketika. Terasa jemari Gendjis diraba lembut, hangat. "Perdarahan pervaginam, gangguan hemodinamik, nyeri tekan panggul dan perut, hasil USG transvaginal, suspect K.E.T, Dok." "Hubungi OK, dan seseorang tolong bicara dengan walinya." Begitu mendengar para tenaga medis itu menyebut tentang wali, Gendhis berusaha membuka mulutnya. Meski pandangannya sudah memudar, setidaknya ia harus memberi penjelasan mengenai statusnya. "Saya sebatang kara. Nggak punya wali," ungkap Gendhis. Helaan napas berat menjadi tanggapan pertama dari ucapan Gendhis. Sejenak tampak sepi, hanya terdengar suara sirine dari luar ruangan IGD itu. "Kamu hampir kehabisan darah, kita harus segera ngambil tindakan operasi. Dan kita butuh persetujuan wali kamu," ucap sang dokter. Gendhis menggeleng, "Lakukan apa aja Dok, saya nggak punya wali," sebut Gendhis. "Orang yang nganter saya adalah germo di tempat saya bekerja," ujarnya mengejutkan semua orang. "Oke, masalah wali biar jadi urusan saya," kata sang dokter berwajah sangat tampan ini. "Saya yang akan jadi pendonor darah kamu," katanya. Air mata Gendhis mengalir lagi, ia coba untuk membuka matanya perlahan. Cahaya putih memendar menghalangi pandangannya. Ia itarkan tatapannya ke sekeliling, tenaga medis yang menanganinya sudah berkurang jumlahnya. Dari sekitar selusin, hanya ada 4 orang sekarang, termasuk si pemilik punggung tegap yang baru saja datang dan menanyai soal walinya tadi. "Saya yang akan jadi walinya," ucap si dokter tampan yakin, memunggungi tempat Gendhis berbaring. "Tolong persiapkan operasinya, saya ke bank darah sebentar," pamitnya. "Dokter!" Gendhis memanggil dengan sisa tenaganya. Punggung tegap nan lebar itu berbalik perlahan. Wajah tampan dengan hidung mancung menantang yang tertutup masker, mendekat kembali pada Gendhis. "Kehamilan Ektopik Terganggu, kondisi kamu sangat mengancam nyawa, harus segera dioperasi. Saya yang akan jadi wali sekaligus pendonor darah untuk kamu. Bertahanlah, Gendhis," ucap sang dokter penuh pengharapan. Seakan tak asing oleh suara dan wajah di balik masker itu, Gendhis berusaha menajamkan pandangan. Namun, si tampan baik hati justru berlalu pergi tanpa penjelasan atas panggilan akrabnya pada Gendhis barusan. "Tadi siapa?" tanya Gendhis pada seorang perawat muda di sampingnya. "Dokter barusan," tambahnya timbul tenggelam. "Dokter Christ, spesialis Obgyn Mbak," balas sang perawat. Bibir Gendhis bergetar hebat, sungguh, ia tidak mau bertemu dengan masa lalunya itu di situasi semacam ini. Betapa takdir yang sangat berantakan. Gendhis langsung teringat pada sosok masa lalunya. Rai Damian Christopher Wisanggeni. "Rai, apa itu kamu?" ###Gendhis melenguh kecil, ia gigit bibir bawahnya kuat-kuat. Matanya separuh terpejam, ia tancapkan kuku-kukunya di pundak Rai dalam, gelenyar panas menguasai tubuhnya dan meledak di perut. "Rai," rintih Gendhis keenakan, tubuhnya melengkung sementara Rai masih stabil memompanya dengan gerakan yang lama-kelamaan semakin cepat. "Kalau aku terlalu kasar dan sembarangan, dorong dadaku, Ane-san," pinta Rai setengah menggeram, ia kecupi teling istrinya bernafsu. Gendhis hanya menggeleng, pertanda ia tidak keberatan. Menikmati suasana bercinta nan panas seperti saat ini benar-benar jarang terjadi. Sebelumnya, karena dilanda mual hebat akibat kehamilannya, Gendhis hanya sekadar memenuhi kewajiban. Pun dengan Rai yang tak tega membiarkan istrinya merasa tidak nyaman, jadi, jadwal mereka bercinta memang menjadi sangat renggang. "I love you, Ane-san," geram Rai tertahan. Ia sampai di puncak rasa nikmat yang tak terungkapkan, nafasnya tersengal, peluh bertebaran di sekujur tubuhnya.
