Veronika, seorang wanita yang sudah tidak percaya akan cinta lagi, tak pernah menyangka bahwa seluruh perhatian yang diberikan oleh atasannya, Noah Rudiarth Alexander, akan membawanya pada cinta dan akhirnya sebuah pernikahan. Namun, pernikahan itu ternyata memiliki rahasia tersendiri yang baru diketahui Veronika setelah ia menjalaninya.
Lihat lebih banyakSeorang wanita cantik, kini tengah mematut dirinya di depan cermin yang berada di dalam kamarnya. Wanita itu, dia adalah Veronika Anastasia.
Kini, Veronika tengah menatap refleksi dirinya di cermin dengan sorot mata yang penuh kesedihan. Rambut panjangnya yang tergerai indah dan kulitnya yang putih bersih seharusnya menjadi sumber kebanggaan, namun bagi Veronika, itu adalah kutukan. Di sudut kamarnya, Vero bisa merasakan aura kelam yang selalu mengikuti kecantikannya. Paman, yang seharusnya menjadi pelindung dan pengganti ayah kandungnya yang telah meninggal, kini berubah menjadi ancaman terbesar. Pada setiap kesempatan, pamannya selalu mencari cara untuk mendekati Veronika dengan niat yang tidak terpuji. Wanita malang itu sering kali harus mengunci pintu kamarnya, bersembunyi di balik lemari, atau bahkan melompat keluar jendela hanya untuk menghindari tangan jahat paman yang selalu mencoba merenggut kesuciannya. Di depan cermin, air mata Veronika menetes, membasahi pipinya yang mulus. "Mengapa kecantikan ini lebih banyak membawa petaka daripada kebahagiaan?" gumamnya lirih. Dengan hati yang hancur, Veronika mengusap air matanya, berusaha menguatkan diri untuk menghadapi hari-hari yang penuh dengan rasa takut dan kecemasan karena ulah paman yang tidak pernah berhenti mengintainya. "Nenek... aku sudah lama tidak mengunjunginya. Hanya dia satu-satunya yang aku punya." Di tengah lamunannya, Veronika seketika terkejut akan pintu kamarnya yang terus digedor-gedor dari luar. Dengan keberanian yang ada, Veronika pun membuka pintu kamarnya dan mendapati sang bibi tengah menatapnya tajam dengan kedua tangan berkacak pinggang. Baru ia hendak bertanya, Veronika tiba-tiba saja mendapat tamparan keras yang langsung mendarat di kedua pipi mulusnya. "A-ada apa, Bi? Kenapa bibi menamparku?" Tanya Vero sambil memegangi pipinya. "Ada apa? Pekerjaan rumah sudah kau urus semua? Sarapan untuk kami?" ucap Margareth, bibi Veronika. "Ma-maaf, Bi. Veronika akan segera memasak!" ucapnya, sembari menyeka air mata yang menggenang di pelupuk. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Veronika bergegas menjalankan perintah bibinya. Sebentar lagi, ia juga harus berangkat ke kantor kekasihnya. Veronika Anastasia, telah menjalani beberapa hari yang tegang. Relasi dengan kekasihnya, Narendra. Seorang CEO perusahaan besar Narendra Group, menjadi renggang. Sebelumnya, Narendra telah mendesak Vero untuk menjalin hubungan layaknya sepasang suami-istri, tetapi Vero bersikeras bahwa itu hanya akan terjadi setelah mereka menikah. Sikap paksaan Narendra itulah yang membuat Veronika merasa tidak nyaman berkomunikasi dengannya. Namun hari ini, semuanya tampak berubah. Mereka telah berdamai dan berjanji untuk menghabiskan waktu bersama di kantor Narendra. Dengan semangat yang baru, Vero segera merapikan segala urusannya di rumah, memastikan semua pekerjaan selesai sebelum dia berangkat ke kantor, siap untuk hari yang baru bersama Narendra, memulai lembaran baru dalam hubungan mereka. Singkat cerita, Veronika sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Saat ia hendak pergi ke kamar, ia justru dihadang oleh pamannya. Ia menarik pergelangan tangan Vero memasuki kamar. "Lepaskan Vero, Paman!" jerit Veronika, yang mulutnya langsung di bekap oleh pamannya. "Jangan berteriak, Vero! Atau... kau benar-benar ingin paman melecehkanmu?" ancam Demon, yang berhasil membuat Veronika diam. "A-apa yang paman inginkan?" tanya Veronika, dengan nada suara merendah. "Berikan paman uang! Paman butuh uang untuk keperluan judi," ucap Demon, enteng. "Veronika sudah tidak memiliki uang lagi, Paman! Uang yang Vero berikan pada paman kemarin, itu uang terakhir yang Veronika punya." Mendengar ucapan Veronika, Demon merasa sangat emosi dan langsung menjambak rambut keponakannya itu. "Kau sekertaris, kan? Mustahil jika kau tidak memiliki uang! Cepat berikan uang itu! Atau..." Perkataan Demon terpotong sambil tangannya terulur menyentuh pipi mulus Veronika. Mengerti maksud dari pamannya, Vero akhirnya mengalah. "Ba-baik, Paman. Vero akan memberikan uangnya!" kata Veronika, dan segera beranjak membuka lemari untuk mengambil semua uang yang ia simpan. "Nah, coba begini dari tadi! Sepertinya, kau memang suka diancam dulu, Vero," ucap Demon, menatap tajam keponakannya. "Bisakah Paman beri Vero uang buat ongkos taksi? Veronika tidak punya uang sama sekali, Paman," pinta Vero dengan suara pelan dan wajah memelas. Demon tertawa pelan, sinis. "Untuk apa tubuh semenarik itu, kalau tidak kau manfaatkan? Tarik laki-laki, minta apa saja, gampang, kan?" Matanya menatap Vero penuh niat buruk. "Dan kalau kau sudah tidak perawan... kabari Paman. Siapa tahu Paman juga bisa ikut menikmati." Tangannya sempat menyentuh pipi Vero sekilas, menjijikkan, sebelum ia berbalik pergi sambil mengibas-ngibaskan uang ke wajahnya, seolah mengejek. Jijik, itulah yang Veronika rasakan saat ini. Ingin rasanya ia pergi dari rumah itu, tapi ia terlalu takut dengan ancaman dari paman dan bibinya. Maka dari itu, Veronika tetap tinggal di tempat yang baginya adalah sebuah neraka. Tidak ingin memikirkan keluarganya lagi, Veronika pun bergegas keluar dari rumah tersebut menuju kantor tempat ia bekerja. Setibanya di sana, semua tatapan sinis seketika terlontar padanya. Namun, ada juga beberapa yang mengaguminya. Tidak ingin memperdulikan tatapan sinis tersebut, Veronika mempercepat langkahnya menuju ruangan Narendra. Derap langkah Veronika terus menggema di dalam perusahaan besar tersebut. Dan kini, ia telah tiba di depan pintu ruang kerja milik Narendra. Namun, tanpa sengaja, telinga Veronika menangkap suara aneh—desahan pelan, menggema samar dari balik pintu ruang kerja kekasihnya. Suara itu membuat bulu kuduknya meremang. Dengan tangan gemetar dan napas tak beraturan, ia meraih kenop pintu. Jantungnya berdentum keras, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Perlahan, ia dorong pintu itu terbuka. Dunia Veronika seakan berhenti. Di balik pintu, ia melihat kekasihnya—pria yang selama ini ia percaya sepenuh hati—tengah berhubungan intim, seakan mereka sepasang suami istri. Bersama siapa? Echa. Sepupunya sendiri. Tubuh Vero melemas, lututnya seakan tak mampu menopang berat tubuhnya. Tanpa sadar ia bersandar ke daun pintu, menimbulkan bunyi kecil yang membuat dua tubuh di dalam ruangan itu spontan menoleh—panik dan terkejut. ''Sayang, ini tidak...'' ucap Narendra sambil menarik celananya naik. ''Tidak? Tidak apa, hm? Apa kau pikir aku buta, Narendra?!'' teriak Veronika, air matanya mengalir membasahi kedua pipinya. ''Sayang, aku bisa menjelaskan semua ini! Tolong, dengarkan aku!'' ''Aku tidak ingin mendengar kata-kata apapun dari dalam mulut busukmu itu! Sampah memang sangat cocok disatukan dengan sampah juga!" ucap Vero lantang sambil menatap tajam pada Narendra dan Echa. "Selamat berbahagia untuk kalian berdua. Teruntuk kau, Narendra ... mulai sekarang kita sudah tidak memiliki hubungan apapun lagi!" Baru Veronica hendak melangkah pergi, Narendra dengan cepat mencekal pergelangan tangannya. "Kalau kau keluar dari kantor ini, jabatanmu sebagai sekretaris selesai, Vero!" bentak Narendra, suaranya penuh ancaman. "Akan jauh lebih baik begitu... daripada harus terus melihat wajah busukmu setiap hari.""Nyonya Anne, Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu anak buahnya cemas. Ia membantu wanita tua itu berbaring di ranjang.Tubuh Anne tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya pucat, matanya cekung dengan bayang-bayang hitam di bawahnya. Semua itu akibat beban pikiran yang terus menggerogoti, rasa bersalah yang tak kunjung pergi atas kematian tragis putra dan menantunya.Sebelumnya, Anne adalah wanita kuat yang selalu tampak tegar di hadapan siapa pun. Namun segalanya berubah sejak seseorang datang mengantarkan sebuah paket misterius ke tempat persembunyiannya.Ketika kotak itu dibuka di hadapannya, napasnya tercekat. Dua kepala manusia tergeletak di dalamnya, basah oleh darah yang mulai menghitam. Anne mengenali kedua wajah itu.Demon, putra satu-satunya yang ia miliki setelah kematian putra pertamanya, dan Margareth, menantunya.Sejak hari itu, tubuh Anne melemah, jiwanya hancur. Tak ada lagi ketegasan, hanya sisa-sisa rasa bersalah yang menyiksa tanpa ampun.Anne tak menjawab
Noah menatap wanita yang pernah mengisi hidupnya dulu. Satu tangannya menyelinap ke dalam saku celana. "Apa yang kau inginkan sebenarnya, hm? Apa kau tutup mata dengan kesalahan yang kau lakukan dulu, Carol?" tanyanya, tatapannya tajam menusuk.Carol, dengan penampilan kusut dan tak terurus, perlahan merangkak mendekat. Tubuhnya gemetar saat kedua tangannya memeluk kaki Noah erat. "Aku lakukan semua ini … demi merebut cintaku kembali, Noah.""Cinta?" Noah menunjuk dirinya sendiri, mendengus sinis. "Aku? Cinta tapi kau berkhianat? Bagaimana jalan pikiranmu itu, Carol?" Noah terkekeh pelan, tapi nadanya menyayat, penuh ejekan."Aku mengaku salah, Noah. Aku menyesal ... aku benar-benar menyesal pernah melakukan pengkhianatan itu." Pelukan Carol di kaki Noah semakin erat, seolah berharap bisa memohon pengampunan dari pria itu, meski tahu harapannya nyaris mustahil.Noah menendang Carol dengan keras, membuat tubuh wanita itu terhempas ke lantai. "Penyesalan setelah bertahun-tahun berlalu,
"Anda sudah sangat kelewatan, Nona Carol!" ucap Aldrich, sorot matanya tajam menusuk wanita di hadapannya."Aku tidak bisa menahan diriku, Aldrich! Aku tidak tahan untuk ...""Ditiduri oleh mantan suamimu?" potong Aldrich dingin. "Kau masih berharap hal seperti itu, Nona Carol? Tampaknya … kau tengah berbohong soal kehamilan hanya demi bisa tinggal di sini."Carol terkekeh, tawa miris keluar dari bibirnya. "Kau memang pintar menebak, Aldrich. Ya, aku lakukan semua itu karena aku ingin Noah kembali padaku. Aku mau Noah!"Plak!Tamparan keras Aldrich mendarat di pipi Carol. Tubuh wanita itu limbung, sudut bibirnya pecah, darah tipis mengalir."Cukup! Jangan pernah ulangi permainan kotor itu di sini," desis Aldrich, suaranya rendah tapi tajam. "Karena sekali lagi kau lakukan, aku sendiri yang akan menyingkirkanmu!"Carol menatap Aldrich, amarah dan rasa sakit bercampur di matanya. Tapi kali ini, ia memilih diam."Huh! Kau sudah mulai berani denganku, Aldrich. Kau lupa bagaimana dulu kau
