Karena usia yang nyaris kepala tiga, Ratih dipaksa menerima pinangan lelaki yang pernah menolaknya. Rizal datang dengan status baru, duda dengan seorang putri. Di saat Ratih galau menerima pinangan Rizal, sang mantan ingin kembali. Haruskah Ratih mengalah, atau justru meneguhkan keinginannya untuk menikah dengan mantan cinta pertamanya? Ikuti kisah ini sampai tamat.
View More“Maafkan aku, Nadia. Aku nggak bisa.” Jus jeruk yang di hadapanku segera kusesap untuk membasahi tenggorokan yang mulai mengering karena mendengar permintaan Nadia, teman SMA-ku.
Ini adalah pertemuan keduaku dengannya, setelah kami bertemu secara tak sengaja dalam suatu acara kantor.
Meski aku dan Nadia teman SMA, dahulu kami tak cukup dekat, namun, sebatas kenal satu sama lain. Aku kenal dia, dan dia pun mengenalku.
Tak kuduga, pertemuan kali ini, dia intens untuk membicarakan teman SMA sekaligus seseorang yang penah singgah namun juga melukaiku. “Ratih, Rizal sudah berubah. Dia minta maaf padamu,” ucap Nadia di sela keraguanku.
Bulan lalu, alumni SMA ku mengadakan reuni. Tentu saja, aku tak berminat untuk datang. Dan gara-gara reuni itu pula, kini Nadia datang dengan misinya.
Bukan tanpa alasan. Usiaku sudah nyaris kepala tiga dan statusku masih sendiri. Ini bukan karena pilihanku, tapi karena takdir memang mengharuskan aku bersabar.
Usia yang kian merangkak, dan tak kunjung datangnya jodoh, membuatku menarik diri dari pergaulan. Meski aku bergabung di grup WA sekolah, aku malas menanggapi percakapan di sana. Bahkan, notifikasi hingga ratusan aku biarkan saja, tanpa berniat membukanya.
Aku selalu dihinggapi ketakutan kalau-kalau dalam grup itu membicarakan tentang statusku. Meski aku tahu, itu bentuk perhatian mereka padaku. Namun, tentu saja, perasaan tak nyaman, membuatku memilih lebih baik untuk tidak berinteraksi. Aku memilih fokus pada karirku, meski semuanya hanya berjalan biasa saja.
Dan kedatangan Nadia dengan niat serius ingin menjodohkanku dengan Rizal, teman SMA kami, seolah membuka luka lama yang sudah kukubur dalam-dalam.
Memoriku kembali ke jaman putih abu-abu.
“Kamu tahu, kenapa Dewi menolakku?” Rizal berdiri di depanku dengan berkacak pinggang.
Suasana sekolah berangsur sepi. Hanya beberapa anak masih main basket di lapangan depan. Dan beberapa pengurus koperasi dan pengurus OSIS yang mungkin masih ada kegiatan.
Aku tak berani menatap pria yang kini menghalangi jalanku. Jantungku berdegup kencang. Ada rasa gugup menyelimuti, membuatku hanya dapat tertunduk. Selama ini, aku tidak pernah terlibat pembicaraan dengan Rizal. Bahkan, membayangkan berbicara dengannya saja, aku tak sanggup.
“Kalau diajak ngomong, lihat aku dong!” gertaknya.
Perlahan aku mendongak. Wajah Rizal memerah. Sepertinya dia menahan geram, membuat nyaliku semakin menciut. Aku hanya mampu menggeleng.
“Aku tahu kamu menyukaiku!” Ucapannya terdengar sinis. Saat aku menatapnya, terlihat sekali senyum miring di bibirnya, membuat hatiku semakin teriris.
“Kalau sampai alasan Dewi nolak aku, karena kamu, kamu akan tahu sendiri akibatnya!” ancamnya sambil menudingkan telunjuk tepat di depan wajahku, hingga membuat aku tersentak kaget.
Rizal membalikkan tubuhnya dengan cepat, dan berjalan meninggalkanku. Dari langkahnya, terlihat sekali dia sangat marah.