"Kata Danisha sama Bang Aldi, kamu nggak ngijinin aku dibawa pulang ke sini. Bukannya lebih aman kalau aku di sini pas kamu nggak di rumah?" temabk Gendhis begitu Rai muncul di ruang tamu Danisha, masih dengan wajah lelahnya. "Bentar, kuambil minum dulu," jawab Rai segera menuju ke dapur. Danisha sudah pergi menuju kasino setengah jam yang lalu. Suami dan anak-anak dari bungsu Takahashi itu ada di Jepang sana, mengurus bisnis fashion yang memang sudah dikembangkan cukup besar oleh Danisha semasa muda. Mereka akan berkunjung ke Indonesia sekali dalam sebulan, melepas rindu selama seminggu, kemudian kembali lagi melakukan rutinitasnya di Jepang. Mengingat Arino, suami Danisha adalah asisten Ben yang sangat setia. Jadi, ke manapun Ben pergi, Arino masih sering mendampingi. "Di sini perlindungannya nggak seketat di rumah besar, Ane-san," kata Rai sekembalinya dari dapur. "Tapi di sini ada Danisha, dia punya orang dan anak buah yang bisa ngelindungin aku," bantah Gendhis. "Danisha uda
"Ada cito tiba-tiba. Ane-san diminta Ketua pulang gue antar," kata Aldi muncul di pintu ruang perawatan Gendhis. "Tiba-tiba banget ya Bang?" gumam Gendhis menghela nafas panjang. "Baru aja," balas Ardi. "Ada yang perlu dibawain?" tanyanya mengitarkan pandangan. "Tas kecil itu aja, Bang," kata Gendhis menunjuk sling bag di atas nakas. "Aku pulang ke rumah besar?" desisnya tak mengharap jawaban. "Iya, Ketua minta gue buat nganter Ane-san ke sana. Ada yang perlu gue bantu?" tanya Aldi peka sekali. "Anter ke tempat Danisha dulu aja gimana, Bang? Kok perasaanku nggak enak gini," keluh Gendhis. "Atau aku nunggu Rai selesai operasi aja gimana?" "Cito bisa berlangsung lebih dari 3 jam tergantung kasusnya. Nggak pa-pa nunggu selama itu?" Gendhis mencembikkan bibirnya, "Ya udah, anter aku ke tempat Danisha aja, Bang," pintanya. Aldi mengangguk lemah. Ia raih tas yang Gendhis tunjuk sebelumnya, lantas meminta Gendhis untuk berjalan lebih dulu. Pengawalan dari Aldi sudah leb
Selama Gendhis dirawat di rumah sakit, Danisha berkunjung setiap harinya. Tak lupa ia mengomeli Rai yang sedikit teledor, tak menuruti ucapannya sejak awal. Namun, meski begitu, Danisha tidak menyalahkan sang ponakan, ia tahu Rai berusaha sangat keras untuk membuat Eriska tak lagi menyentuh sang istri. "Har ini udah boleh pulang. Udah kuurus administrasinya, kalau udah beres semua, bisa langsung pulang aja," kata Rai muncul di ruang perawatan istrinya masih dengan jas snelli melekat padanya. "Iya," senyum Gendhis merekah menyambut kedatangan sang suami. "Kamu udah selesai di poli?" "Udah, baru aja. Enak banget kalau aman nggak ada cito atau pasien emergency gini, jadi bisa pulang tepat waktu," kata Rai mendekat ke nakas di sebelah pembaringan Gendhis. "Obat terakhir belom dimakan?" tanyanya. "Enegh banget perutnya. Ntar dulu ya, Dok," kekeh Gendhis lalu nyengir. "Mau makan sesuatu gitu?" tawar Rai sangat memahami sang istri. Gendhis langsung menggeleng, "Enggak. Lagi
"Rai," panggil Gendhis lirih. Sudah hampir dini hari, Gendhis meraba perut bagian bawahnya, tidak ada rasa sakit. Namun, ia merasa dingin mengaliri inti tubuhnya hingga ke paha, membuatnya tersadar bahwa ia mengalami sedikit pendarahan. "Rai," panggil Gendhis lagi, kali ini lebih kencang, sambil mengguncang lengan sang suami. "Hem," balas Rai malas-malas, suaranya parau pertanda ia masih enggan membuka mata. "Kayaknya aku ada flek darah deh," sebut Gendhis tak membuang waktu. "Flek darah?" seketika mata Rai terbuka lebar, ia bangun dalam posisis duduk, ditolehnya sang istri yang duduk di sisi ranjang. "Sakit?" tanyanya langsung panik. Gendhis menggeleng, "Enggak sama sekali, tapi fleknya rada banyak sampe ada yang ngalir ke paha," tandasnya. Tanpa pikir panjang, Rai beranjak, ia minta Gendhis berbaring menggantikannya. Wajahnya masih khas orang bangun tidur, rambutnya sedikit berantakan. Namun, Rai tak tampak peduli pada penampilannya. Ia periksa flek yang dimaksud sa
"Tubuhku udah nggak muda lagi, Christ," desah Eriska lemah. "Adhyaksa nggak punya orang teramoil lagi buat jadi penerusku. Kamu tau, meskipun bisnis kita nggak segede dulu dan nggak ada apa-apanya ketimbang milik Takahashi, aset yang kita punya wajib dipertahankan. Kapan kamu siap?" tanyanya. "Kenapa aku? Apa udah nggak ada orang lain?" tanya Rai, tenang sekali. Ia tak mau terlihat berambisi. Satu-satunya hal yang ia perjuangkan adalah Gendhis terbebas dari bahaya yang mengancamnya. "Kamu menghinaku? Sepanjang pengetahuanmu, apa aku punya keturunan? Apa ada lagi darah Adhyaksa yang hidup dan bisa meneruskan bisnis keluarga ini?" "Mami pengin aku gimana? Selalu ada harga yang harus dibayar buat bisa nerima hal besar kan?" tantang Rai, ia sangat mengenal kakak kandungnya ini, Eriska selalu menginginkan timbal balik, tidak pernah memberi cuma-cuma. "Kiara adalah masa depan yang cemerlang buat kamu. Orang tuanya mungkin bangkrut, tapi mereka orang yang setia sama Adhyaksa," ka