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar Veronika yang tengah merias diri. Lantas, wanita itu segera membukakan pintu. Senyum tak luntur sedikit pun dari wajah cantiknya. Mendapati Carol yang berdiri di depan pintu kamarnya, membuat ia mengernyit. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatian Veronika, melainkan ... gaun yang tengah dipakai Carol sama persis dengan gaun pemberian Noah, suaminya.Ya. Tadi siang, Noah sudah berjanji akan mengajak Veronika dinner di sebuah restoran. Tak lupa, Noah juga mengirimkan hadiah berupa gaun berwarna biru malam yang harus dikenakannya. Namun, melihat Carol juga memakai gaun yang sama dengannya, membuat hati Veronika berdesir. "Bagaimana bisa dia memiliki gaun yang sama denganku? Apakah ... Tuan Noah membelikan gaun untuk mantan istrinya juga?" batin Veronika, bertanya-tanya. Carol tersenyum manis. Menatap Veronika dari ujung ke ujung, seolah meneliti penampilannya. "Wah! Aku tidak tahu kalau Noah membelikan kita gaun yang sama
Veronika terbangun saat merasakan sesuatu berhembus pelan di wajahnya. Bukan angin … bukan juga tiupan AC. Rasanya hangat, lembut, dan berulang-ulang. Dalam keadaan masih setengah mengantuk, ia mencoba mengabaikannya, tapi anehnya, tiupan itu semakin lama justru terasa semakin dekat, berputar pelan di bibirnya, seolah sengaja.Dengan kening berkerut, Veronika membuka mata perlahan. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati wajah suaminya sudah begitu dekat, nyaris menempel di wajahnya. Jantungnya seketika berdebar kencang, matanya membelalak.Tepat saat itu, suara berat dan dalam itu berbisik di telinganya. Suaranya rendah, serak, namun terasa amat dekat, menusuk hingga ke dada."Good morning, Sayang. Bagaimana tidurmu? Nyenyak? Atau … terlalu nyenyak sampai tak sadar aku di sini?"Nada suara Noah dibuat sengaja berat dan menggoda, seakan ingin menyeret Veronika keluar dari kantuknya dengan cara yang paling nakal. Tatapan mata Noah pun tak kalah berbahaya, tajam, penuh arti, dan meny
Veronika berdiri di teras balkon, membiarkan angin malam membelai lembut kulitnya yang hanya dibalut lingerie putih tipis. Malam-malam seperti ini selalu menjadi pelariannya. Tempat di mana ia bisa menyendiri, mengatur napas, dan membuang resah tanpa suara.Matanya menerawang jauh menembus gelap, sementara pikirannya kembali dipenuhi kenangan dan perubahan sikap suaminya. Noah. Pria itu … belakangan ini sikapnya begitu berbeda. Lebih hangat, lebih perhatian, seolah-olah benar-benar mencintainya.Tapi justru itu yang membuat hatinya sesak."Aku takut untuk senang, Tuan," bisiknya lirih, hampir tak terdengar oleh angin malam. "Aku takut kalau semua ini hanya sementara … hanya bayangan ilusi yang akan menghilang saat aku mulai percaya lagi."Vyora memeluk dirinya sendiri, berusaha meredam dingin yang merayap. Namun, dingin itu bukan hanya karena angin malam … melainkan karena rasa takut yang perlahan menggerogoti.Di tengah lamunannya, tiba-tiba saja ada sesuatu yang hangat menyelimuti ba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen