Begitu aku dan Zein menyepakati perjanjian, aku langsung mempersiapkan semuanya. Mulai dari cincin, mahar, bahkan segala keperluan Zein. Dia hanya tinggal duduk manis dan terima bersih.
Bahkan hantaran dan seserahan yang dibawa oleh keluarganya, juga berasal dariku. Sungguh laki-laki yang beruntung secara kasat mata. Tapi kalau soal batin, jangan ditanya. Aku juga tidak mau tau. Termasuk baju-baju dan juga celana kerjanya. Semua bahan yang dia pakai terkesan murahan dan juga tak nyaman. Bahannya panas. Aku bahkan bisa merasakannya meski hanya melihatnya dari kejauhan. Tapi bukan berarti aku ingin membuatnya merasa nyaman. Ini hanya demi gengsiku yang harus selalu berjalan berdampingan dengannya. "Besok pulang kerja, kita belanja, ya. Masakan kamu enak. Nggak usah susah-susah nyari pembantu," ujarku lagi. "Syukurlah kalau kamu suka.""Belajar masak dimana?""Di rumah. Kan Ibuk sering sakit. Jadi sebelum pergi kerja, aku yang masakin.""Emang dulu kerja dimana?""Di bang.""Bang?" Aku mengernyit. Maksudnya bang yang tulisannya b-a-n-k? "Bank mana?""Bang unan."Spontan nasi yang berada di mulutku menyembur keluar. Sebagian menempel di wajahnya. "Kenapa aku disembur, Yas?" Dia mengelap wajahnya dengan tisu. "Nggak lucu!" sahutku, sembari meminum air karena sedikit tersedak. "Padahal aku pengen buat kamu ketawa aja tadi.""Lelucon kek gitu udah basi tau.""Buktinya kamu masih nanyak.""Iya deh, iya. Terserah kamu aja.""Habis kamu murung terus sejak dari kafe tadi."Benar juga. Suasana hatiku mendadak galau karena komentar-komentar pedas teman-temanku. Ditambah lagi sikap Zein yang terlalu ramah dengan Silvi. Bagaimana kalau semua karyawan wanita yang meminta tolong, dia tanggapi seperti itu. Bisa rusak reputasiku nanti. .Kami kembali berangkat ke kantor bersama. Zein tampak sangat keren memakai kemeja bermerk yang aku belikan. Entah berapa pasang yang kubelikan untuknya. Hingga dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan baju murahannya yang masih tertinggal di rumah Papi dan juga rumah orang tuanya. Sepulang dari kantor, kami langsung berangkat ke supermarket. Membeli kebutuhan dapur dan juga keperluan sehari-hari. Sengaja aku tak memakai jasa asisten rumah tangga, agar aku dan Zein merasa bebas. Tak perlu menutup-nutupi, atau bersandiwara lagi dengan hubungan palsu kami. Bahkan asisten rumah tangga yang ditawarkan oleh Mami aku tolak mentah-mentah, hanya karena takut dia akan memata-matai dan mengadu pada Mami. Bukan tanpa sebab aku berpikiran seperti itu. Awalnya Papi dan Mami merasa heran dengan sikapku yang sudah siap menikah hanya dalam waktu dua bulan saja. Padahal sebelumnya aku belum pernah memperkenalkan Zein pada mereka. Mami curiga kalau pernikahanku hanya pura-pura, dan sebatas kontrak saja. Salahku sendiri meminjaminya buku-buku novel dengan tema nikah kontrak dan mendadak nikah, dari jasa penerbitanku. "Hello, Mami. Plis deh, itu cuman fiksi. Mana ada di kehidupan nyata," kilahku kala itu.Padahal rencanaku sendiri, terinspirasi dari sana. Tapi tentu saja dengan alur yang berbeda. Kalau perlu plot twist, biar penonton dan pembaca pada kecewa dengan spoiler mereka sendiri. Kalau biasanya