"Asal kau tahu, Thania. Aku menikahimu bukan karena aku mencintaimu. Melainkan untuk menciptakan neraka di hidupmu!" ** Thania terpaksa menerima pinangan Melvin sebagai bukti bahwa dia tidak pernah berniat mencintai ayahnya-Kalen. Pernikahan yang tak pernah diinginkan oleh keduanya justru menjadi penderitaan bagi Thania. Melvin tak pernah menganggapnya istri, tak pernah menghormatinya. Melvin hanya seorang pria arogan dan menjadikan Thania sebagai pemuas nafsunya. Dapatkah Thania bertahan menjadi istri yang tak diinginkan?
View More"Sakit, Melvin... pelan-pelan," lirih Thania, suara yang nyaris tertelan oleh gelapnya malam dan gemetar napasnya yang kacau.
Kamar itu sunyi, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu malam kecil di sisi ranjang. Tapi keheningan itu tidak menenangkan—justru menciptakan ruang hampa yang membekukan jiwa.
Di sana, Thania terbaring dengan tubuh yang menggigil dan hati yang tercabik. Kedinginan merayap di balik kulitnya, bukan karena udara, tapi karena perlakuan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung dalam ikatan suci bernama pernikahan.
Namun tidak. Ini bukan perlindungan. Ini penindasan.
Sorot mata Melvin menatapnya tanpa perasaan, penuh bara dendam yang membakar nuraninya. Raut wajah tampan yang dulu sempat Thania percayai, kini tampak seperti topeng iblis.
Tidak ada kelembutan. Tidak ada cinta. Yang ada hanya kebencian, menyelinap dalam setiap geraknya, dalam setiap kata yang mengiris lebih tajam dari pisau.
"Kau pikir aku menikahimu karena aku mencintaimu?" bisiknya dengan nada menghina, nyaring di telinga Thania meski begitu pelan. "Buang jauh-jauh mimpi itu, Thania."
Kata-kata itu seperti cambuk. Membelah batinnya yang sudah nyaris tak bernyawa. Thania menatapnya dengan mata yang nanar, kosong.
Satu tetes air mata jatuh perlahan dari sudut matanya. Bukan karena fisiknya yang sakit—meskipun itu nyata—tapi karena jiwanya sudah terlalu penat menerima kebohongan, penolakan, dan penghinaan.
"Aku tidak pernah menggoda ayahmu..." suara Thania nyaris tercekat, serak dan penuh sesak, seolah setiap kata yang keluar menorehkan luka baru di tenggorokannya.
Matanya memohon, wajahnya pucat pasi karena tekanan batin yang tak lagi bisa ia pendam. "Aku meminjam uang padanya karena—"
"Karena kakakmu dipenjara, kan?" potong Melvin cepat, nada tajam dan sinis menggema di antara dinding kamar itu.
Thania membeku. Matanya membulat, tubuhnya menegang seperti batu yang dicelupkan ke dalam es. Kata-kata itu menghantamnya dengan keras, seolah membuka kotak rahasia yang selama ini ia kunci rapat dalam jiwanya.
"Da—dari mana kau tahu itu?" tanyanya lemah, suaranya nyaris tak terdengar.
Ketakutan mulai melingkupi dirinya, bukan hanya karena apa yang Melvin tahu, tapi juga karena cara Melvin menatapnya saat ini—penuh kebencian, seolah ia adalah makhluk paling menjijikkan di muka bumi.
Melvin menyeringai, matanya memancarkan kemenangan yang getir.
Ia menunduk perlahan, mendekat ke wajah Thania lalu berbisik, "Kau pikir aku sebodoh itu? Aku tahu semuanya, Thania. Termasuk caramu mendekati ayahku, lalu berpura-pura tak bersalah, berharap bisa masuk ke dalam keluarga ini lewat jalur belakang."
"Tidak!" seru Thania cepat. Kepalanya menggeleng dengan panik, matanya membelalak memohon. "Kau salah paham, Melvin. Aku tidak pernah berniat seperti itu. Aku hanya—aku hanya ingin menyelamatkan kakakku. Aku tidak punya pilihan lain...!"
Namun semua itu tak berarti bagi Melvin. Ia memalingkan wajahnya sebentar, menghela napas seolah sedang menahan amarah yang terus menggelegak di dadanya.
"Cukup!" bentaknya kemudian. Suaranya membelah udara, menghantam jantung Thania. Ia mundur sedikit, menatap Thania seakan wanita itu bukan manusia—melainkan kesalahan hidup yang harus segera disingkirkan.
"Kau bisa menangis. Bisa berpura-pura terluka. Tapi tidak di depanku. Aku tahu siapa kau sebenarnya," lanjut Melvin dengan suara yang lebih rendah namun jauh lebih berbahaya.
Thania gemetar. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menahan isak yang akhirnya pecah juga. Napasnya memburu, dadanya sesak, seperti ada beban berton-ton yang menindih jiwanya.
