"Ada yang mau ditanyakan?"
Gendhis bungkam, ia hanya menatap tajam pada sosok tampan berjas snelli dengan masker menutupi separuh wajahnya itu. Tiga hari pasca operasi, Gendhis dipindahkan ke ruang perawatan setelah kondisinya dipastikan stabil. "Kapan dia bisa dibawa pulang, Dok?" Wida—perempuan berpenampilan mencolok yang tak pernah berada jauh dari sisi Gendhis, sang mucikari veteran. "Harus dilihat perkembangannya Bu," jawab dokter di sebelah ranjang Gendhis, Dokter Christ, atau Gendhis mengenalnya sebagai Rai. "Kamu jijik sama aku?" tanya Gendhis tiba-tiba, menatap tajam pada Rai. "Ya?" Rai mengernyit tak mengerti. "Ah, aku bener. Sikapmu yang begini… aku paham kok,” ujar Gendhis terdengar kecewa. “Kupikir malam itu aku emang cuma mimpi." "Sepertinya sudah tidak ada pertanyaan lagi. Kalau gitu, saya permisi.” Menatap punggung Rai yang berlalu, hati Gendhis seakan runtuh bak gletser di kutub. Perih menyayat bukan hanya pada bekas luka operasinya, tapi di dalam dadanya. Jauh di lubuk sana, hatinya bak tercabik, dikoyak oleh perasaan lama yang masih tersisa. "Dokter itu juga yang donor darah buat lo," ucap Wida membuat Gendhis tersadar akan keberadaannya. "Lo kenal sama dia?" tanyanya. Gendhis menggeleng, "Kayaknya salah orang," lirihnya parau. "Gue nggak bisa lama-lama nemenin lo, nanti rumah gimana kalau gue nggak ada? Biar gue kirim anak buat nemenin nanti malem," kata Wida beranjak menenteng tasnya. "Nggak usah Mi," tolak Gendhis. "Gue juga nggak bakalan kabur kok." "Gue nggak khawatir lo kabur, gue cuma nggak mau orang-orang di sini jadiin lo bahan gunjingan karena lo berasal dari rumah bordil dan hamil tanpa suami. Semua dokter dan perawat yang nanganin lo tau situasi itu," desis Wida seraya berlalu sambil melambaikan tangan. Setelah itu, suasana kamar rawat Gendhis lengang. Sesekali hanya terdengar suara humidifier yang menebar aroma terapi di dalam ruangan, Gendhis melamun menatap ke luar jendela kamar. Pikirannya melayang jauh, mengingat nasibnya yang harus hamil tanpa suami, entah anak dari pelanggannya yang mana. "Permisi, saya ganti infusnya dulu ya Mbak," seorang perawat muncul, membuyarkan lamunan Gendhis. "Di mana saya bisa ketemu Dokter Christ, Sus?" tanya Gendhis setelah mengangguk ramah. "Kayaknya Dokter Christ masih di ruangannya Mbak, sejak sejak tadi sudah mulai jadwal praktik di poli, tapi tadi beliau sempatkan untuk visit pasien ranap dulu," sebut sang perawat. Ada ekspresi yang coba disembunyikan dengan rapi oleh perawat itu, sebelum kembali berujar, "Sekedar info kalau Mbak tertarik. Calon istrinya Dokter Kiara residen spesialis penyakit dalam. Permisi ya Mbak." Gendhis tertegun, rasa penasarannya tak bisa dibendung. Ia turun perlahan, mati-matian menahan sakit di tubuhnya untuk bisa mencapai kursi roda di pojok ruangan sambil menarik tiang infusnya. Susah-payah, Gendhis memutar kursi rodanya, mencari ruangan tempat Rai dijadwalkan untuk memulai praktek. Beruntung seorang perawat berbaik hati mengantarnya hingga ke poli di mana sudah ada beberapa pasien menunggu untuk diperiksa. "Mbak mau periksa juga?" tegur seorang perawat di meja pendaftaran pada Gendis. Gelengan Gendhis berikan, "Saya pengin ketemu Dokter Christ. Saya pasien rawat inap," terangnya. "Harus tunggu selesai beliau praktik ya Mbak, sebentar," kata perawatnya lagi. Gendhis mengangguk. Ia menurut saja saat kursi rodanya didorong ke ujung lorong, paling dekat dengan pintu ruang