Seorang wanita cantik, kini tengah mematut dirinya di depan cermin yang berada di dalam kamarnya. Wanita itu, dia adalah Veronika Anastasia.
Kini, Veronika tengah menatap refleksi dirinya di cermin dengan sorot mata yang penuh kesedihan. Rambut panjangnya yang tergerai indah dan kulitnya yang putih bersih seharusnya menjadi sumber kebanggaan, namun bagi Veronika, itu adalah kutukan. Di sudut kamarnya, Vero bisa merasakan aura kelam yang selalu mengikuti kecantikannya. Paman, yang seharusnya menjadi pelindung dan pengganti ayah kandungnya yang telah meninggal, kini berubah menjadi ancaman terbesar. Pada setiap kesempatan, pamannya selalu mencari cara untuk mendekati Veronika dengan niat yang tidak terpuji. Wanita malang itu sering kali harus mengunci pintu kamarnya, bersembunyi di balik lemari, atau bahkan melompat keluar jendela hanya untuk menghindari tangan jahat paman yang selalu mencoba merenggut kesuciannya. Di depan cermin, air mata Veronika menetes, membasahi pipinya yang mulus. "Mengapa kecantikan ini lebih banyak membawa petaka daripada kebahagiaan?" gumamnya lirih. Dengan hati yang hancur, Veronika mengusap air matanya, berusaha menguatkan diri untuk menghadapi hari-hari yang penuh dengan rasa takut dan kecemasan karena ulah paman yang tidak pernah berhenti mengintainya. "Nenek... aku sudah lama tidak mengunjunginya. Hanya dia satu-satunya yang aku punya." Di tengah lamunannya, Veronika seketika terkejut akan pintu kamarnya yang terus digedor-gedor dari luar. Dengan keberanian yang ada, Veronika pun membuka pintu kamarnya dan mendapati sang bibi tengah menatapnya tajam dengan kedua tangan berkacak pinggang. Baru ia hendak bertanya, Veronika tiba-tiba saja mendapat tamparan keras yang langsung mendarat di kedua pipi mulusnya. "A-ada apa, Bi? Kenapa bibi menamparku?" Tanya Vero sambil memegangi pipinya. "Ada apa? Pekerjaan rumah sudah kau urus semua? Sarapan untuk kami?" ucap Margareth, bibi Veronika. "Ma-maaf, Bi. Veronika akan segera memasak!" ucapnya, sembari menyeka air mata yang menggenang di pelupuk. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Veronika bergegas menjalankan perintah bibinya. Sebentar lagi, ia juga harus berangkat ke kantor kekasihnya. Veronika Anastasia, telah menjalani beberapa hari yang tegang. Relasi dengan kekasihnya, Narendra. Seorang CEO perusahaan besar Narendra Group, menjadi renggang. Sebelumnya, Narendra telah mendesak Vero untuk menjalin hubungan layaknya sepasang suami-istri, tetapi Vero bersikeras bahwa itu hanya akan terjadi setelah mereka menikah. Sikap paksaan Narendra itulah yang membuat Veronika merasa tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Namun hari ini, semuanya tampak berubah. Mereka telah berdamai dan berjanji untuk menghabiskan waktu bersama di kantor Narendra. Dengan semangat yang baru, Vero segera merapikan segala urusannya di rumah, memastikan semua pekerjaan selesai sebelum dia berangkat ke kantor, siap untuk hari yang baru bersama Narendra, memulai lembaran baru dalam hubungan mereka. Singkat cerita, Veronika sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Saat ia hendak pergi ke kamar, ia justru dihadang oleh pamannya. Ia menarik pergelangan tangan Vero memasuki kamar. "Lepaskan Vero, Paman!" jerit Veronika, yang mulutnya langsung di bekap oleh pamannya. "Jangan berteriak, Vero! Atau... kau benar-benar ingin paman melecehkanmu?" ancam Demon, yang berhasil membuat Veronika diam. "A-apa yang paman inginkan?" tanya Veronika, dengan nada suara merendah. "Berikan paman uang! Paman butuh uang untuk keperluan judi," ucap Demon, enteng. "Veronika sudah tidak memiliki uang lagi, Paman! Uang