Ia ingin menjelaskan. Ingin menjelaskan semuanya. Tapi suara Melvin... sorot matanya... membuatnya tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan sampai.
"Aku harus melindungi keluargaku dari wanita murahan sepertimu!" hardik Melvin sekali lagi. Suaranya menggema keras, menciptakan gelombang luka baru di dada Thania.
Thania terhenyak. Kedua tangannya menurun perlahan dari wajah, memperlihatkan mata sembab yang berlinang air mata.
Dengan suara yang nyaris bergetar, ia berkata, "Aku bukan wanita murahan..."
Tangannya mengarah lemah ke seprai putih yang bernoda merah. Bukti dari malam yang telah merenggut kehormatannya—tanpa cinta, tanpa kasih.
"Kau lihat sendiri, Melvin... bercak darah perawan yang telah kau renggut. Dan kau... kau masih menganggapku wanita murahan?"
Namun Melvin tidak bergeming. Rahangnya mengeras, matanya tetap dingin, seolah kebenaran yang berdarah-darah itu tak lebih dari debu di matanya.
"Ya!" bentaknya. "Itu tidak membuktikan apa-apa, Thania! Tidak setelah rekaman ini—"
Dengan kasar, Melvin melempar sebuah flashdisk ke atas meja. Ia menekan tombol remote, dan layar televisi menyala. Suara tajam mulai terdengar, menyesak ruang sempit itu.
"Kau harus melakukannya, Thania! Dia tertarik padamu, kau tinggal sedikit lagi. Sentuh dia, goda dia. Kalau perlu... tidurlah dengannya! Kita butuh uang itu!"
Thania menegang. Suara itu... suara yang sudah lama ia kubur dalam ingatannya. Suara Archer. Kakaknya.
"Tidak... Tidak!" jerit Thania, tubuhnya gemetar hebat. "Rekaman itu terpotong! Aku tidak pernah mengiyakan permintaan Archer! Aku menolaknya, aku bahkan menamparnya setelah ia mengatakan itu! Dia sudah... dia sudah putus asa karena utangnya..."
"Omong kosong!" bentak Melvin, menepis semua penjelasannya dengan tangan kosong.
Ia mendekat dan menunduk ke arah Thania. "Kau pikir aku akan percaya kata-kata manismu? Kau pikir air mata bisa menghapus semua bukti?"
"Melvin, dengarkan aku—aku menolaknya! Aku memaki Archer karena dia bahkan menyuruhku melakukan hal keji itu! Tapi rekaman itu... itu sudah diedit!" Thania mencoba menjelaskan dengan suara yang nyaris putus asa.
Namun Melvin menggeleng lambat. Wajahnya menyiratkan penolakan yang keras kepala. "Kau bisa menangis. Kau bisa terlihat polos di hadapan orang lain. Tapi, tidak bagiku." Ia menatap Thania tajam.
"Buktikan kalau kau memang bukan wanita murahan."
“Apa… maksudmu, Thania?” tanya Melvin dengan suara yang nyaris berbisik. Suaranya terdengar patah, seakan ucapannya ditahan oleh kepanikan yang baru saja muncul.Tatapan matanya memburu ke arah wajah istrinya, memohon kejelasan. Jemarinya yang semula menggenggam tangan Thania, kini sedikit bergetar, mencerminkan kecemasan yang menyeruak tiba-tiba.Thania menatap wajah Melvin tanpa menghindar. Sorot matanya tenang, namun mengandung kedalaman emosi yang sulit dijelaskan. Ia menarik napas pelan sebelum mulai berbicara.“Andai saja Mama dan Papa tidak membujukku, mungkin aku sudah pergi ke pengadilan dan menceraikanmu, Melvin.” ‘Suaranya terdengar jujur, tanpa drama, tapi justru itulah yang membuat hati Melvin seketika hancur. “Aku hanya lelah… hanya butuh waktu sendiri dan memberimu pelajaran karena sudah menghamili Joana.”Kalimat itu terasa seperti peluru yang mengenai dadanya tanpa peringatan. Melvin langsung duduk lebih tegak, seakan ingin memperjelas bahwa ia tidak akan membiarkan
“Davian! Kapan aku pulang? Aku sudah bosan ada di rumah sakit,” keluh Melvin, suaranya terdengar geram namun juga lemah.Ia duduk bersandar di ranjang rumah sakit, selimut setinggi pinggang, mengenakan pakaian pasien berwarna hijau pucat yang sama sekali tidak cocok dengan karismanya sebagai seorang eksekutif muda.Wajahnya sedikit pucat, matanya sayu, tapi sorotnya masih tajam—terutama saat melihat Davian memasuki ruang rawatnya sambil membawa tablet dan stetoskop menggantung di leher.Adik bungsunya itu tampak santai, namun tetap profesional, mengenakan jas dokter putih dengan nama bordiran yang menunjukkan statusnya sebagai salah satu dokter muda yang berprestasi di rumah sakit itu.Davian menghampiri dengan langkah ringan, meletakkan tablet di meja samping dan mulai mengecek monitor infus serta tekanan darah.“Kondisimu masih belum pulih seutuhnya, Melvin. Mungkin dua sampai tiga hari lagi baru bisa pulang,” ucapnya datar tanpa banyak basa-basi.Melvin mendesah kasar, suara napasn
“Kalen. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Nadya menghampiri Kalen dengan langkah pelan namun mantap. Wajahnya tampak letih, meskipun riasan tipis masih melekat rapi di wajahnya.Ia menghentikan langkah beberapa meter dari suaminya yang baru saja menggantung jasnya di gantungan di dekat pintu masuk.Kalen menoleh, alisnya sedikit bertaut melihat wajah Nadya yang tampak gelisah. Ia baru saja tiba di rumah setelah seharian mengurus laporan penangkapan Jesika, dan kini ia dihadapkan pada kecemasan lain.“Ada apa, Sayang?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh perhatian.Nadya menundukkan wajahnya sejenak, menarik napas panjang sebelum menatap suaminya dengan sorot mata yang jernih namun penuh beban.“Aku tidak mau Thania pisah, Kalen.” ucapnya lirih, seolah butuh kekuatan besar untuk mengeluarkan kalimat itu.Kalen mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan kekhawatiran itu. “Siapa juga yang ingin mereka pisah, Sayang?” balasnya. “Lagi pula, aku rasa, Thania sudah memaafkan Melvin.