Kakiku seolah tak bertenaga. Aku kira, dia mendatangiku untuk menitip salam pada Dewi karena aku sahabatnya. Rupanya, justru dia mengataiku. Apa Dewi memberitahukan perasaanku padanya? Atau, selama ini tingkah lakuku terbaca olehnya?
Aku menarik nafas dalam-dalam.
Apa salahku? Apa aku salah menyukainya? Bukankah cinta tak pernah salah? Andai bisa, mungkin aku juga tak ingin jatuh cinta padanya. Banyak lelaki yang lebih baik dari dia. Kenapa aku harus jatuh cinta padanya?
Sejak tragedy itu, tatapan permusuhan kerap aku terima dari sosok bernama Rizal. Tak sedikit pun senyum bersahabat aku terima. Ini sangat berbeda saat sebelum perasaannya ditolak oleh Dewi.
Dulu, sering dia menyapa. Dan itu juga yang membuatku semakin jatuh hati padanya. Rupanya, aku salah duga. Sapaan itu bukan untukku. Tapi, untuk sahabatku.
Hingga lima tahun berselang, aku bertemu lagi dengan Rizal. Tepatnya saat pernikahan Dewi.
Jantungku berdebar tak karuan, saat menyadari siapa yang sedang menarik kursi dan duduk di sebelahku. Pria yang sama, dengan lima tahun lalu, namun dengan penampilan yang 180 derajat jauh berbeda. Parasnya tak lagi dekil dan kerempeng. Tapi, menjadi pria yang menawan, dengan kulit bersih dan terawat. Inikah yang dimaksud Dewi tadi?
Pria itu segera menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dengan tangan bersedekap.
“Pasti kamu bahagia, temanmu itu sudah menikah.” Aku menatapnya, teringat ucapannya kala SMA. Kalau diajak bicara, harus melihat pada lawan bicara. Bibirnya terlihat miring, seolah sedang mengejek.
“Dia tak pernah menerimaku, karena kamu!” Punggungnya yang tadi menyandar kini sudah tegak. “Kamu hanyalah duri bagi sahabatmu sendiri. Kamu senang kalau Dewi menjauhiku. Padahal, kamu tak tahu, kalau sesungguhnya Dewi menjauhiku karena nggak enak sama kamu. Dia menolakku, karena kamu!” Telunjuknya masih mengarah padaku, persis lima tahun yang lalu.
“Nggak akan ada laki-laki yang bakal mau sama perempuan yang menjadi penghalang jodoh sahabatnya seperti kamu!” Volume ucapannya tidak terlalu keras, namun cukup jelas terdengar di telingaku.
Tubuhku seakan limbung mendengar ucapannya, andai aku tak duduk di kursi.
Rizal sudah berlalu, tapi, sakit dadaku karena ucapannya masih terasa, bahkan hingga kini.
Aku yang berusaha keras melupakannya, mengapa dia masih saja menyimpan dendam padaku? Mana mungkin aku masih mengharapkannya, meski penampilannya sudah jauh berbeda. Jumawa sekali dia.
Harga diriku seolah dihinakan oleh pria bernama Rizal.
Berkali aku mencoba melupakan, namun sungguh sulit. Berkali aku mencoba memaafkan, meski dia tak pernah minta maaf atas ucapannya itu. Namun, tajamnya sembilu, masih saja terasa menggores dalam dadaku.
Apa karena itu pula, diusiaku kini yang menjelang kepala tiga, masih belum bertemu jodoh. Apa karena aku masih dendam padanya?
“Sudah dua tahun dia menduda, Tih.” Ucapan Nadia mengembalikan kesadaranku dari puing-puing masa lalu. “Anaknya butuh sosok seorang ibu,” lanjut Nadia.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Nadia mungkin tak terlalu tahu tentang luka yang pernah Rizal torehkan padaku. Kecuali kalau Dewi atau Rizal sendiri yang bercerita padanya.
“Oh … jadi, dia mau menikah lagi untuk dijadikan baby sitter?” sahutku sinis. Aku seolah berubah menjadi bukan diriku, saat membicarakan Rizal. Pria yang pernah membuat hatiku menjadi berkeping-keping.