pengantin pura-pura, bakalan saling jatuh cinta, hal itu tidak akan pernah terjadi pada kisahku. Enak aja, masa iya akhirnya aku harus berjodoh sama laki-laki kere kayak dia. Kalau dia nya yang jatuh cinta sih, masih masuk akal. Secara aku kan masih cantik dan yang pastinya kaya raya. Semua orang pasti merasa hidupku sempurna. Begitu aku menyandang status janda, semua pria pasti langsung ngantri buat melamar. Bukankah saat sekarang ini, status janda lebih mempesona.Tadinya aku hanya ingin menyewa jasa Zein selama tiga bulan saja. Itupun sudah terlalu lama hanya untuk sekedar melewati malam pertama. Namun aku takut akan menambah kecurigaan Mami, hingga membuatku memperpanjangnya menjadi satu tahun. Dalam satu tahun ini, kami bisa membuat alasan pertengkaran agar bisa berpisah tanpa masalah. Maaf ya, Zein. Meskipun kamu berharap jadi suamiku untuk selamanya, aku tidak akan bisa. Kamu sama sekali nggak masuk kriteria suami idamanku. Aku bahkan menyarankannya untuk segera mencari cadangan. Agar setelah berpisah dan menyandang status duda, dia tidak terlalu patah hati dan juga bersedih. Yah, aku tahu kalau pesonaku ini sudah pasti membuatnya jatuh hati. Aku celingak-celinguk mencari keberadaan Zein yang sedang membawa troli belanjaan. Bukankah tadi dia masih berada di sampingku saat sedang memilih-milih belanjaan. Mataku kembali terbelalak, dan hatiku memanas, saat kulihat dia sedang mengobrol serius dengan seorang wanita. Bahkan wanita itu seperti sedang memohon dengan wajah memelas sambil memegangi lengannya. Siapa itu? **************Dengan tergesa, aku berjalan menghampiri mereka. Berdiri di sisi Zein, dan menepiskan tangan gadis yang sedang menyentuhnya. Dengan sigap aku langsung menggantikan posisi untuk merangkul lengannya. Dengan berwajah angkuh dan membusungkan dada, aku menantang dan menatap wajahnya. "Siapa kamu?" tanya gadis itu dengan wajah terkejut. "Kamu yang siapa? Berani megang-megang suami orang. Mau jadi pelakor, ya? Kepengen viral?" sindirku. "Eh, Buk. Ibuk yang jangan berani megang-megang cowok sembarangan. Ingat suami dan anak yang lagi nungguin di rumah."Ha? Ibuk? Aku menoleh ke belakang, ke kiri dan ke kanan. Siapa yang sedang dia panggil Ibuk? Aku? Apa aku terlihat terlalu tua di matanya? "Eh, cewek minus. Minus mata, minus akhlak. Siapa yang kamu panggil Ibuk, ha?""Siapa lagi? Emang di sini ada orang lain?""Eh, berani kamu, ya." Aku menggulung lengan bajuku untuk menyerangnya. Mungkin akan menjambaq bulu matanya, lalu menggelitiki perutnya dengan kuku panjangku. Namun dengan menghela
"Mantan. Kami udah putus tiga bulan yang lalu."Tiga bulan? Berarti statusnya sudah jomblo dong, saat kupinang kemarin. Berarti bukan salahku kalau mereka putus. Wah, aku merasa lega. Karena Zein tidak seburuk dan sebanksad yang aku pikir. "Kenapa diputusin?""Dia yang mutusin. Katanya mau dijodohin sama cowok yang lebih baik dari aku.""Emang kamu cowok nggak baik?""Kamu kan tau sendiri, Yas. Aku sama sekali nggak punya pekerjaan tetap. Mana ada keluarga yang mau menikahkan anak gadis mereka sama aku," ucapnya memelas. Ada rasa iba juga di hatiku mendengarnya. "Papi dan Mami mau, kok.""Makanya itu, aku sangat menghormati mereka. Papi dan Mami itu istimewa di mataku."Duh... so sweet. Pinter banget nih cowok ngeluluhin hati orang. Pantes aja Papi sama Mami sayang banget sama dia. Walau pun Zein tidak sekaya menantu-menatunya yang lain. "Trus, tadi kenapa dia mewek? Nggak jadi kawin?""Katanya sih begitu.""Trus, ngajak balikan gitu?" Jantungku panas sendiri. "Kayanya juga begitu
