Share

Part6

Begitu aku dan Zein menyepakati perjanjian, aku langsung mempersiapkan semuanya. Mulai dari cincin, mahar, bahkan segala keperluan Zein. Dia hanya tinggal duduk manis dan terima bersih. 

Bahkan hantaran dan seserahan yang dibawa oleh keluarganya, juga berasal dariku. Sungguh laki-laki yang beruntung secara kasat mata. Tapi kalau soal batin, jangan ditanya. Aku juga tidak mau tau. 

Termasuk baju-baju dan juga celana kerjanya. Semua bahan yang dia pakai terkesan murahan dan juga tak nyaman. Bahannya panas. Aku bahkan bisa merasakannya meski hanya melihatnya dari kejauhan. 

Tapi bukan berarti aku ingin membuatnya merasa nyaman. Ini hanya demi gengsiku yang harus selalu berjalan berdampingan dengannya. 

"Besok pulang kerja, kita belanja, ya. Masakan kamu enak. Nggak usah susah-susah nyari pembantu," ujarku lagi. 

"Syukurlah kalau kamu suka."

"Belajar masak dimana?"

"Di rumah. Kan Ibuk sering sakit. Jadi sebelum pergi kerja, aku yang masakin."

"Emang dulu kerja dimana?"

"Di bang."

"Bang?" Aku mengernyit. Maksudnya bang yang tulisannya b-a-n-k? "Bank mana?"

"Bang unan."

Spontan nasi yang berada di mulutku menyembur keluar. Sebagian menempel di wajahnya. 

"Kenapa aku disembur, Yas?" Dia mengelap wajahnya dengan tisu. 

"Nggak lucu!" sahutku, sembari meminum air karena sedikit tersedak. 

"Padahal aku pengen buat kamu ketawa aja tadi."

"Lelucon kek gitu udah basi tau."

"Buktinya kamu masih nanyak."

"Iya deh, iya. Terserah kamu aja."

"Habis kamu murung terus sejak dari kafe tadi."

Benar juga. Suasana hatiku mendadak galau karena komentar-komentar pedas teman-temanku. Ditambah lagi sikap Zein yang terlalu ramah dengan Silvi. Bagaimana kalau semua karyawan wanita yang meminta tolong, dia tanggapi seperti itu. Bisa rusak reputasiku nanti. 

.

Kami kembali berangkat ke kantor bersama. Zein tampak sangat keren memakai kemeja bermerk yang aku belikan. Entah berapa pasang yang kubelikan untuknya. Hingga dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan baju murahannya yang masih tertinggal di rumah Papi dan juga rumah orang tuanya. 

Sepulang dari kantor, kami langsung berangkat ke supermarket. Membeli kebutuhan dapur dan juga keperluan sehari-hari. Sengaja aku tak memakai jasa asisten rumah tangga, agar aku dan Zein merasa bebas. Tak perlu menutup-nutupi, atau bersandiwara lagi dengan hubungan palsu kami. 

Bahkan asisten rumah tangga yang ditawarkan oleh Mami aku tolak mentah-mentah, hanya karena takut dia akan memata-matai dan mengadu pada Mami. 

Bukan tanpa sebab aku berpikiran seperti itu. Awalnya Papi dan Mami merasa heran dengan sikapku yang sudah siap menikah hanya dalam waktu dua bulan saja. Padahal sebelumnya aku belum pernah memperkenalkan Zein pada mereka. Mami curiga kalau pernikahanku hanya pura-pura, dan sebatas kontrak saja. 

Salahku sendiri meminjaminya buku-buku novel dengan tema nikah kontrak dan mendadak nikah, dari jasa penerbitanku. 

"Hello, Mami. Plis deh, itu cuman fiksi. Mana ada di kehidupan nyata," kilahku kala itu.

Padahal rencanaku sendiri, terinspirasi dari sana. Tapi tentu saja dengan alur yang berbeda. Kalau perlu plot twist, biar penonton dan pembaca pada kecewa dengan spoiler mereka sendiri. 

Kalau biasanya pengantin pura-pura, bakalan saling jatuh cinta, hal itu tidak akan pernah terjadi pada kisahku. Enak aja, masa iya akhirnya aku harus berjodoh sama laki-laki kere kayak dia. Kalau dia nya yang jatuh cinta sih, masih masuk akal. 

Secara aku kan masih cantik dan yang pastinya kaya raya. Semua orang pasti merasa hidupku sempurna. Begitu aku menyandang status janda, semua pria pasti langsung ngantri buat melamar. Bukankah saat sekarang ini, status janda lebih mempesona.

Tadinya aku hanya ingin menyewa jasa Zein selama tiga bulan saja. Itupun sudah terlalu lama hanya untuk sekedar melewati malam pertama. Namun aku takut akan menambah kecurigaan Mami, hingga membuatku memperpanjangnya menjadi satu tahun. Dalam satu tahun ini, kami bisa membuat alasan pertengkaran agar bisa berpisah tanpa masalah. 

Maaf ya, Zein. Meskipun kamu berharap jadi suamiku untuk selamanya, aku tidak akan bisa. Kamu sama sekali nggak masuk kriteria suami idamanku. Aku bahkan menyarankannya untuk segera mencari cadangan. Agar setelah berpisah dan menyandang status duda, dia tidak terlalu patah hati dan juga bersedih. Yah, aku tahu kalau pesonaku ini sudah pasti membuatnya jatuh hati. 

Aku celingak-celinguk mencari keberadaan Zein yang sedang membawa troli belanjaan. Bukankah tadi dia masih berada di sampingku saat sedang memilih-milih belanjaan. 

Mataku kembali terbelalak, dan hatiku memanas, saat kulihat dia sedang mengobrol serius dengan seorang wanita. Bahkan wanita itu seperti sedang memohon dengan wajah memelas sambil memegangi lengannya.  

 

Siapa itu? 

                              **************

Komen (1)
goodnovel comment avatar
joko suprapto
ceritanya bagus kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status