Dengan tergesa, aku berjalan menghampiri mereka. Berdiri di sisi Zein, dan menepiskan tangan gadis yang sedang menyentuhnya. Dengan sigap aku langsung menggantikan posisi untuk merangkul lengannya. Dengan berwajah angkuh dan membusungkan dada, aku menantang dan menatap wajahnya.
"Siapa kamu?" tanya gadis itu dengan wajah terkejut.
"Kamu yang siapa? Berani megang-megang suami orang. Mau jadi pelakor, ya? Kepengen viral?" sindirku.
"Eh, Buk. Ibuk yang jangan berani megang-megang cowok sembarangan. Ingat suami dan anak yang lagi nungguin di rumah."
Ha? Ibuk? Aku menoleh ke belakang, ke kiri dan ke kanan. Siapa yang sedang dia panggil Ibuk? Aku? Apa aku terlihat terlalu tua di matanya?
"Eh, cewek minus. Minus mata, minus akhlak. Siapa yang kamu panggil Ibuk, ha?"
"Siapa lagi? Emang di sini ada orang lain?"
"Eh, berani kamu, ya." Aku menggulung lengan bajuku untuk menyerangnya. Mungkin akan menjambaq bulu matanya, lalu menggelitiki perutnya dengan kuku panjangku. Namun dengan menghela