"Zein, ntar malem aku ada reunian. Kamu siap-siap, ya!" perintahku, saat kami sedang berada di ruanganku. "Aku diajak, nih?""Ya, ea lah...." Aku memutar bola mata. Secara, acara ini khusus aku adain buat mamerin kamu sama temen-temen resek ku itu."Kamu kan aku bayar biar bisa ngikutin kemanapun aku pergi," sewotku."Iya istriku, iya.""Jangan lupa, dandan yang rapi. Biar ganteng.""Emang selama ini aku kurang ganteng?"Aish... aku kembali memutar bola mata. Malas. "Tampil sempurna lah, Zein. Sem-pur-na!" "Iya, iya. Buat istriku, apa sih yang enggak," godanya dengan senyuman manis. Manis banget malah. "Lebay!" gerutuku. Dia lagi-lagi tersenyum. "Kamu sengaja manggil aku kesini, cuman buat ngomong itu aja?" tanyanya lagi. "Kenapa? Kamu nggak suka berduaan di dalam kantor sama aku? Takut yang lain pada cemburu gitu?" Aku pura-pura merajuk. Pura-pura, ya. Pura-pura. "Enggak lah, Yas. Jangankan dipanggil ke kantor. Kamu panggil ke kamar aja aku nggak bakalan nolak.""Mmmm... mauny
Malam pun tiba. Aku berdandan wah, untuk membuat terpukau teman-teman nggak ada akhlakku itu. Sebenarnya sih bukan untuk mereka. Teman-teman nakalku itu berhasil membuatku mati kutu dengan mengundang alumni yang lain. Yang pastinya melenceng dari acara awal. Bukan masalah biaya sih, secara aku kan kaya. Seberapa sih buat bayar acara begituan aja. Masalahnya banyak orang-orang yang seharusnya aku hindari, bakalan hadir dan menggangguku lagi. Aku bahkan sudah memperingatkan Zein tadi tentang perubahan acara ini. "Ingat ya, Zein. Nanti nggak usah nunjukin sikap berlebihan kalau kamu lagi cemburu. Secara, aku tuh dulu populer banget dan punya banyak penggemar. Jadi jangan salahin aku kalo fans-fans lama ku itu bakalan godain aku lagi. Aku juga nggak tertarik kok sama mereka.""Iya, Tyas. Aku ngerti.""Sebenarnya aku maklum sih kalo kamu cemburu atau sakit hati. Tapi kamu juga harus tau diri, kita itu cuman nikah bohongan. Jadi jangan dibawa pakek hati, ya. Gini-gini aku juga punya pera
Tiba-tiba aja jantungku jadi berdebar-debar tak menentu. Zein melepaskan bibir seksinya dari pipi mulusku. Dia tersenyum puas, kemudian melingkarkan tangan kirinya ke pinggangku. "Kita pulang jam berapa, Sayang, hemmm?" lirihnya di telingaku, namun tetap terdengar oleh mereka. Sandiwara ini belum juga selesai.Nafasku terasa sesak atas tingkah liarnya. Si kucing garong ini nggak mau menyia-nyiakan kesempatan rupanya. Aku terpaksa ikut tersenyum, sembari mencubit pinggangnya dengan diam-diam agar tak diketahui oleh trio ember. Namun sepertinya cubitanku tidak berefek ke kulitnya. Atau, jangan-jangan dia sengaja menahan rasa sakit agar masih bisa terus memelukku. Awas kamu ya, Zein. Tunggu aja pembalasanku. "Duh, Mas ganteng ini bikin ngiri aja deh.""Iya, nih. Kok tiba-tiba aku jadi gerah ya.""Aku cari suamiku aja deh.""Iya, nih. Suamiku juga ngilang kemana lagi.""Aku ajak suamiku pulang aja deh. Pengen cepat-cepat ehem.""Ya udah, yuk, yuk!"Huft... Akhirnya trio ember pun meng
Tiba-tiba ada yang terasa hangat di dada ini, melihat tangan wanita itu sesekali memukul lengannya Zein. Dasar ganjen tingkat dewa. Calon-calon pelakor juga kayaknya nih. Cewek gatel. Sukanya godain suami orang. Tak tinggal diam, aku pun menyusul ke tempat mereka. "Lagi ngobrolin apa, nih?" sinisku, sambil membusungkan dada dan menenggerkan kedua tangan di pinggang rampingku. Wanita itu tampak kebingungan. Mungkin bertanya-tanya kenapa aku bisa tiba-tiba muncul dan melabraknya. "Siapa, ya?" tanyanya dengan gaya sok menawan. Najis!"Oh, iya. Ini....""Aku istrinya Zein. Kamu siapa?" Aku memotong ucapan Zein yang baru ingin menjawab pertanyaan wanita itu. Wanita berambut panjang dan berbulu mata hasil cangkokan itu menatap ke arah Zein. Dengan senyum menawan Zein membalas tatapannya. "Iya, Mbak. Ini Tyas, istri saya," jawabnya dengan sopan. Huh, sebel. "Oh, kirain masih perjaka," wanita itu memutar bola mata, malas. "Emang masih, Mbak.""Zeinn!" hardikku. Aku spontan merangkul l
Kuk kuruyuuuk....kuk kuruyuuuk.... Alarm dari gawai mahalku berbunyi. Membuatku terpaksa bangun untuk mematikannya, kemudian tidur lagi. Satu jam kemudian bangun lagi, setelah cahaya sinar matahari mengintip dari celah jendela yang membuat mataku menjadi silau. Salah pilih kamar rupanya. "Zein... Dah bikin sarapan belum?" teriakku, saat membuka pintu kamar. Tak ada jawaban. Duh, kemana itu cowok. Nggak nyahut lagi. Jangan-jangan masih tidur. Dasar pemalas. Enak aja mau santai-santai. Mentang-mentang punya istri sultan, mo ikut-ikutan jadi sultan. Dengan tergesa aku menuju ke kamarnya. Menggedor pintu sambil teriak-teriak. Tak ada sahutan. Mo langsung ngedobrak, takut dianya lagi polosan. Bisa-bisa mataku ternoda. Walaupun sebenarnya udah pernah ternoda sama yang lain. "Zein....aku masuk nih." Aku pun membuka pintu kamarnya. Dan taraaa.... kosong. Eh, kemana itu orang? Mana tempat tidur udah rapi lagi. Aku pun kembali menarik rapat pintu, dan melanjutkan pencarian. Ke kamar mandi
"Aduh, aduh sakit, Yas. Aku nggak salah," ucapnya membela diri. "Berisik! Pokoknya pulang. Masak sarapan!" bentakku lagi. "Iya, iya. Lepasin dulu. Sakit, Yas.""Bodo amat!".Aku menyantap roti bakar selai kacang yang baru di siapkan Zein. Rasa kesal masih membayangi dan membuat dada ini masih terasa panas. "Tadi aku lari paginya jam enam lho, Yas. Tapi ibu-ibu komplek pada ngajakin ngobrol. Aku jadi nggak enak kalo tiba-tiba pergi.""Halah, alasan. Emang dasar kamunya aja yang keganjenan. Sadar Zein, kamu itu punya istri. Jadi nggak usah sok tebar-tebar pesona, deh.""Dih, yang lagi cemburu...," godanya. "Heh, siapa jugak yang cemburu. Aku tuh cuman nggak mau ketahuan, kalau hubungan kita itu cuman pura-pura. Jadi kamu juga harus bisa jaga sikap.""Iya, iya. Maaf. Lain kali aku nggak akan lari pagi lagi," sesalnya."Iya, nggak usah. Nanti badan kamu tambah bagus."Eh? Keceplosan lagi. Dia kembali senyum-senyum sendiri. "Nah itu, kenapa make baju-baju seksi kek gitu. Sengaja? Mo