Malam telah larut. Jam dinding di ruang rawat menunjukkan pukul 01.27 dini hari. Lampu utama telah diredupkan, menyisakan cahaya temaram dari lampu sudut ruangan yang menyinari wajah pucat Thania.
Thania terbangun dari tidurnya karena nyeri yang luar biasa di bagian perut—bekas luka operasi yang belum sepenuhnya pulih. Napasnya tersengal, dan ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan teriakan.
Ia tidak ingin membangunkan Melvin yang tertidur di sofa kecil di pojok ruangan. Tapi nyeri itu tak tertahankan. Jemarinya menggenggam selimut erat, peluh dingin mengalir dari pelipisnya.
Tangis pun akhirnya jatuh. Diam-diam, tanpa suara. Hanya air mata yang mengalir deras, membasahi pipi yang pucat dan lelah. Bahu Thania bergetar pelan.
Ia membenci dirinya sendiri karena merasa begitu lemah. Bukankah seharusnya seorang ibu kuat? Tapi mengapa ia justru merasa seperti beban?
“Aku bahkan tidak bisa memberi ASI… tubuhku terlalu lemah… aku bahkan tidak bisa menahan rasa sakit ini,” gumamnya lirih, h