Sejenak Nadia tersentak. Aku yakin ia tak menyangka aku bisa berkata seperti itu.
“Bukan begitu, Tih. Dia tahu kamu belum menikah. Dia butuh pendamping yang setia, seperti kamu,” ujar Nadia.
“Nad, aku bukan setia. Tapi aku tak laku!” ujarku sarkas.
Kata-kata Rizal masih terngiang ditelingaku, saat dia menyumpahiku saat hari pernikahan Dewi saat itu. Bagaimana mungkin dia menyebutku setia? Jangan-jangan ada udang dibalik keinginannya menikah denganku. Bagaimana kalau ini semacam balas dendam yang belum usai? Dendam karena dia tak dapat menikah dengan Dewi?
“Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. Rizal teringat ancaman mantan mertua dan mantan iparnya. Mungkin ini adalah titik kulminasinya, setelah mereka tahu, pada siapa akhirnya Rizal memutuskan. Pasti saat dia tidak ada di kantor, mantan mertua dan iparnya itu mencarinya. Atau bisa jadi mereka mendengar dari Prita atau malah Desti sendiri. Bukannya dia sendiri yang mengenalkan Desti pada Ratih. Dan cerita Ratih kalau Desti pun berusaha menemuinya di kantor.“Minum, Mas.” Rizal tergagap saat Ratih sudah di dekatnya membawa segelas air putih.“Besok mulai kerja?” sambung Ratih. Ratih paham, urusan pekerjaan pasti sangat beragam.”Iya. Jam delapan ada meeting.”“Mau disiapkan sesuatu?”Rizal tersenyum. Pertanyaan Ratih mengingatkan statusnya yang sudah tak duda lagi.Kalau biasanya dia memikirkan diri sendiri, kini ada orang lain di sampingnya.”Kok malah senyum-senyum doang? Kamu biasanya pagi sarapan apa? Nasi goren
Rizal menghentikan mobilnya di luar kompleks perumahan. Nomor Gilang disegera dihubunginya. “Lang, ketemuan sekarang!” ucapnya begitu nomor Gilang tersambung. “Astaga. Ada apa lagi sih, Zal. Udah berapa kali kamu ganggu aku?” terdengar suara ketus dari Gilang. “Bisa nggak?” Rizal tak menimpali ucapan Gilang. “Nggak bisa, Bos. Gue ini cuma pegawai rendahan. Nggak kayak elu yang CEO! Jam makan siang, deh,” tawar Gilang. “Justru gue nggak bisa jam makan siang.” “Eits. Tumben?” “Nggak usah ngeledek. Besok siang. Awas jangan bikin janji sama yang lain!” ”Ya nggak bisa jamin juga....” Gilang belum selesai bicara, namun Rizal dengan semena-mena menutup sambungan teleponnya. Pikiran Rizal sedikit terganggu dengan beragam hal. Pertama pertemuannya dengan Desta. Cepat atau lambat, keluarga Desti pasti tak akan tinggal diam mengetahui dirinya memutuskan menikah lagi, dan bukan dengan Desti. Padahal Papa Desti sudah berulang kali memintanya. Dan, perusahaan yang dipegangnya, tentu sekara
”Makasih, Sa.” Ekor mata Ratih mencari-cari Rizal yang tak kunjung kelihatan. Teman SMA-nya itu baru saja keluar dari supermarket. Dia tengah membawa tentengan belanjaan. “Ingat pesanku dulu. Jangan sampai kamu dimanfaatkan oleh Rizal.” Suara Danisa terdengar tegas dan mengancam. ”Aku duluan. Salam buat Rizal,” sambungnya. Belum sempat mencegah, Danisa sudah berlalu. “Kok malah bengong. Ayo. Katanya mau belanja.” Rizal mengambil alih troly yang dipegang Ratih. Mereka berdua masuk ke dalam area supermarket. Meski hari masih pagi, tapi supermarket ini sudah buka. ”Tadi ada Danisa. Kamu ingat kan? Nitip salam buat kamu.” Ratih berbicara sambil memberi kode Rizal untuk berhenti di stand aneka seafood. Kalimat paling belakang, sungguh menganggu Rizal. Rizal tahu, itu bukan salam biasa layaknya teman. Danisa, memang pernah kuliah satu kampus dengannya. Dulu, seperti Ratih, gadis itu dulu sering mencari perhatian padanya. Namun, lagi-lagi, Danisa bukan tipe yang Rizal inginkan.