praktik poli. Sambil menunggu dua antrean lagi, Gendhis mengamati para ibu hamil itu. Ia mengusap perutnya sendiri, kehamilan singkat yang tak ia sadari dan hampir merenggut nyawanya. "Maaf Dok, masih ada satu lagi, pasien rawat inap," terdengar perawat berucap di dalam ruangan. "Oke," sahut suara berat Rai singkat. Gendhis menarik napas dalam-dalam setelah mendengar jawaban setuju dari Rai. Sang perawat muncul dengan senyuman ramah, ia bantu mendorong kursi roda Gendhis tanpa diminta. Jantung Gendhis berdebar, setelah hampir 13 tahun tidak bertemu, ia sengaja menemui Rai lagi. "Kenapa?" tegur Rai tampak kaget melihat wajah pasien yang duduk di kursi roda itu. "Jam praktik saya sudah selesai, saya harus ke rumah sakit lain," tandasnya kaku. "Aku cuma mastiin," ucap Gendhis tersendat. "Aku lega sekarang, karena tau kamu masih hidup," tambahnya sekuat tenaga menahan air mata. ###"Masih ada satu pasien lagi di belakangmu. Biarin dia masuk dulu," ucap Rai setelah tercekat cukup lama. Harus ia akui, keberanian Gendhis mendatanginya langsung seperti ini benar-benar di luar prediksinya. "Aku perlu ngomong," bantah Gendhis enggan beranjak. "Soal apa? Kalau soal Mario, nanti dulu, tapi kalau kamu mau tanya soal kesehatan reproduksimu, atau soal program hamil, silakan," balas Rai profesional."Aku nggak tidur sama Mario," desis Gendhis frontal, ia tak peduli masih ada Suster Tiwi di sebelah Rai. "Setelah kita bercerai, aku nggak pernah disentuh laki-laki lain," sebutnya benar-benar vulgar. Suster Tiwi yang mendengar dengan jelas percakapan antara dokter dan pasien khusus itu menutup mulutnya spontan. Paham situasi, ia melipir keluar ruangan, sengaja menunggu di depan pintu, tak enak jika harus ikut mendengar percakapan yang sangat privasi itu. "Nanti kita ngobrol lagi, biar pasienku yang terakhir masuk dulu," kata Rai berusaha merendahkan suaranya, tak ingin emos
Rai tak kembali ke rumahnya seusai meninggalkan rumah Gendhis dengan penuh emosi. Ia menuju bar yang Rena kelola, tapi tak menemukan Axel ada di sana. Marah, Rai menghabiskan malamnya dengan menenggak minuman keras hingga tak sadarkan diri."Siapa yang nganter gue pulang, Bang?" tanya Rai saat bangun keesokan harinya pada Ardi yang datang untuk mengecek kondisinya. "Orangnya Rena," balas Ardi. "Gendhis nanyain lo ke mana, katanya lo pergi dari rumahnya dalam kondisi emosi, dia khawatir," lapornya. "Terus lo bilang apa?" "Gue jawab lo ke tempat Rena, mabuk sampe pagi di sana.""Dan dia balas gimana lagi?" pancing Rai. "Nggak ada reaksi, dia bilang makasih, terus matiin telepon. Kalian berantem?" tanya Ardi hati-hati. "Cariin gue info soal Mario, kita terlena dan lupa soal psikopat gila itu. Nggak tau gimana caranya Gendhis bisa berhubungan lagi sama pejabat sinting itu," desah Rai masih terlihat sisa-sisa kemarahannya. "Nyonya emang udah pernah minta bantuannya, pas lo nggak inge
"Aku di rumah," balas Gendhis terbata, kesulitan membuat jawaban atas pertanyaan Rai yang mengejutkan. "Jangan bohong," sahut Rai dingin. "Ada aroma lain di tubuh kamu, Ndhis, dan ini bukan wangi tubuhmu!" desisnya sangat yakin. Gendhis tercekat, ia basahi bibirnya berkali-kali untuk mengatasi gugup. Ia tak berani menatap wajah Rai, jantungnya berdebar cepat. "Ndhis," Rai makin mendesak mantan istrinya. Dirabanya pergelangan tangan Gendhis, meraba denyut nadi di sana. "Kenapa panik? Denyut nadimu nggak beraturan gini," gumamnya menyeringai. "Aku jujur, tapi jangan marah, jangan berbuat apapun yang bakalan mengarah ke keadaan bahaya. Oke?" ujar Gendhis membangun benteng. "Apa?" gumam Rai tak lagi terlihat senyum di wajahnya. "Kita mandi dulu ya, ngobrol setelah mandi, biar nggak panas hawanya, kamu juga lebih tenang," bujuk Gendhis."Jangan mengulur waktu, Ndhis. Kamu ada main sama Axel?" tebak Rai tak sabar. "Kamu gila? Axel bantu dan ngelindungin aku banget. Jangan nuduh dia m
"Besok ada praktik di poli?" tanya Gendhis sengaja membuatkan Rai secangkir ocha yang dibawa langsung dari Jepang oleh Ann dan Ben sebagai oleh-oleh untuknya."Ada, sore di Queen Elizabeth. Gimana?" tanya Rai balik. "Aku pengin ditemenin ke kantor sih. Tapi kalau kamu sibuk, nggak pa-pa, nanti aku sama Mbak Mala dan Axel aja," kata Gendhis solutif. "Pagi aku bisa sampe siang, emang ada kegiatan apa di kantor?" "Cuma mau liat aja, kata Mbak Mala, Pak Wildan udah nggak ngantor lagi. Aku paling nggak harus ngecek kekosongan posisi. Proses peralihan kepemilikan masih berlangsung, jadi aku belom bisa gantiin posisinya," sebut Gendhis. "Bisa nemenin ya?" gumamnya sengaja menempelkan dagunya di pundak Rai, manja. "Bisa, setelah jam 3 sore kerjaanku. Udah ada masuk 25 pasien yang daftar online buat konsultasi sama periksa, jadi nggak bisa kubatalin. Paling kalau emang mendesak banget, jamnya bisa kumundurin," ucap Rai pengertian. "Kayaknya nggak bakalan sampe sore juga kok. Kecuali aku m
"Gimana? Kamu nggak diapa-apain kan?" tanya Axel menyambut Gendhis yang baru saja masuk ke dalam mobil. Gendhis tak segera menjawab, ia mengembus napas kasar seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia urut keningnya yang terasa berdenyut. "Nggak terjadi apa-apa, tapi masalah makin rumit dan pelik," gumam Gendhis dengan mata terpejam. "Bang, kalau aku tidur selama perjalanan pulang, kamu keberatan?" tanyanya tanpa membuka mata. "Take your time, Ndhis. Istirahatlah," kata Axel paham. Sepanjang perjalanan, Gendhis tak banyak bercerita. Ia lebih banyak menggunakan waktunya untuk tidur. Mereka hanya beristirahat sekali di sebuah rest area, makan siang kemudian kembali melanjutkan perjalanan. "Ketua udah pulang, Bang?" tanya Gendhis buka suara saat mobil keluar dari tol di daerah Jakarta."Tadi pas aku jalan berangkat jemput kamu, kayaknya belom. Nggak tau kalau sekarang, aku nggak mantau. Mau kucari tau?" tawar Axel. Gendhis menggeleng, "Nggak usah Bang. Biar aja, nanti ka
"Kamu? Jatuh cinta sama pelacur ini? Jangan gila kamu, Mas!" desis Gendhis sangsi. "Kamu tau kalau aku gila sejak dulu," balas Mario. "Entahlah, aku separuh ngerasa bersalah sama kamu, atas perbuatanku yang dulu-dulu," tambahnya. "Aku dibayar, kamu nggak perlu ngerasa begitu," kata Gendhis berusaha menepis pengungkapan perasaan Mario yang tentu saja begitu mengejutkannya. "Meski tubuhku babak belur, biar aja begini pandanganku soal kamu, Mas!" tegasnya. "Kalau kamu mau jadi istriku setelah aku cerai nanti, kuanggap hutangmu lunas," tandas Mario, tidak masuk akal. "Jangan bodoh Mas! Kamu anggota dewan, ketua umum partai, dan aku ini pelacurmu! Jangan berandai-andai. Kamu adalah pelangganku dan hutangku nggak bisa kutebus dengan menikahimu!" "Kenapa? Kamu nggak bisa berpaling dari doktermu itu? Mau kubikin dia meninggalkanmu selamanya?" tawar Mario menunjukkan sisi dominannya lagi."Boleh kan sekedar bayar hutangku aja? Kalau kamu ngerasa bersalah, harusnya kamu paham itu, Mas."Ma