yang Vero berikan pada paman kemarin, itu uang terakhir yang Veronika punya." Mendengar ucapan Veronika, Demon merasa sangat emosi dan langsung menjambak rambut keponakannya itu. "Kau sekertaris, kan? Mustahil jika kau tidak memiliki uang! Cepat berikan uang itu! Atau..." Perkataan Demon terpotong sambil tangannya terulur menyentuh pipi mulus Veronika. Mengerti maksud dari pamannya, Vero akhirnya mengalah. "Ba-baik, Paman. Vero akan memberikan uangnya!" kata Veronika, dan segera beranjak membuka lemari untuk mengambil semua uang yang ia simpan. "Nah, coba begini dari tadi! Sepertinya, kau memang suka diancam dulu, Vero," ucap Demon, menatap tajam keponakannya. "Bisakah Paman beri Vero uang buat ongkos taksi? Veronika tidak punya uang sama sekali, Paman," pinta Vero dengan suara pelan dan wajah memelas. Demon tertawa pelan, sinis. "Untuk apa tubuh semenarik itu, kalau tidak kau manfaatkan? Tarik laki-laki, minta apa saja, gampang, kan?" Matanya menatap Vero penuh niat buruk. "Dan kalau kau sudah tidak perawan... kabari Paman. Siapa tahu Paman juga bisa ikut menikmati." Tangannya sempat menyentuh pipi Vero sekilas, menjijikkan, sebelum ia berbalik pergi sambil mengibas-ngibaskan uang ke wajahnya, seolah mengejek. Jijik, itulah yang Veronika rasakan saat ini. Ingin rasanya ia pergi dari rumah itu, tapi ia terlalu takut dengan ancaman dari paman dan bibinya. Maka dari itu, Veronika tetap tinggal di tempat yang baginya adalah sebuah neraka. Tidak ingin memikirkan keluarganya lagi, Veronika pun bergegas keluar dari rumah tersebut menuju kantor tempat ia bekerja. Setibanya di sana, semua tatapan sinis seketika terlontar padanya. Namun, ada juga beberapa yang mengaguminya. Tidak ingin memperdulikan tatapan sinis tersebut, Veronika mempercepat langkahnya menuju ruangan Narendra. Derap langkah Veronika terus menggema di dalam perusahaan besar tersebut. Dan kini, ia telah tiba di depan pintu ruang kerja milik Narendra. Namun, tanpa sengaja, telinga Veronika menangkap suara aneh—desahan pelan, menggema samar dari balik pintu ruang kerja kekasihnya. Suara itu membuat bulu kuduknya meremang. Dengan tangan gemetar dan napas tak beraturan, ia meraih kenop pintu. Jantungnya berdentum keras, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Perlahan, ia dorong pintu itu terbuka. Dunia Veronika seakan berhenti. Di balik pintu, ia melihat kekasihnya—pria yang selama ini ia percaya sepenuh hati—tengah berhubungan intim, seakan mereka sepasang suami istri. Bersama siapa? Echa. Sepupunya sendiri. Tubuh Vero melemas, lututnya seakan tak mampu menopang berat tubuhnya. Tanpa sadar ia bersandar ke daun pintu, menimbulkan bunyi kecil yang membuat dua tubuh di dalam ruangan itu spontan menoleh—panik dan terkejut. ''Sayang, ini tidak...'' ucap Narendra sambil menarik celananya naik. ''Tidak? Tidak apa, hm? Apa kau pikir aku buta, Narendra?!'' teriak Veronika, air matanya mengalir membasahi kedua pipinya. ''Sayang, aku bisa menjelaskan semua ini! Tolong, dengarkan aku!'' ''Aku tidak ingin mendengar kata-kata apapun dari dalam mulut busukmu itu! Sampah memang sangat cocok disatukan dengan sampah juga!" ucap Vero lantang sambil menatap tajam pada Narendra dan Echa. "Selamat berbahagia untuk kalian berdua. Teruntuk kau, Narendra ... mulai sekarang kita sudah tidak memiliki hubungan apapun lagi!" Baru Veronica hendak melangkah pergi, Narendra dengan cepat mencekal pergelangan tangannya. "Kalau kau keluar dari kantor ini, jabatanmu sebagai sekretaris selesai, Vero!" bentak Narendra, suaranya penuh ancaman. "Akan jauh lebih baik begitu... daripada harus terus melihat wajah busukmu setiap hari."