Darah Rizal seolah mendidih. Dari kejauahan dia melihat istrinya yang tengah ngobrol dengan seorang pria.Awalnya dia pikir hanya seseorang yang ingin bertanya sesuatu. Namun, mendadak, dia merasa cukup mengenal sosok itu.Sejenak Rizal berusaha mengingat, hingga satu nama ada di kepalanya. Ya, saat itu, dia bertemu dengan pria itu di pusat kuliner di ibukota saat tengah janjian makan siang dengan Gilang.Ya, benar. Itu adalah pria yang akan dikenalkan pada Ratih oleh Gilang.[Lang, sepupu Sekar yang kamu sebut tempo hari namanya siapa?] Rizal langsung mengirim pesan ke Gilang. Dia sungguh tak mengingatnya.[Sepupu Sekar yang mana?] Tumben Gilang langsung membalas. Padahal biasanya sepagi itu dia akan sibuk dengan urusan domestic dan anak-anaknya.[Yang kamu kenalin ke aku sebelum aku melamar Ratih.][Hah? Emang ada apa? Pengantin baru kok malah nanyain rival?] Sebuah emotikon tawa ngakak terlihat di layar ponsel Rizal.Tanpa menunggu lama, Rizal langsung menelon sahabatnya itu.”Jawa
“Mas, bangun. Udah adzan!” Tepukan lembut di pipi kanan sekaligus suara lembut yang memenuhi gendang telinganya membuat mata Rizal mengerjap.Pria itu bak hidup di alam mimpi. Bahkan dia baru menyadari di mana dia berada.“Jam berapa ini?” tanyanya. Tubuhnya merasa sungguh kelelahan. Dia bahkan seolah mati suri.”Jam 5.””Hah? Jam 5?”Rizal yang tadinya masih malas membuka mata, kaget dan refleks langsung terduduk.”Kok kamu baru bangunin?” Matanya masih berusaha mengerjap. Rambutnya acak-acakan. Namun tangannya sibuk mencari ponsel. Meyakinkan kalau dia benar-benar bangun kesiangan.Ditanya begitu, Ratih hanya terdiam. Dia memang sengaja tak membangunkan Rizal sebelum dia rapi.Ratih sudah mandi. Aroma sampo sudah tercium.Rizal langsung melompat dari tempat tidurnya. Dia tak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan.“Siapin bajuku!” teriak Rizal sebelum dia menutup pintu kamar mandi.Sebenarnya dahulu saat masih bersama Desti, bahkan Rizal tak pernah meminta istrinya itu menyiap
”Dik, yuk kita balik. Barang-barang sudah mau diantar.” Rizal berucap setelah emnerima telepon dari seseorang. Rupanya pengirim barang yang dibelinya tadi sudah hampir tiba di rumahnya.Ratih mengiyakan.“Di, aku tunggu di rumah baru, ya!” Rizal memberi titah pada pemuda yang tengah menyusun barang-barang Rizal ke mobil box.“Siap, Mas!”Dalam perjalanan pulang mereka tak banyak bicara.”Dekat ya, Mas?” tanya Ratih setelah masuk ke kompleks yang dikunjungi pertama tadi.”Ya, kurang lebih. Sasti kan sekolahnya sekitar sini. Nggak mungkin pindah jauh-jauh,” ucap Rizal.Ratih mengangguk paham. Apalagi bapak-bapak seperti Rizal pasti rumit kalau ingin memindahkan putrinya ke sekolah yang baru.”Saat ini, mungkin kamu nggak akan masalah dengan anak suami kamu. Tapi, kita nggak tahu setelahnya. Jadi, hati kamu harus seluas samudera jika suami kamu bakal banyak mementingkan anak sambung kamu. Dia juga pasti punya beban sendiri dalam membesarkannya. Akan lebih baik kamu selalu support dia, di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments