Aku sudah tak menggubris kedatangan Desti lagi. Meski dalam hati, aku tetap was-was. Was-was kalau dia nekat balik ke ruangan dan minta ijin ke Pak Amir lagi untuk menemuiku. Padahal bosku itu orangnya saklek. Nggak mau mencampur urusan pribadi dengan urusan pekerjaan.
Sepanjang pekerjaan, aku berusaha untuk tak memikirkan Desti. Orang bilang, semakin dekat hari H, semakin banyak godaan.
“Mba Ratih, ada yang nyari, tuh.”Anggi yang baru datang dari luar mendekat ke mejaku. Gadis itu tampak bahagia menatapku. Bibirnya cengar-cengir nggak jelas.
Aku menatapnya sembari mengerutkan kening. Siapa lagi? Apa mungkin Desti masih berada di sekitar sini?
Tapi, buru-buru Anggi mendekatkan wajahnya ke telingaku sambil berbisik, “Duren!”
“Ecieeee!” lanjutnya dengan suara agak keras sekaligus tertawa meledek.
"Stttt!" Refleks aku meletakkan telunjuk di depan bibir. Bocah ini malah membuat teman-teman tengah fokus bekerja, jadi menatap ke arah kami.
Aku mendelik disertai kening yang berker