Kelopak mata Melvin perlahan terbuka setelah dua hari lamanya tidak sadarkan diri. Pandangannya masih kabur. Ia memicingkan mata, menoleh perlahan ke kanan dan kiri, mencoba mengenali di mana dirinya berada.Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas. Ia sempat mengerutkan kening, merasa waktu telah berjalan tanpa ia sadari.Sudah dua hari ia tak sadarkan diri.“Melvin?” bisik sebuah suara lembut, penuh kelegaan dan ketulusan.Thania duduk di sisi ranjang, tangan lembutnya menggenggam erat tangan Melvin. Tatapannya sayu, namun mengandung hangat yang dalam.Matanya sedikit merah karena kurang tidur, namun sinarnya penuh syukur karena pria yang dicintainya akhirnya membuka mata.Melvin mengalihkan pandangan ke arah suara itu. “Thania ….” ucapnya lirih. Suaranya terdengar serak dan lemah. Ia batuk pelan, refleks mengangkat tubuhnya, berusaha duduk meski tubuhnya belum kuat.“Jangan dulu bangun, Melvin. Kau masih sakit,” ucap Thania cepat, menahan bahu suaminya dengan kedua tangannya. Sentuha
“Sudah memutuskan, Tuan Kalen? Bahkan datang sendiri tanpa diminta,” ucap Jesika dengan nada setengah mengejek, kepercayaan dirinya memuncak, dan kesombongan yang perlahan menguar dari tubuhnya.Kalen menatap perempuan itu dengan tatapan dingin. Bibirnya menyungging senyum miring yang sama sekali tidak mengandung kehangatan, melainkan sindiran yang menusuk.“Kedatanganku kemari bukan untuk tanggung jawab,” ucapnya, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Suaranya berat, menekan, dan penuh dengan dendam yang dipendam bertahun-tahun. “Tapi, untuk menuntutmu!”Suasana seketika berubah kaku. Udara di antara mereka seperti menegang. Jesika sempat terhenyak, namun cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya.Tangan yang semula dilipat perlahan turun ke sisi tubuhnya. Matanya menatap tajam ke wajah Kalen, berusaha membaca maksud di balik kalimat yang barusan keluar dari mulut pria itu.“Apa maksudmu, Tuan Kalen? Menuntut apa? Jelas-jelas Joana sedang hamil, aku tidak mengada-ngada, ya!” se
Tiga belas tahun yang lalu ….“Hei! Kau mau ke mana? Berhentiii!!” teriak Thania dan terus mengejar Melvin yang terus berlari.Raut wajahnya terlihat jelas bahwa Melvin sedang ketakutan bahkan mengabaikan suara cempreng dari Thania yang terus mengejarnya.Namun, pada akhirnya Thania berhasil menarik kaos Melvin dan membawanya ke dalam gubuk kecil di dalam hutan kota tersebut.“Ssst! Jangan menangis,” bisik Thania dengan pelan.“Ada penculik yang mau menculikku. Aku takut,” bisik Melvin lirih. Wajahnya dipenuhi oleh keringat dingin. Thania kemudian mengelap keringat tersebut dengan kaus yang ia kenakan.“Jangan menangis lagi. Aku ada permen untukmu.” Thania mengambil permen tersebut di kantong celananya lalu memberikannya kepada Melvin.“Jangan menangis lagi, ya?” ucap Thania dengan lembut.Melvin mengangguk patuh. Namun, matanya menoleh ke kanan dan kiri, rasa cemas itu tetap ada dalam dirinya meski kini sedang bersembunyi dengan Thania.“Siapa namamu?” tanya Thania kemudian.Melvin m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments